tag:blogger.com,1999:blog-34876221071292092752024-02-20T20:54:30.084-08:00Jurnalistik-publisistikUnknownnoreply@blogger.comBlogger40125tag:blogger.com,1999:blog-3487622107129209275.post-57437030736344946542022-12-16T07:43:00.003-08:002022-12-16T07:43:51.360-08:00Koran Republika Cetak Berhenti Terbit<p> </p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjd5Duv2XrjPoCSRRw5b_48WF7wkdF0Tjb5ONXKoXMr5cmkdyoZkpZk9vCokxvmMWj3pQNAhBa90nEcFTD-jzeHayuUAkTdQ-73fEo4IW0SN-kwrlC5voTchnFMkiOQiDY0k4i8MsGAF4YxOjeIKKn1kifXvdxQcYVgQBtDIPsfuGP7ThQFvAVY2hO1Aw/s1439/Republika%20berubah.jpg" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="1439" data-original-width="1080" height="513" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjd5Duv2XrjPoCSRRw5b_48WF7wkdF0Tjb5ONXKoXMr5cmkdyoZkpZk9vCokxvmMWj3pQNAhBa90nEcFTD-jzeHayuUAkTdQ-73fEo4IW0SN-kwrlC5voTchnFMkiOQiDY0k4i8MsGAF4YxOjeIKKn1kifXvdxQcYVgQBtDIPsfuGP7ThQFvAVY2hO1Aw/w385-h513/Republika%20berubah.jpg" width="385" /></a></div><br /><p></p>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3487622107129209275.post-74060729673908545432022-03-17T01:30:00.002-07:002022-03-17T16:28:23.048-07:00 'Kalau Koran Enggak Ada, Apanya yang Dijual?'<p></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEjF6HdX6l0EPxCJJtQLn2jABTwE-9qohBF3K0wFmznGPoXczmCTSQiQT0zh3YW-Pr0-BV36AD9oY-BkFR_CqAoiZDp_D3x133tq40axnFBx7Yh0OMH2Cj_0joq8ps85UdLK9cyuzsYvqxEQEdxuhcyphQQ4t8z20jDZQU8K2fNUfD_DZ4D0hLlxAhjpDw=s1074" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="804" data-original-width="1074" height="240" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/a/AVvXsEjF6HdX6l0EPxCJJtQLn2jABTwE-9qohBF3K0wFmznGPoXczmCTSQiQT0zh3YW-Pr0-BV36AD9oY-BkFR_CqAoiZDp_D3x133tq40axnFBx7Yh0OMH2Cj_0joq8ps85UdLK9cyuzsYvqxEQEdxuhcyphQQ4t8z20jDZQU8K2fNUfD_DZ4D0hLlxAhjpDw=s320" width="320" /></a></div><br />Reporter <i>Tirto </i>mendatangi sejumlah agen dan penjual koran eceran di Jakarta dan mereka membagi kisah bagaimana bertahan di tengah bisnis jualan media cetak yang makin seret omzet.<p></p><p dir="ltr">
Kios koran “Lily" milik Helmi paling mencolok di antara jejeren kios lain di satu trotoar Jalan Kramat Lontar, kawasan Senen, Jakarta Pusat. Ukuran kiosnya sekira 2 x 1 meter. Di depannya ada rak tingkat tiga. Paling bawah tempat tabloid seperti <i>Home</i>, <i>Nova</i>, <i>Otomotif</i>, dan <i>Wanita Indonesia</i>.</p>
<div align="center"><p dir="ltr" style="text-align: left;">Di rak tengah ada puluhan koran dipajang, di antaranya <i>Harian Terbit</i>, <i>The Jakarta Post</i>, <i>Jawa Pos</i>, <i>Kompas</i>, <i>Media Indonesia</i>, <i>Pos Kota</i>, <i>Rakyat Merdeka</i>, <i>Republika</i>, <i>Suara Pembaruan</i>, <i>Super Ball</i>, <i>Tempo</i>, <i>Top Skor</i>, <i>Warta Kota</i>, dan <i>Top Skor</i>. Rak paling atas terisi majalah. Beberapa yang terkenal seperti <i>Bobo</i>, <i>Tempo</i>, <i>Gadis</i>, <i>Gatra</i>, <i>Intisari</i>, <i>Misteri</i>, <i>Sedap</i>, <i>Trubus</i>, <i>Ummi</i>, dan majalah laki-laki <i>Men’s Health</i>. Di antara tumpukan itu ada beberapa teka-teki silang yang kovernya sudah pudar.</p>
</div><p dir="ltr"></p>
<p dir="ltr"><span></span></p><a name='more'></a>Pria berumur 29 tahun itu menjalankan usaha kios koran dari orangtuanya. Seingatnya, sejak sekolah dasar Helmi sudah membantu orangtuanya menjaga kios.<p></p>
<p dir="ltr">Tidak ada perubahan dari kios ini, kata Helmi, sejak dipegang orangtuanya hingga dikelola dirinya. Meski internet telah mengubah cara penyampaian dan format pemberitaan, plus cara khalayak mendapatkan informasi, Helmi berkata usahanya masih menguntungkan dan bisa diandalkan.</p>
<p dir="ltr">Dalam sehari ia bisa melepas 1.700 eksemplar koran ke pengecer. Paling-paling hanya 100 eksemplar yang kembali dan itu pun tak bikin Helmi merugi. Tiap eksemplar itu ia mengambil untung Rp200, tapi khusus koran yang dijualnya sendiri ia mengambil margin Rp1.500.</p>
<p dir="ltr">Jumlah penjualan itu cukup bagus mengingat hanya ada sekitar 15 pengecer yang mengambil koran ke kiosnya.</p>
<p dir="ltr">“Kalau dulu 20 orang, bisa lebih banyak," kata Helmi kepada saya, Jumat awal pekan Februari.</p>
<p dir="ltr">Keuntungan itu belum termasuk tabloid dan majalah yang mencapai 20 persen dari harga. Jika ditotal, dalam sehari, ia bisa membawa uang hingga Rp350 ribu di luar majalah dan tabloid.</p>
<p dir="ltr">Dari keseluruhan koran yang ia jual, <i>Pos Kota</i> dan <i>Kompas</i> yang paling laku. Untuk tabloid, <i>Nova</i>, dan majalah adalah <i>Tempo</i>, <i>Bobo</i>, dan <i>Misteri</i>.</p>
<p dir="ltr">“<i>Tempo</i> ambil 25 eksemplar per minggu, paling retur 4, <i>Bobo </i>20 per minggu selalu habis, dan <i>Misteri</i>—dua minggu sekali ambil 35, retur paling 7. Untuk <i>Intisari</i>, sebulan sekali ambil 10 dan retur 4, sedangkan TTS tiap bulan 450 sekaligus," jelasnya.</p>
<p dir="ltr">Helmi, dalam bisnis distribusi media cetak, tergolong semi-agen. Agen selalu mendapatkan pasokan langsung dari penerbit. Sementara ia masih mengambil koran dari agen yang lebih besar di Kramat. Tetapi khusus <i>Harian Terbit</i>, ia mendapat pasokan langsung dari penerbit hingga 700 eksemplar per hari.</p>
<p dir="ltr">“Saya langsung hubungi distributornya dan bertanya berapa jatah untuk daerah Kramat. Dia bilang 700, saya tawari, 'Boleh enggak saya bayar di muka tetapi jatah <i>Terbit</i> hanya untuk saya?' Katanya boleh, jadi <i>Terbit</i> enggak bisa ditemukan di agen lain selain di sini," katanya.</p>
<p dir="ltr">Masih lancar bisnis yang digeluti Helmi sebenarnya bukan lantaran makin banyak pembaca koran. Keuntungan itu bisa tetap stabil lebih karena mulai berkurang pengecer koran. Kiosnya mendapat lebih banyak jatah pasokan. Karena itu pendapatannya pun bisa lebih banyak karena margin yang lebih besar tanpa digerus pengecer.</p>
<p dir="ltr">Fakta itu tidak dipungkiri oleh Helmi. Pembaca koran juga, selama ia berjualan, rata-rata berumur tua. “Kalau majalah <i>Bobo </i>yang beli anak sekolah, kalau <i>Top Skor</i> yang beli anak-anak muda."</p>
<p dir="ltr">Ia juga punya solusi yang selama ini masih ampuh diterapkan: takkan ambil banyak eksemplar media cetak yang tidak bisa diretur. “Ambil cukup saja," katanya. “Asal manejemennya saja diatur."</p>
<p dir="ltr">Helmi tetap optimistis bisnisnya akan baik-baik saja kendati isu senjakala media cetak telah beredar lama. Alasannya, koran dan majalah memiliki pelanggan setia. Bahkan, ada beberapa pelanggan yang menanyakan majalah <i>Forum Keadilan</i> yang sudah sulit didapatkan. Kendati, ia bilang, koran baru bakal sulit bertahan lama.</p>
<p dir="ltr">“Ini mah koran lama semua," ujarnya, di sela melayani pembeli. Selama kami mengobrol, ada lima orang yang membeli koran di tempatnya.</p>
<p dir="ltr">Helmi meyakinkan dirinya: “Saya percaya hari kiamat, tapi saya enggak percaya koran bakal gulung tikar."</p>
<p dir="ltr">Jika Helmi masih ketiban pulung di tengah bisnis media cetak yang makin seret, hal sebaliknya dialami oleh Yadi Suryadi, 45 tahun, agen dan pemilik kios di dekat stasiun Lenteng Agung, Jakarta Selatan. Dibanding beberapa tahun lalu, yang biasanya bisa membawa untung Rp500 ribu hingga Rp1 juta, kini ia hanya membawa Rp200 ribu per hari.</p>
<p dir="ltr">Yadi sudah menjadi agen koran sejak 1990-an, saat itu harga <i>Pos Kota</i> masih Rp150. Saat saya mendatanginya, ia sedang tiduran, dan sebuah televisi menyiarkan berita kriminal. Tampilannya rapi. Selama berbincang, kendati hujan, beberapa orang datang untuk membeli koran. Lokasinya yang strategis bagi banyak orang bikin dagangan korannya laku.</p>
<p dir="ltr">Setiap hari, antara pukul 3 hingga 6 pagi, para pengecer datang ke kiosnya. Ia akan menutup lapak sekira jam 8 malam. Media-media cetak yang ia jual didatangkan langsung dari penerbit. Per hari ia bisa jual sekira 1.000 eksemplar.</p>
<p dir="ltr">“<i>Jawa Pos</i> beli Rp1.100, jual Rp3000. <i>Kompas</i>, beli Rp2.400, jual Rp4.500," katanya.</p>
<p dir="ltr">Kondisi yang paling berubah dari bisnis ini menurutnya kehilangan para pengecer koran. Sebagian besar dari mereka sudah beralih profesi menjadi sopir ojek aplikasi.</p>
<p dir="ltr">“Koran usianya paling dua tahun lagi, banyak yang lebih milih buka internet. Kalau dibanding dulu sama sekarang omset turun 50%," ujar Yadi.</p>
<p dir="ltr">Warga asal Sukabumi ini pesimis bahwa bisnis yang telah puluhan tahun ia jalani akan bertahan lebih lama lagi. Namun ia berkata akan terus menjalankan profesi sebagai agen koran hingga koran benar-benar tak mampu bertahan digempur zaman.</p>
<p dir="ltr">“Sampai penerbit bangkrut," katanya kepada saya.</p>
<p dir="ltr">Senada dengan Yadi, kelesuan bisnis sebagai agen media cetak juga dirasakan oleh Andy Aril Kaban, 35 tahun. Dagangannya tergelar di satu ruko di pertigaan Srengseng Sawah, Jagakarsa. Rukonya cukup luas, sekitar 6 x 4 meter. Tak hanya menjual majalah, buletin dan koran, ada juga TTS, komik dan buku-buku lain yang sudah pudar warna, plus minuman dan lain-lain. Setidaknya, itu cara ia bertahan menghadapi pendapatan jualan koran yang makin minim.</p>
<p dir="ltr">Sejak usia 10 tahun ia jadi loper koran dan sering bolos sekolah. Saat memiliki modal, ia lantas menaikkan bisnisnya sebagai sub-agen. Kini, di tengah tren keuntungan yang makin loyo, ia berniat untuk beralih profesi menjadi penarik ojek aplikasi. Alasannya bisa mengatur waktu. Menjadi agen koran itu terikat, ia bilang, tidak bisa libur.</p>
<p dir="ltr">Andy meyakini media cetak tak akan bertahan lebih lama.</p>
<p dir="ltr">“Cetak tutup sekarang sih enggak, tapi ke depan, berguguran. Berat. Ini bukannya pesimistis, ini realistis," ungkapnya.</p>
<p dir="ltr">Pada tahun 2000-an, Andy memiliki 30 pengecer yang rutin mengambil koran. Sekarang ia memiliki sekitar 5 pengecer. Pendapatannya: dulu bisa Rp300 ribu per hari untuk koran saja, kini sekitar Rp150 ribu.</p>
<p dir="ltr">Dari keseluruhan dagangannya, Yadi berkata, <i>Pos Kota</i> dan <i>Kompas</i> yang paling laku. Alasan pembeli, <i>Pos Kota</i> menampung banyak iklan lowongan kerja, begitu pula <i>Kompas</i> edisi Sabtu. Karena itu ia selalu memasok <i>Kompas</i> lebih banyak di hari itu.</p>
<p dir="ltr">“Kalau khusus hari Jumat baru <i>Republika</i>, kan ada tausiahnya, jadi laku banyak," kata lelaki asal Medan ini.</p>
<h2 style="text-align: left;"><b><span style="font-size: x-small;"><b>Nasib Para Pengecer</b></span></b></h2>
<p dir="ltr">Di tempat lain, seorang pengecer koran bernama Herman, 62 tahun, memilih menjajakan koran di Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Ia mengambil koran di sebuah agen di Pasar Minggu setiap jam 6 pagi dan berkeliling hingga jam 8 malam. Dalam sehari ia mendapatkan untung sekitar Rp25 ribu – Rp30 ribu. Ini berbeda lima tahun lalu saat awal jadi pengecer koran: Rp50 ribu per hari.</p>
<p dir="ltr">Pendapatan yang diperoleh pengecer seperti Herman berbeda dengan loper koran. Meski sama-sama mendistribusikan koran tapi sumber pendapatan mereka berbeda. Loper koran mendapatkan gaji langsung dari pihak media, sementara pengecer membawa pulang uang dari seberapa banyak ia mampu menjual dagangannya.</p>
<p dir="ltr">“Per eksemplar untung <i>gopek</i>, kalau <i>Kompas</i> untung seribu," ungkapnya di pertigaan Pasar Minggu.</p>
<p dir="ltr">Sehari-hari ia hanya mengambil sekitar 50 eksemplar, terdiri <i>The Jakarta Post</i>, <i>Kompas</i>, <i>Lampu Hijau</i>, <i>Pos Kota</i>, <i>Super Ball</i>, <i>Top Skor</i>, dan <i>Warta Kota</i>. Dari sekian koran itu, Herman berkata <i>Pos Kota</i> yang paling laku.</p>
<p dir="ltr">Nasib yang sama dialami Eko, 42 tahun, pengecer koran di Stasiun Pasar Senen. Ia mengeluh omzet yang makin menurun, bahkan ia terpaksa jualan nasi di pagi hari untuk memenuhi kebutuhan keluarga.</p>
<p dir="ltr">Pria asal Malang, Jawa Timur, ini menjadi pengecer koran sejak 1993. Berbeda dengan pengecer lain, ia justru baru berkeliling pukul 3 sore hingga 10 malam, meski tetap pergi ke agen pagi-pagi sekali.</p>
<p dir="ltr">Beberapa nama koran seperti <i>Harian Terbit</i>, <i>Jawa Pos</i>, <i>Kompas</i>, <i>Pos Kota</i>, dan <i>Top Skor</i> memenuhi lapak milik Eko. Namun, katanya, <i>Jawa Pos</i> yang paling banyak dibeli, selain memberi margin paling tinggi, yakni Rp1.500 per eksemplar. Kompas memberi untung Rp1.000, dan koran lain rata-rata Rp500.</p>
<p dir="ltr">Eko mendapatkan untung dari jualan koran sekitar Rp70 ribu per hari. “Kalau dulu, awal waktu koran dijual Rp300, untung Rp20 ribu sudah gede banget," katanya.</p>
<p dir="ltr">Saat ditanya rencananya bila jualan koran semakin seret, ia berkata singkat: “Pengin pulang kampung."</p>
<p dir="ltr">Di sebuah perempatan Pasar Minggu, samping stasiun, saya mendatangi Siti Nur Sehah, 53 tahun, juga penjual koran eceran. Ia membuka lapak tiap pukul 5 pagi hingga siang. Seandainya belum habis, ia memberikan sisanya kepada suami yang juga pengecer koran.</p>
<p dir="ltr">Dalam sehari, ia bersama suami bisa membawa untung hingga Rp75 ribu – Rp100 ribu. Ibu asli Betawi ini mengaku, selama beberapa tahun belakangan, jualan korannya tidak mengalami penurunan juga kenaikan. Ia sadar bahwa kemajuan teknologi membuat dagangan koran semakin sepi, meski ia meyakini kebanyakan orang masih suka membacanya.</p>
<p dir="ltr">“Baca internet mata sakit, jadi tetep saja baca <i>Kompas</i>," tuturnya menirukan salah satu pembeli, yang usianya sekitar 50-an tahun.</p>
<p dir="ltr">Saya menjumpai Hadi, 45 tahun, pengecer koran yang sudah menjalani usahanya selama 10 tahun, berkeliling di kawasan Cimanggis, Depok. Ia menuturkan, sehari bisa ambil koran antara 75 sampai 170 eksemplar. Di masa musim koran masih banyak pembeli, ia bisa menjual 70-an eksemplar harian <i>Kompas</i>.</p>
<p dir="ltr">“Sekarang," katanya, “bawa 45 eksemplar (Kompas) saja enggak habis. Kalau dulu, <i>Pos Kota</i> 40 eksemplar. Sekarang 20 eksemplar saja enggak habis."</p>
<p dir="ltr">Selama 10 tahun itu ia sudah punya banyak pembeli, tetapi makin ke sini angkanya makin berkurang. Dulu ia bisa bawa 300 eksemplar, sekarang 120 eksemplar. Dalam sehari ia bisa bawa pulang uang antara Rp15 ribu – Rp30 ribu.</p>
<p dir="ltr">Keseharian kerjanya, Hadi menjajakan koran sejak jam 6 pagi hingga 12 siang, lalu setor ke agen. Meski terlihat bawa banyak koran, setorannya juga banyak. Misalnya, ia mendapatkan Rp70 ribu - Rp80 ribu, tetapi buat setor bisa sampai Rp70 ribu.</p>
<p dir="ltr">Sesudahnya, antara pukul 1 siang hingga 8 malam, Hadi berjualan es, dengan upah Rp500 ribu per bulan.</p>
<p dir="ltr">Pendapatan totalnya, dari 12 pelanggan tetap dalam sebulan, sekitar Rp1,8 juta. “Kalau tahun 2014, dari langganan, sekitar Rp2,3 juta, plus yang mingguan seratus ribu per bulan, jadi total Rp2,7 juta. Sekarang turunnya drastis, <i>ngumpulin </i>Rp2 juta saja susah," ujar Hadi.</p>
<p dir="ltr">Berkurangnya omzet juga terlihat dari pengalaman ia berinteraksi dengan agen. “Dulu sih ada tiga agen, sekarang tinggal satu. Banyak yang gulung tikar. Di terminal Depok, enggak tahu deh masih ada agen atau enggak," ujarnya.</p>
<p dir="ltr">Bagaimana jika banyak koran berhenti terbit?</p>
<p dir="ltr">“Ya nganggur. Cari kesibukan lainlah," kata dia. “Penginnya sih buka agen, tetapi kalau koran enggak ada, apanya yang mau dijual?"</p>
<p dir="ltr"><b>(tirto.id - chs/fhr)</b></p>
<div style="text-align: center;"><p dir="ltr" style="text-align: left;">Reporter: Chusnul Chotimah</p>
</div><p dir="ltr" style="text-align: left;">Penulis: Chusnul Chotimah</p><p dir="ltr" style="text-align: left;">Editor: Fahri Sala</p><p dir="ltr" style="text-align: left;">Sumber: tirto.id, <span style="font-size: 0.8em;">08 Februari 2017</span></p>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3487622107129209275.post-24211615736487857522022-02-25T06:29:00.003-08:002022-02-25T06:29:34.696-08:00Membedah Jawa Pos Lewat DI<p> </p><iframe width="560" height="315" src="https://www.youtube.com/embed/x6i9oXL-dfU" title="YouTube video player" frameborder="0" allow="accelerometer; autoplay; clipboard-write; encrypted-media; gyroscope; picture-in-picture" allowfullscreen></iframe>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3487622107129209275.post-89550427139756252332022-02-25T06:28:00.000-08:002022-02-25T06:28:01.839-08:00Manajemen Perusahaan Pers Ala DI<p> </p>
<iframe width="560" height="315" src="https://www.youtube.com/embed/eAahwEKUKHs" title="YouTube video player" frameborder="0" allow="accelerometer; autoplay; clipboard-write; encrypted-media; gyroscope; picture-in-picture" allowfullscreen></iframe>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3487622107129209275.post-21753589613522268912021-05-12T00:01:00.006-07:002021-05-12T00:01:58.120-07:00Media Arus Utama Lebih Percaya Diri Merambah Digital<p> </p><p></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiuW8OuNQ2rZimuHLAMx1PhQ5wHNCd8ky2Rk45hTmKGQ-LtFqWU07vemJZWyAs156Uw6tblFOKCuAN2bML8oBQO7ChTtn9jWeLGoQzSDjwRFMhl0XE6d9I93WNDaJrnxuw2kN4RcihQd1SI/s3491/situs+berita+daring.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="3491" data-original-width="720" height="1218" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiuW8OuNQ2rZimuHLAMx1PhQ5wHNCd8ky2Rk45hTmKGQ-LtFqWU07vemJZWyAs156Uw6tblFOKCuAN2bML8oBQO7ChTtn9jWeLGoQzSDjwRFMhl0XE6d9I93WNDaJrnxuw2kN4RcihQd1SI/w251-h1218/situs+berita+daring.jpg" width="251" /></a></div>Disrupsi digital tak lagi dimaknai sebagai hambatan oleh media arus utama, tetapi sebuah peluang untuk lebih mengembangkan konten yang berkualitas dan lebih luas jangkauannya.<p></p><p>Media massa arus utama semakin percaya diri menghadapi tantangan perkembangan dunia digital. Hadirnya media baru dan media sosial seiring peningkatan infrastruktur internet mulai tidak lagi dianggap saingan, musuh, atau ancaman. Media arus utama yang memiliki keunggulan menghasilkan konten terverifikasi dan diawasai lembaga negara harus mampu berkolaborasi dan beradaptasi serta kreatif mengembangkan berbagai model bisnis.</p><p>Penetrasi media massa, seperti televisi, radio, koran, tabloid, dan majalah, di Indonesia tahun 2019-2020 menurun. Sebaliknya, penetrasi internet justru meningkat. Waktu penggunaan media televisi sekitar 5 jam, radio 2 jam, media cetak 1,5 jam, serta media sosial sekitar 3 jam.</p><p>Hal tersebut mengemuka di webinar bertajuk ”Tantangan Industri Media Menghadapi Era Digitalisasi, Sabtu (8/5/2021). Acara yang digelar Kelas Ekonomi Politik Media Program Pascasarjana Magister Ilmu Komunikasi Universtas Mercu Buana Jakarta itu menghadirkan perwakilan dari media cetak, media daring, radio, televisi, dan akademisi.</p><p>Anggota Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI), Haryo Ristamadji, mengatakan, berkembangnya perilaku masyarakat dalam mencari informasi dan hadirnya media baru serta media sosisal dipandang tidak lagi jadi lawan atau ancaman. Di era kolaborasi dan konverjensi, media arus utama yang memiliki kekuatan verifikasi, check and balance, pertanggungjawaban publik, dan diawasi Dewan Pers harus mampu beradaptasi dengan masuk ke dalam permainan yang berkembang saat ini.</p><p>”Kalau ada kerumunan banyak di media sosial, ya, harus bermain juga di sana. Tinggal kebijakan media untuk beradaptasi di editorial dan bisnisnya. Momen ini jadi peluang untuk bisa mengedukasi kerumunan dengan konten yang benar. Model bisnis pun harus dua kaki atau lebih. Sebab, yang namanya bisnis media massa ini, punya kerumunan berarti bisnis juga bisa berjalan,” papar Haryo yang juga Wakil Pemimpin Redaksi Radio Elshinta.</p><p>Elshinta yang merupakan radio informasi dan berita selama 24 jam tanpa musik/ lagu, ujar Haryo, juga tak berhenti di radio. Untuk menyebarkan konten yang menjangkau lebih banyak kerumunan, Elshinta mulai mengembangkan pembuatan video hingga berita tertulis untuk media sosial. Interaksi dengan pendengar juga semakin baik dengan memanfaatkan media sosial.</p><p>Wakil Ketua Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI) Neil R Tobing mengatakan, disrupsi digital membuat televisi harus memiliki layanan baru. Namun, hal ini masih menghadapi masalah migrasi dari televisi analog ke digital. Bahkan, Indonesia termasuk lamban dalam bidang ini dibandingkan dengan negara Asia Tenggara lainnya.</p><p>Padahal, televisi digital memungkinkan layanan tidak hanya disajikan melalui layar televisi, tetapi juga dapat diakses lewat komputer, laptop, dan telepon pintar. Televisi digital harus menawarkan layanan tambahan, seperti panduan program elektronik (EPG), penyiaran konten televisi melalui internet (IPTV), hingga video on demand (VOD).</p><p>Di era sekarang, setiap orang sudah bisa memproduksi konten dan menghadirkan tontonan. Misalnya, artis yang mau curhat tidak lagi memilih televisi, tetapi bisa melalui saluran Youtube artis lain yang penontonnya jutaan.</p><p><span></span></p><a name='more'></a>Namun, ujar Neil, konten berkualitas tetap diyakini menjadi kunci sukses. Dalam perkembangannya, penonton TV di Indonesia diprediksi menyukai konten dengan kearifan lokal yang dalam dan berbasis komunitas. Namun, distribusinya harus cepat dan disajikan dalam berbagai platform.<p></p><p>”Ya, televisi pun kini harus bisa masuk. Sekarang tidak lagi ancaman, tetapi harus berkolaborasi dengan media baru dan media sosial. Program televisi dipromosikan lewat beragam media sosial karena interaksi/engagement dengan audiens bisa berjalan dan berdampak baik untuk televisi,” tutur Neil yang juga Direktur dan Sekretaris Perusahaan PT Visi Media Asia.</p><p>Ada peluang tumbuh</p><p>Wakil Pemimpin Harian Kompas Tri Agung Kristanto mengatakan, media cetak mengalami penurunan bukan hanya akibat pandemi Covid-19, melainkan juga karena disrupsi digital. Media cetak yang tidak mampu mengembangkan diri dan beradaptasi tentunya akan punah. Media cetak mulai memperkuat dan mengembangkan media digital.</p><p>Dari temuan WAN-IFRA 2020/2021, secara global pendapatan dari iklan media cetak turun 19,5 persen pada 2020. Pendapatan dari sirkulasi turun 13 persen. Namun, dari Jerman ada yang melaporkan peningkatan pendapatan dari pembaca media cetak naik 5 persen. Sementara The New York Times pertumbuhan pelanggan digital dan pendapatannya naik.</p><p>Menurut Tri, di masa depan, media di Indonesia yang dari sisi iklan saat ini menurun mulai merambah ke media digital. Seperti, misalnya, Kompas yang terus beradaptasi dengan pekembangan digital lewat media daring berlangganan/berbayar www.kompas.id.</p><p>Konsekuensinya, kebutuhan untuk merekrut tenaga di bidang teknologi informasi menjadi penting. Ada kebutuhan pewarta video untuk membuat video ataupun animator 3D untuk mengerjakan grafis tiga dimensi demi memperkuat sajian digital Kompas.id.</p><p>”Tidak cukup dua kaki untuk menumbuhkan media cetak. Memang media cetak bukan lagi terbesar, akan klasik. Seperti halnya musik klasik, tetap ada yang menikmati. Karena itu, terus dikembangkan kaki baru untuk meningkatkan pendapatan yang tak tergantung iklan semata. Kami mengembangkan audiens dari Kompas Institute, acara (event), Kompas Collaboration Forum, dan lain-lain untuk menjawab tantangan digitalisasi, enggak hanya karena pandemi,” papar Tri.</p><p>Ketua Umum Asosiasi Siber Indonesia (AMSI) Wenseslaus Manggut mengatakan, di media digital, perusahaan pers hanya sebagai produsen konten. Adapun distribusi konten dikendalikan perusahaan teknologi.</p><p>Saat ini, kunjungan pelanggan langsung ke laman berkisar 20 persen, sisanya 80 persennya dari platform lain, seperti Google dan Facebook. Kencenderungan mencari konten dari Google sangat tinggi sehingga, jika konten tidak muncul di mesin pencarian Google, media akan kehilangan pengunjungnya.</p><p>Kini, ada tuntutan untuk membenahi distribusi konten oleh platform teknologi agar produksi konten dari setiap orang yang bernada hoaks, ujaran kebencian, ataupun pers receh tidak mudah menyebar.</p><p>”Perlu dibenahi supaya ekosistem yang sekarang ini bisa semakin sehat. Supaya dalam pendistribusian konten bisa mendeteksi mana yang hoaks, ujaran kebencian, supaya iklan tidak masuk ke situ. Dewan Pers sedang berusaha ke situ. Dalam pembenahan ekosistem ini penting juga adanya intervensi negara agar jangan terjadi kekacauan,” tutur Wenseslaus yang juga COO Kapanlagi.</p><p>Dosen Magister Ilmu Komunikasi Universitas Mercu Buana, Afdal Makkuraga Putra, mengatakan, perkembangan media massa tidak bisa dipisahkan dari industri, pemerintah, masyarakat, dan teknologi. Teknologi digital mampu mengubah wujud perkembangan industri. Dengan penyediaan infrastruktur internet yang semakin baik, selera masyarakat mencari informasi pun berubah, tidak lagi ke media cetak, tetapi digital.</p><p>”Ada masa depan sekaligus tantangan untuk media arus utama saat ini,” ujar Afdal.</p><p>Oleh ESTER LINCE NAPITUPULU</p><p>Editor: ADHITYA RAMADHAN</p><p>Sumber: Kompas, 8 Mei 2021</p>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3487622107129209275.post-46237653007833751432021-05-07T20:54:00.008-07:002021-05-07T20:54:35.351-07:00 Sapto Anggoro Tinggalkan Tirto.Id<p><br /></p><p><i></i></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><i><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhGSkwf93UKqdJz06S66yr-xUaPBs9tzPwd3__fQZfO9cti8vAYroUss5gF3gMfDHwf0mIB_8TlIVXJ7ziEo4ktaoM7f8Vw3P22ltH28P_RBpKDmzU4vnG0Eq52j2NHUytayU6s0VjT2033/s640/sapto-anggoro-tinggalkan-tirto-id--thumbnail-362.webp" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="360" data-original-width="640" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhGSkwf93UKqdJz06S66yr-xUaPBs9tzPwd3__fQZfO9cti8vAYroUss5gF3gMfDHwf0mIB_8TlIVXJ7ziEo4ktaoM7f8Vw3P22ltH28P_RBpKDmzU4vnG0Eq52j2NHUytayU6s0VjT2033/s320/sapto-anggoro-tinggalkan-tirto-id--thumbnail-362.webp" width="320" /></a></i></div><i>---Sapto Anggoro tinggalkan Tirto.Id. (Ngopibareng)</i><p></p><p>Sapto Anggoro, CEO media siber Tirto.Id membuat kejutan. Dia mundur dari media yang didirikannya tahun 2016, sekaligus melepas kepemilikan sahamnya pada PT Tirta Adi Surya, pengelola Tirto.Id.</p><p>Alumni Stikosa AWS Surabaya yang lahir 55 tahun lalu di Jombang ini memiliki jam terbang tinggi sebagai jurnalis, mula-mula di harian Surabaya Post, kemudian harian Berita Buana, Republika, kemudian Detik.com.</p><p><span></span></p><a name='more'></a>Saat di Detik.com yang antara lain didirikan oleh Budiono Darsono, seniornya saat di Surabaya Post dan Berita Buana, inilah Sapto memperdalam dan mengembangkan pengetahuannya tentang IT dan marketing digital, yang kelak secara masif ternyata mampu mengalahkan media berbasis kertas.<p></p><p>Tahun 2011 Sapto keluar dari Detik.com, kemudian ikut mendirikan Merdeka.com. Tahun 2016, ayah dari dua anak ini resign dari Merdeka.com, kemudian mendirikan Tirto.Id. Tapi sejak 1 Mei 2021, namanya tidak ada lagi di jajaran pengelola Tirto.Id.</p><p>Sapto kini tercatat sebagai Ketua Badan Pertimbangan dan Pengawas AMSI (Asosiasi Media Siber Indonesia) Pusat, sambil tetap menjaga perusahaan yang didirikannya tahun 2009 dan bergerak di bidang monitoring media yaitu PT Binocular, yang memiliki lebih dari 120 karyawan.</p><p>Berikut hasil wawancara M. Anis dari Ngopibareng.Id dengan Atmaji Sapto Anggoro, Kamis malam. </p><p><i>Bagaimana perkembangan Tirto.ID, media siber yang Anda kelola?</i></p><p>Baik-baik saja ya, meski banyak WFH tapi kinerja masih OK hanya laporan utama tidak sesering dahulu. Sekarang sudah ada tim baru yang mengelolanya.</p><p><i>Usia Tirto.Id kalau tidak salah hampir lima tahun, bagaimana gagasan awal Anda mendirikannya?</i></p><p>Ya, 3 Agustus nanti tepat lima tahun, dari usia peluncurannya. Meski tentu saja kalau dari kerja-kerja jurnalistiknya sudah sejak awal tahun 2016 dimulai dari blog wordpress, lalu dipindah atau parsing ke web resmi.</p><p><i>Tirto.Id termasuk media yang berpengaruh, kalau boleh tahu, apa kuncinya?</i></p><p>Oh ya, terima kasih. Ya karena sejak awal ide fundamentalnya ingin membuat media yang kredibel, dengan penelitian yang presisi, dengan analisa, dan konklusi yang tajam. Dengan demikian media tidak hanya sebagai informasi, tapi kami kuatkan dengan data sekunder hasil riset sehingga bisa memberikan insight baru bagi pembacanya. Meski tidak selalu tepat tapi memberi wawasan, insight, dan menciptakan diskursus itu menurut kami penting dalam upaya menumbuhkembangkan literasi.</p><p>Untuk membuat Tirto.Id sesuai dengan konsep yang direncanakan, apakah ada strategi khusus misalnya menyangkut rekruitmen SDM?</p><p>Ya, karena Tirto adalah produk intelektual, bukan pabrikan, hal yang utama adalah mencari SDM yang pas. Kami idenya ingin membuat media yang dalam, banyak data, memberikan insight, tapi tetap layak dan enak dibaca.</p><p>Maka untuk itu kami harus merekrut researcher yang andal, leadernya dulu master Taiwan dan PhD Belanda. Kami sangat terbantu dengan mereka.</p><p>Dengan kontribusi dan dedikasi mereka inilah Tirto bisa menjadi media pertama di Indonesia yang mendapatkan badge atau sertifikat International Fact Checking Network atau IFCN sebagai pengakuan atas akurasi informasi yang kami sampaikan. Berkat IFCN kami dipercaya sebagai konten supplier anti hoax untuk Facebook.</p><p><i>Apakah hanya tim riset saja yang penting? Apa tidak ada kesulitan menterjemahkan hasil riset ke dalam berita atau artikel?</i></p><p>Pertanyaan menarik. Nah, ketika data hasil riset dituangkan ke dalam cerita, kami perlu membangun konten yang enak dibaca. Memang selama ini media ekonomi kurang merakyat karena data-datanya ruwet. Hanya orang sekolah keuangan atau bisnis saja yang paham. Tapi pendekatan kami beda. Agar pesannya sampai dan muda dicerna, kami mencari sastrawan=sastrawan essai yang mumpuni, kita rekrut satu orang yang piawai lalu dia kita beri hak membuat tim penulis yang bisa menjalankan narrative journalism. Banyak sastrawan esai Jogja bergabung bersama kita. Dan selain itu banyak lulusan sejarah maka jangan heran kalau kami wadahi produk mozaik yang sering dipakai guru-guru mengajar di SMP-SMA terlihat dari email -email yang masuk senagai ucapan terima kasih, dukungan, dan masukan. Bahkan juga ada koreksi, wajar, bahkan makin menguatkan kualitas isi kami.</p><p>Tapi kami masih kesulitan dengan tulisan panjang, apa ada yang mau baca? Dalam menyelesaikan itulah kami mencari solusi untuk membuat infografik. Dan leader infografik bukan orang desain, tapi orang komunikasi dan penulis esai. Yang waktu melamar maunya jadi redaksi, tapi setelah wawancara memiliki kompetensi grafis, maka saya tantang dengan membuat infografik yang berbeda (bukan data grafis model statistik), akhirnya mau dan ide-idenya beyond.</p><p>Setelah enam bulan, banyak yang ingin bergabung dengan kita, meski semula susah mengajak orang apalagi yang pengalaman malah meremehkan dan menggurui. Tim SDM champion ada beberapa akhirnya mempengaruhi anggota lainnya, maka menjadi sistemis sehingga terintegrasi. Perdebatan diskusi meski santai serius tapi kalau lemah iman dalam hal ide, bisa tak kuat dan bisa mengundurkan diri. Ide dan eksekusi menjadi catatan penting dalam tim tirto sehingga hasilnya bisa dilihat seperti itu. Jadi SDM yang pas itu kunci.</p><p><i>Saya bermaksud konfirmasi saja, dengar-dengar Anda sekarang mundur dari Tirto.Id. Sudah mundur atau hendak mundur?</i></p><p>Hahhaa. Iya, saya mundur bersama teman-teman co founder sejak pertengahan April, kami bertiga. Kebetulan kami masing-masing saya CEO dan Pemred, Teguh sebagai direktur konten dan Nursamsi sebagai CTO. Kami mundur pertengahan April sebagai pemegang saham, dan mundur sebagai manajemen akhir April setelah komposisi pemegang saham baru melakukan RUPS dan menerima pengunduran diri kami.</p><p><i>Kalau boleh tahu, apa alasannya?</i></p><p>Alasannya tidak tunggal ya. Soal bisnis tentunya ya. Konsep saya waktu itu biar gak murahan, kami baru mencari ikon setahun setelah launching, betul setelah setahun iklan masuk berdatangan, dan gak lama sudah menanjak, tiba-tiba pandemi menghajar. Pendapatan langsung tinggal 20 persen, kelimpungan, sejurus kemudian para agensi mengirim surat bahwa mereka yang sudah terlanjur kontrak ada yang membatalkan dan sebagian besar menunda pembayaran sampai jangka waktu yang tak ditentukan.</p><p>Karena model bisnis utamanya iklan maka ketergantungan pada agensi iklan tinggi sementara agensi iklan kena paling dalam saat pandemi, bisa dilihat dari banyak hasil riset. Untuk memenuhi operasional, meski sudah dikurang-kurangi, tetap tak cukup dan setiap bulan nombok terus gak kira-kira. Mencari investor dari VC maupun angel investor susah minta ampun. Ya akhirnya utang-utang, mulai dari model anjak piutang dengan menggadaikan kontrak, mengorbankan remunerasi manajemen, sampai mengorbankan delusi saham.</p><p>Apalagi harga perusahaan makin menurun karena memang susah peminat, dan media pada saat ini di Indonesia belum meyakinkan investor. Karena kesulitan-kesulitan itu dan khawatir saham makin habis karena delusi dan murah valuasi ya, lebih baik mundur.</p><p><i>Mundur dengan menjual saham? Berapa persen kepemilikan saham Anda di Tirto.ID?</i></p><p>Ya. Kita jual. Sampai akhir kami bertiga sudah tinggal tak lebih dari 20 persen sudah bukan majority lagi.</p><p><i>Bisa dijelaskan komposisi kepemilikan saham pada Tirto.ID?</i></p><p>Mohon maaf, tidak bisa ya, karena sejak awal berubah-ubah sampai sebelum kami keluar. Yang pasti kami bukan majority.</p><p><i>Siapa pembeli saham Anda?</i></p><p>Dari perusahaan SkyStar, sebuah Venture Capital yang sedang berkembang. Saya bersyukur di masa sulit masih ada yang mau bersusah-payah untuk masuk di bisnis media online. Tapi setelah pandemi tentu situasinya akan berubah ke arah yang lebih baik.</p><p>Tirto.Id adalah salah satu media yang dipercaya dan berpengaruh. Anda tidak menyesal, meninggalkan media yang Anda rintis itu kini telah mencapai posisi tersebut?</p><p>Tidak mudah menjawab ini. Benar juga pertanyaan Anda, ini berat. Kami butuh waktu lama untuk memutuskan. Akhir tahun lalu sudah saya sampaikan untuk mundur, tapi ditolak majority. Lalu kami coba lagi Maret lalu, melalui serangkaian rapat akhirnya diterima. Bahkan ada pembeli yang masuk lalu sedia ambil saham kami. Kebetulan.</p><p>Yang membuat kami rela justru karena pada tiga bulan terakhir kondisi kontrak-kontrak bisnis dengan perusahaan menunjukkan ke arah positif bila dinett-Off dengan biaya operasional. Setelah positif rasanya kami bisa meninggalkan dalam keadaan kapal baik-baik saja. Bahwa nakhodanya terpaksa harus ganti, itu risiko. Yang penting kapal terus berlayar.</p><p><i>Berapa jumlah karyawan Tirto.Id saat ini?</i></p><p>Sekitar 100.</p><p><i>Bagaimana dengan para karyawan selepas Anda meninggalkan Tirto.Id?</i></p><p>Tidak ada masalah, di bawah kepemilikan saham perusahaan baru dan tetap bersama pemilik lama, tidak ada persoalan serius. Saya sudah meeting untuk itu tiga kali di Jakarta dan Jogja. Untuk diketahui, sebagian awak kami ada di Jogja. Beberapa leader juga ketemu dengan kami dan banyak yang sudah disampaikan dan akan tetap mereka jaga ruh Tirto yang selama ini mereka perjuangkan. Tirto bukan hanya saya, tapi sudah menjadi kesatuan ruh seluruh kru. Saya hanya komandan di depan saja untuk membackup kawan-kawan.</p><p>Pengalaman jurnalistik Anda sejak tahun 80an luar biasa, dari Surabaya Post, Berita Buana, Republika, Detik.com, Merdeka.Com, dan terakhir Tirto.Id. Dengan meninggalkan Tirto.Id, apakah Anda sama sekali meninggalkan dunia jurnalistik?</p><p>Tentu tidak. Ya memang jurnalistik atau kewartawanan dulu saya yakini, adalah profesi yang mengasyikkan, menjadi banyak tahu karena dituntut untuk menggali sesuatu dan harus tahu lebih dulu atau lebih baik sebelum menginformasikan ke pihak lain. Makanya saya kuliah di jurnalistik di Surabaya sebelum ilmu komunikasi berkembang marak seperti sekarang. Selain Tirto saya juga ada bisnis yang tak jauh dari dokumen, dengan kerja riset media, jadi masih di sekitar itu.</p><p><i>Apakah Anda akan membuat media baru? Bisa dijelaskan?</i></p><p>Ya ini sebenarnya lebih sebagai ekstensi atau pelebaran produk dari usaha big data media analisis yang kami sudah jalankan sejak 2010, jadi membuat peta informasi yang kami sebut sebagai Newsmap.id yang nanti akan mengagregasi konten-konten kualitas bersama partner-partner, sementara di dalamnya ada yang kita produksi dengan laporan yang dibungkus dalam Deduktif.com sebagai model konten prediction yang konklusif hasil dari masping data sebelumnya sehingga mendekati presisi.</p><p>Ya ini upaya, tawaran lain buat publik, dan nanti konten-konten itu juga dikerjasamakan dengan jaringan TV monitor yang tersebar di berbagai tempat. Ini juga bagian menggali model bisnis baru media. Saya kira kita harus selalu menggali potensi-potensi pengembangan jurnalistik dan juga pengembangan model bisnis sehingga media akan semakin kuat dan menjadikannya independen.</p><p>Sumber: ngopibareng.id Jumat, 07 Mei 2021</p>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3487622107129209275.post-37749270087251018412021-04-24T07:39:00.001-07:002021-04-24T07:39:05.971-07:00 Setahun Pandemi, Muncul Tren Positif untuk Masa Depan Media<p><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjveCmCKebtf5en-_qXqim8HjEQBWe2VNIBqvuYpIfMib_BeNCHAQsmBF6TIENpncSvC9NBFvA4WDkChP4lMEulUTlafHxgAxdefM8KPybeTrIszMeA8zFVLECzlZw0nUMdEGgUH0StcA4h/s720/IMG_20210424_154005.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; display: inline !important; float: left; font-style: italic; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em; text-align: center;"><img border="0" data-original-height="457" data-original-width="720" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjveCmCKebtf5en-_qXqim8HjEQBWe2VNIBqvuYpIfMib_BeNCHAQsmBF6TIENpncSvC9NBFvA4WDkChP4lMEulUTlafHxgAxdefM8KPybeTrIszMeA8zFVLECzlZw0nUMdEGgUH0StcA4h/s320/IMG_20210424_154005.jpg" width="320" /></a></p><i>KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA---Telepon seluler saat ini tidak hanya sebatas alat komunikasi, tetapi juga sebagai sumber informasi dari berbagai media daring, Kamis (3/9/2020). Seiring perkembangan teknologi digital, media cetak pun mengembangkan media daring.</i><p></p><p>Krisis akibat pandemi Covid-19 memengaruhi bisnis media, tetapi tidak semuram perkiraan semula. Jumlah pembaca berita yang meningkat dua kali lipat selama pandemi dan belanja iklan untuk media yang juga meningkat menunjukkan arah positif untuk masa depan media.</p><p>Berdasarkan survei Nielsen di 11 kota besar di Indonesia, pembaca berita naik sekitar 100 persen dalam setahun terakhir. Jika pada kuartal keempat 2019 jumlah pembaca berita, baik media cetak maupun media daring, mencapai 6,9 juta orang, pada kuartal keempat 2020 mencapai 12,9 juta.</p><p><span></span></p><a name='more'></a>Peningkatan jumlah pembaca terjadi pada media cetak maupun media daring. Namun, kenaikan angka pembaca media cetak, dari 2,1 juta menjadi 2,6 juta, tidak dapat diartikan sebagai kenaikan penjualan, tetapi dapat terjadi karena lebih banyak anggota keluarga yang beraktivitas di rumah selama masa pandemi.<p></p><p>Dari sisi iklan, perkiraan awal sebagian besar pengiklan akan memotong anggaran iklannya secara drastis selama masa pandemi. Namun, temuan Nielsen menunjukkan hal yang berbeda. Belanja iklan di televisi, media cetak, radio, dan media digital yang pada 2019 mencapai Rp 182 triliun, pada 2020 meningkat menjadi Rp 229 triliun dengan tren yang mulai stabil sejak semester kedua 2020.</p><p>Direktur Eksekutif Nielsen Indonesia Hellen Katherina, Kamis (22/4/2021), mengatakan, porsi kue iklan terbesar masih tetap untuk televisi sebagaimana tahun-tahun sebelumnya. Sementara porsi iklan untuk media cetak dan radio menurun. Porsi kue iklan untuk media digital meningkat empat kali lipat, tetapi hal ini kemungkinan dipengaruhi juga perbaikan teknologi yang dilakukan Nielsen untuk menangkap iklan-iklan digital.</p><p>Meski iklan di media cetak menurun, peningkatan jumlah pembaca memberikan optimisme untuk bisnis media cetak. Ketua Harian Serikat Perusahaan Pers (SPS) Januar Primadi Ruswita mengatakan, media cetak selama ini memang mengandalkan pendapatan dari penjualan koran dan pendapatan iklan. Meskipun begitu, dia yakin media cetak masih akan bertahan dengan melakukan transformasi digital dan meningkatkan kualitas konten beritanya.</p><p>”Ibarat kapal layar yang fungsinya sudah tergantikan oleh kapal motor, kapal layar sampai sekarang tetap ada, tidak hilang sama sekali. Media cetak juga akan tetap ada, tetapi tidak lagi menjadi bisnis utama,” kata Januar, Jumat (23/4/2021).</p><p>Menyesuaikan diri</p><p>Dengan lanskap berita dan iklan yang berubah seiring perkembangan teknologi digital, kata Januar, media cetak pun harus menyesuaikan diri. Mengembangkan media daring/digital dengan tetap mempertahankan media cetak dengan konten yang mengedepankan berita mendalam dan infografis menjadi solusi untuk tetap bertahan.</p><p>”Hampir semua (media cetak) telah melakukan transformasi ke media digital, tetapi masih pada tahap meng-online-kan konten-konten media cetaknya. Baru beberapa media yang sudah menjalankan model bisnis sebenarnya dari media digital,” ujarnya.</p><p>Ketua Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Wenseslaus Manggut juga optimistis ada tren positif untuk perkembangan industri media. ”Tadinya kami ragu, pada survei (AMSI) pada Mei 2020 banyak (pengelola media digital) yang menyatakan hanya bisa bertahan 3-6 bulan ke depan. Kenyataannya, sampai sekarang tidak ada yang berguguran karena ternyata ada peningkatan pendapatan,” katanya.</p><p><i></i></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><i><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjfF0QFGZc0S5Z0GqQO_E_cloMjMkAGBwQ-jDxsDm02lvcLuMC_5vV1e309McC0k8YVKLQn_NhhlX2uuL5xq93_XONuBDI4QHInLVwxGTyXOgQz7r901wPyngU3zZeY-7Zm7yRPrUqMOkKN/s720/IMG_20210424_153922.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="375" data-original-width="720" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjfF0QFGZc0S5Z0GqQO_E_cloMjMkAGBwQ-jDxsDm02lvcLuMC_5vV1e309McC0k8YVKLQn_NhhlX2uuL5xq93_XONuBDI4QHInLVwxGTyXOgQz7r901wPyngU3zZeY-7Zm7yRPrUqMOkKN/s320/IMG_20210424_153922.jpg" width="320" /></a></i></div><i>KOMPAS/YOVITA ARIKA----Dampak disrupsi digital dan pandemi Covid-19 pada industri media.</i><p></p><p>Peningkatan jumlah pembaca berita selama pandemi, kata Wenseslaus, juga mengajarkan media bahwa masyarakat membutuhkan informasi. Ke depan, konten berita yang terkait langsung dengan kebutuhan pembaca menjadi sangat penting, terutama untuk media-media di daerah.</p><p>”Traffic (lalu lintas) berita selama pandemi meningkat karena masyarakat butuh informasi untuk rujukan mereka bertindak. Ke depan, proximity (kedekatan dengan pembaca) ini penting. Informasi tentang politik mungkin (tetap) dibutuhkan, tetapi tidak sebesar kebutuhan informasi kesehatan,” ujarnya.</p><p>Perubahan lanskap konten maupun bisnis media juga menjadi kesempatan media untuk memaksimalkan kekuatan digital, baik bagi media cetak maupun media digital. Survei Nielsen menunjukkan, pola konsumsi masyarakat tidak sepenuhnya bergeser dari media konvensional ke digital. Media digital digunakan sebagai medium penghubung lain, baik televisi, media cetak, radio, untuk mengonsumsi konten baik hiburan maupun informasi.</p><p>Oleh YOVITA ARIKA</p><p>Editor: ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN</p><p>Sumber: Kompas, 24 April 2021</p>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3487622107129209275.post-59159135856746034172021-04-17T07:22:00.002-07:002021-04-17T07:22:20.106-07:00Menyoal Keberpihakan Tempo<p> </p><iframe width="560" height="315" src="https://www.youtube.com/embed/4E8X3L_MWFA" title="YouTube video player" frameborder="0" allow="accelerometer; autoplay; clipboard-write; encrypted-media; gyroscope; picture-in-picture" allowfullscreen></iframe>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3487622107129209275.post-90035084077752483712021-02-24T08:43:00.002-08:002021-02-24T08:43:35.259-08:00Hari-Hari Omong Harmoko<p> </p>
<iframe width="560" height="315" src="https://www.youtube.com/embed/ih8vcQWrz1Q" frameborder="0" allow="accelerometer; autoplay; clipboard-write; encrypted-media; gyroscope; picture-in-picture" allowfullscreen></iframe>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3487622107129209275.post-38367888509887098722020-12-30T00:15:00.003-08:002020-12-30T00:15:36.711-08:00Untuk Iklan atau Informasi<p></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjCSMZqNQAFW2c7qKessKY3vN2yf2bkji7t4-8JA3hrlkWsPHakJuIc_hr29LKcvz_Y6nNylQ7PH47U5M6KJ-xSjIvs0AnijkYv2E1oWuNkSUxwYfRYf8CwoUxK5B_No76mVwO6S5mLowpb/s720/IMG_20200413_114146.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="401" data-original-width="720" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjCSMZqNQAFW2c7qKessKY3vN2yf2bkji7t4-8JA3hrlkWsPHakJuIc_hr29LKcvz_Y6nNylQ7PH47U5M6KJ-xSjIvs0AnijkYv2E1oWuNkSUxwYfRYf8CwoUxK5B_No76mVwO6S5mLowpb/s320/IMG_20200413_114146.jpg" width="320" /></a></div><br />Pelaksanaan kebijaksanaan penambahan halaman koran harian umum menjadr 16 halaman setiap hari perlu dipersiapkan lebih matang oleh pengelola pers. Sebab, kebijaksanaan tersebut mempunyai konsekuensi logis terhadap pertambahan jenis dan volume berita yang akan disajikan pada setiap penerbitan. Penyerapan informasi akan semakin besar dan peluang bisnis periklanan juga semakin besar. <p></p><p>Menurut saya, bagi pembaca sendiri perluasan terbitan 16 halaman menjadi setiap hari tidak ada masalah. Sebab, jumlah halaman sebuah surat kabar tidak dijadikan pertimbangan oleh calon pembacanya. Ketika seseorang memutuskan untuk membeli sebuah surat kabar, yang dijadikan pertimbangan ialah isi koran hari itu. Artinya, pembeli koran tersebut akan melihat berita apa saja yang disajikan dalam koran hari itu. </p><p><span></span></p><a name='more'></a>Memang, pertimbangan pembaca koran di Indonesia masih terbatas pada sifat penyajian berita. Menarik atau tidak menariknya suatu berita menjadi pertimbangan utama dalam memilih sebuah surat kabar. Bahkan, pembaca cenderung memilih berita yang akan dibacanya dulu sebelum membeli koran. Jadi, tidak seluruh halaman dibaca oleh orang Indonesia.<p></p><p>Hal lain yang perlu dilihat adalah kemampuan pengelola koran di daerah. Sebab, makin hari mereka berhadapan dengan invasi bisnis media dari pusat. Selain dihadapkan dengan faktor kekuatan modal, pers daerah juga menghadapi pers pusat yang kaya dengan improvisasi penyajian berita. Namun, bukan tidak ada letak keunggulan pers daerah. Yang utama, koran daerah sering mengerti benar selera dan kebutuhan informasi pembacanya. Dengan perhatian yang memusat, koran daerah akan unggul dalam penyajian berita di lokalnya. Pola penyajian berita semacam itu menguntungkan koran daerah. </p><p>Menurut saya, terbitan koran 16 halaman setiap hari berarti penambahan volume iklan. Pendapatan koran dari iklan akan semakin besar. Tetapi, kalau korannya terlalu padat dengan iklan, koran itu akan membosankan pembacanya. Mereka merasa dijejali dengan kepentingan dagang koran tersebut yang sudah tidak selektif lagi. . </p><p>Di luar permasalahan penambahan halaman tadi, belakangan ini saya melihat ada kecenderungan tidak ditaatinya proporsi jumlah iklan dengan jumlah berita. Perbandingan 35 persen iklan dan 65 persen berita tampaknya tidak mudah diatasi. Sebab, pemilik koran memang menjadikan pertimbangan bisnis lebih besar daripada pertimbangan penyebaran informasi pembangunan. </p><p>Penerbitan 16 halaman setiap hari juga menghambat pemerataan pendapatan iklan bagi tiap koran. Sebab, iklan yang tak termuat dalam koran besar karena sudah penuh, seharusnya tersalur ke koran-koran yang kering iklan. Tetapi, dengan izin 16 halaman setiap hari, berarti kesempatan koran-koran yang sudah mapan untuk menampung iklan lebih banyak. </p><p>Kejenuhan pembaca juga perlu diantisipasi pemilik koran. Kejenuhan itu terjadi akibat, misalnya penulisan berita yang perlu dipanjangkan. </p><p>Padahal, sebelumnya berita cukup ditulis dengan singkat. Tidak selamanya pembaca mau membaca berita yang ditulis panjang-panjang. Kesulitan itu terjadi akibat kelebihan halaman. </p><p>Pada peristiwa besar dan berlangsung lama, misalnya Perang Teluk, mungkin perlu penyajian berita yang panjang. Berita yang disajikan harus maksimal. Analisis berita juga perlu panjang. Dan, kolom opini pun harus terisi padat. </p><p>Namun, semua itu akan menjadikan wajah koran kita menjadi berlebih-lebihan. Akibatnya, orang mungkin akan meninggalkan sebuah koran yang menjadi langganannya hanya karena dia menganggap surat kabar itu sudah membosankan. Karena itu, perlu dipertimbangkan penyajian berita yang bervariasi. Dan, tantangan itu hanya dapat dijawab oleh seorang redaktur yang memiliki visi yang luas dan kemampuan redaksional yang prima. (seperti yang dituturkan kepada andi muhammad asrun) </p><p>Oleh Dr M. Alwi Dahlan, Ahli Komunikasi Masa </p><p>Sumber: Jawa Pos, 6 Maret 1991</p>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3487622107129209275.post-38112051853767273442020-10-14T07:29:00.003-07:002020-10-14T07:29:32.401-07:00Kembali Menguatkan Radio Komunitas<p><i></i></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><i><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg05IGlot_2-GxyQnYezqTeHwpQJ46SKivkjbvy71a7Vfst2lvExri42OinQx19A77EuLFv0-hJIZonOdoJPrBJxcP0iPRyzjp4Fbcc1JBG2fQIWTJ3vLH61eKEN86ClEXYJxK9OQECXHxD/s1024/20190504coke-komik-bahasa-baliSILO-1024x579.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="579" data-original-width="1024" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg05IGlot_2-GxyQnYezqTeHwpQJ46SKivkjbvy71a7Vfst2lvExri42OinQx19A77EuLFv0-hJIZonOdoJPrBJxcP0iPRyzjp4Fbcc1JBG2fQIWTJ3vLH61eKEN86ClEXYJxK9OQECXHxD/s320/20190504coke-komik-bahasa-baliSILO-1024x579.jpg" width="320" /></a></i></div><i><br />KOMPAS/COKORDA YUDISTIRA---Ketua Tim Penggerak PKK Provinsi Bali Ni Putu Putri Suastini Koster (tengah) bersama Direktur BASAbali Wiki I Gede Nala Antara (kanan) berbicara di studio Radio Komunitas Dwijendra, Kota Denpasar, Sabtu (4/5/2019), seusai peluncuran komik berbahasa Bali itu di Aula Sadhu Gocara Dwijendra.</i><p></p><p>Dari warga untuk warga, begitulah radio komunitas berperan. Saat bencana datang, radio komunitas secara sigap merespons dengan memberi informasi pengurangan risiko bencana. Saat Covid-19 ini, mereka sangat dibutuhkan.</p><p><span></span></p><a name='more'></a>Dari gang Mosintuwu, Yosi, Pamona Puselembah di Kabupaten Poso, radio komunitas Mosintuwu FM mengudara sejak 2015. Dari konten kabar komunitas desa sampai analisis kritis pembangunan ekonomi sosial, ekonomi, budaya Poso disiarkan dari gang itu ke seantero desa.<p></p><p>Namun, sejak Covid-19 ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebagai pandemi pada Maret 2020, radio komunitas Mosintuwu FM menjadi radio darurat siaga Covid-19. Kala itu, perizinan penyiaran darurat belum sempat terurus maksimal karena ingin mendahulukan urgensi siaran klarifikasi dan komunikasi informasi seputar Covid-19.</p><p>Hoaks dan disinformasi Covid-19 menyebar luas di kalangan warga bukan hanya yang tinggal di kabupaten, melainkan juga sampai ke desa-desa. Kontennya beragam mulai dari teori konspirasi sampai makan telur ayam sebelum matahari terbit bisa menangkal Covid-19.</p><p>Sampai-sampai, kata aktivis radio komunitas Mosintuwu FM Lian Gogali, sejumlah warga sampai heboh berburu, memadati pasar tradisional saat subuh dan ada yang nekat membeli telur busuk. Tsunami informasi Covid-19 luar biasa masuk ke desa. Kalaupun ada televisi, siarannya tidak bisa segera mengkonfirmasi hoaks dan disinformasi.</p><p>”Saya tinggal di Tentena, sebuah kota kecil (kecamatan) di Kabupaten Poso. Desa-desa yang masuk dalam Tentena belum semuanya terpapar akses internet dan informasi. Belum semua warga desa punya televisi, apalagi gawai,” ujarnya dalam webinar ”Peran Radio Darurat untuk Pencegahan Covid-19” pada 10 September 2020.</p><p>Sebagai radio darurat siaga Covid-19, Mosintuwu FM berperan sebagai media informasi, konfirmasi, dan klarifikasi. Radio ini menggandeng sekitar 80 desa di Kabupaten Poso, satu desa di Donggala, dan satu desa di Parigi Moutong. Setiap pagi, melalui program Kabar-Kabar Desa yang mengudara pukul 08.00-10.00, warga bisa menyimak reportase seputar Covid-19 dari warga desa lainnya. Hal ini secara tak langsung membangun hubungan dan solidaritas antarwarga.</p><p>Lian menceritakan siaran radio juga berisi program konten promosi produk warga setempat, yang diberi nama Pasar On Air. Program ini juga lahir dari hoaks ataupun disinformasi Covid-19 yang menyebabkan ibu-ibu pedagang di pasar sempat mengeluh pendapatannya turun. Melalui Pasar On Air, warga desa diharapkan bisa cepat memperoleh informasi barang, lalu pedagang tetap bisa berjualan dari tempat masing-masing dan mengantarnya kepada pemesan.</p><p>Mosintuwu FM juga mengembangkan program siaran yang mengambil informasi skala nasional. Komunitas bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo), dan tenaga kesehatan setempat. Isinya masih seputaran Covid-19 yang dikemas sesuai dengan selera komunitas.</p><p>Selain radio, konten siaran Mosintuwu FM bisa didengar melalui laman resmi. Jadi, warga desa di wilayah di luar Poso tetap bisa mengakses. ”Kami ingin sesama warga desa tetap bisa saling menguatkan selama pandemi Covid-19,” imbuh dia.</p><p><i></i></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><i><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiYgrlTZbh5eHXGf-tmv7XpGAl6WO5YkjLyJUW8jMmWHeMYDpgg41clt_n5ARotMPzIegsZFsddjZWbAgpRSfF07_h8QA3Lt5d_FKn0NSK74WeAfS3qw3-7_tNOfyoSZcRLaM-gcArsKqvs/s1024/kompas_tark_794668_2_0-1024x682.jpeg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="682" data-original-width="1024" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiYgrlTZbh5eHXGf-tmv7XpGAl6WO5YkjLyJUW8jMmWHeMYDpgg41clt_n5ARotMPzIegsZFsddjZWbAgpRSfF07_h8QA3Lt5d_FKn0NSK74WeAfS3qw3-7_tNOfyoSZcRLaM-gcArsKqvs/s320/kompas_tark_794668_2_0-1024x682.jpeg" width="320" /></a></i></div><i>----Ilustrasi: Kristian (kanan) dan Desiana, dua penyiar cilik, membawakan siaran di radio komunitas FAS FM 107,7 Mhz, Maumere, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur, Selasa (4/6). Radio yang menjadi salah satu kegiatan Forum Anak Sikka itu dikelola anak-anak usia 10-18 tahun dan diperuntukkan bagi pendengar anak-anak.</i><p></p><p>Radio darurat</p><p>Melkior Muda Making, Kepala SMP Negeri 1 Nubatukan, Lembata, Nusa Tenggara Timur, mempunyai cerita berbeda. Dengan modal Rp 12 juta, sekolah membeli perangkat penyiaran bekas dari radio swasta yang tutup di daerah itu dan mendirikan radio komunitas Spensa FM.</p><p>Melkior menyebutnya sebagai radio darurat, tetapi dengan fungsi menyiarkan pembelajaran. Karena pandemi Covid-19, aktivitas belajar-mengajar di sekolah ditiadakan. Pembelajaran jarak jauh (PJJ) sebagai pengganti belum siap dijalankan oleh guru, siswa, dan orangtua.</p><p>Dari sisi guru, mereka umumnya tidak menguasai teknologi informasi. Mereka pun belum siap mengajar dari rumah ke rumah. Kalaupun mengajar menggunakan metode daring, mereka mengaku keterbatasan pendapatan beli paket kuota internet dan jaringan internet sering terganggu.</p><p>Sementara orangtua mengeluhkan waktu tersita untuk mendampingi anak belajar sambil bekerja. Siswa pun belum semuanya paham memanfaatkan gawai, lebih suka mengeluh tugas banyak, dan waktu menyelesaikannya terbatas.</p><p>Sejak tahun ajaran 2020/2021, siaran mulai mengudara konsisten. Meski pembelajaran dilakukan melalui media radio, interaksi guru-siswa tetap diutamakan. Selama siaran berlangsung dibuka sistem yang memungkinkan siswa bertanya melalui telepon. Ada pula konten pembelajaran tersimpan di laman sekolah sehingga siswa bisa mengakses ulang kapan saja.</p><p>Steering Committee Konsorsium Radio Tangguh Imam Prakoso menyebutkan, saat ini, lebih dari 100 radio komunitas di Indonesia telah menjalankan praktik siaga Covid-19. Mereka mengelola aneka program siaran, seperti siaran langsung, klarifikasi hoaks dan disinformasi, serta dialog interaktif.</p><p>Lebih dari enam radio komunitas lainnya mengambil peran untuk mendukung PJJ selama pandemi Covid-19 masih berlangsung. Selain Spensa FM, contoh lainnya, yaitu PPK FM di Sragi, Pekalongan dan GST FM di Banten.</p><p><i></i></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><i><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhtrU8BEC4ygeE5zBGZsy6oMJfaE0scQM9egPHlRXP8gE8gpc1rY5p2PWnvIFxkQZG2jcGIonoIeTJsmekh8U1xSJWLZeGjGTyZecvUVM7a0H01e0FePzHqaQiVlFkjUxPrqrd1ughXTwGO/s663/kompas_tark_11129128_170_0-663x432.jpeg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="432" data-original-width="663" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhtrU8BEC4ygeE5zBGZsy6oMJfaE0scQM9egPHlRXP8gE8gpc1rY5p2PWnvIFxkQZG2jcGIonoIeTJsmekh8U1xSJWLZeGjGTyZecvUVM7a0H01e0FePzHqaQiVlFkjUxPrqrd1ughXTwGO/s320/kompas_tark_11129128_170_0-663x432.jpeg" width="320" /></a></i></div><i>---Siti Umi Hanifah alias Hany mengisi siaran di radio komunitas masyarakat di lereng Gunung Kelud, yakni Kelud FM, Jumat (8/7). Radio komunitas Kelud FM merupakan salah satu radio komunitas yang berfungsi sebagai alat peringatan dini dan sosialisasi bencana Gunung Kelud di Jawa Timur.</i><p></p><p>Komunikasi bencana</p><p>Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Mario Antonius Birowo, saat dihubungi Jumat (2/10), mengatakan, radio komunitas juga penting menjadi media komunikasi untuk merespons situasi dan kondisi darurat bencana. Apalagi, Indonesia rawan dilanda aneka bencana.</p><p>Radio komunitas umumnya digerakkan oleh masyarakat akar rumput. Karena dari akar rumput, gerakan mereka berbasis dana swadaya dan tidak menunggu pemerintah.</p><p>Dalam perjalanan merespons kondisi darurat bencana, ada radio komunitas yang sudah lama beroperasi lalu menjadi radio darurat. Apabila kondisi darurat usai, radio komunitas bersangkutan kembali ke fungsi semula, yakni menyiarkan kebutuhan informasi bagi komunitasnya. Ada pula radio komunitas untuk kebutuhan darurat sengaja dibangun tepat pascabencana. Ini yang jamak terjadi di Indonesia.</p><p>Pada Januari 2005, radio darurat Suara Aceh FM didirikan di Banda Aceh, sebulan pascatsunami Aceh. Suara Aceh FM didirikan oleh Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI).</p><p>Ketika peristiwa gempa bumi di Yogyakarta-Jawa Tengah pada 2006, operasional radio darurat Punakawan AM segera didirikan di Kota Yogyakarta oleh Jaringan Radio Komunitas Indonesia, Internews, dan berbagai organisasi relawan, termasuk PRSSNI.</p><p>Hingga peristiwa bencana gempa Lombok pada Juli-Agustus 2018, radio komunitas kembali terlibat sebagai radio darurat. Kala itu, Jaringan Radio Komunitas Indonesia (JRKI) mendirikan Radio Darurat First Response Indonesia di Kecamatan Tanjung Lombok Utara. JRKI mendirikan radio itu di lokasi tenda Pospenas milik Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).</p><p>”Situasi bencana, baik alam maupun nonalam, menimbulkan kekacauan. Ketidakjelasan informasi, seperti hoaks, menambah ketidakpastian tinggi dalam diri warga. Upaya menandingi (counter) akan susah jika harus menunggu dari pusat,” ujarnya.</p><p>Aktivis-aktivis desa bisa menjadi penggerak. Bagi daerah yang sudah memiliki radio komunitas, aktivis dapat mengoptimalkan perannya dengan membantu memberikan klarifikasi informasi dan mendayagunakan pengetahuan kebencanaan berbasis kearifan lokal.</p><p>Antonius Birowo memandang, masyarakat akar rumput di radio komunitas perlu dirangkul dalam sistem komunikasi kebencanaan. BNPB ataupun Badan Penanggulangan Bencana Daerah bisa melatih mereka.</p><p>Pemahaman risiko adalah dasar tata kelola risiko bencana. Risiko bencana alam ataupun nonalam dapat dikurangi secara substansial, jika orang memperoleh informasi yang benar dan baik.</p><p>Menurut dia, pemahaman tanggap darurat bencana bisa dimulai dari hal sederhana. Misalnya, informasi ramalan cuaca yang rutin disampaikan oleh BMKG dan kini setiap gawai bisa memberikan notifikasi. Namun, dia memandang tak semua warga jeli memperhatikan. Di sini, peran radio komunitas untuk mengomunikasikannya.</p><p>Ketua Umum JRKI Sinam M Sutarno berpendapat, berbicara wilayah bencana, radio sebenarnya masih dibutuhkan, apalagi radio komunitas. Hanya, selama ini, saat membicarakan penyiaran sering kali langsung diasosiasikan dengan industri.</p><p>Berdasarkan pengamatan Sinam, kluster komunikasi dan informasi bencana sebenarnya sudah terbentuk yang salah satunya ada di Boyolali, Jawa Tengah. Dua radio komunitas di sana, yakni Merapi Merbabu FM dan Merapi FM, terlibat. Kluster komunikasi dan informasi bencana tersebut juga mencakup lembaga penyiaran publik lokal dan Organisasi Radio Amatir Indonesia.</p><p>”Mereka saat ini telah memiliki rencana kontingensi bencana. Mereka bersiap apabila pandemi Covid-19 yang belum kunjung usai, lalu muncul bencana alam yang terjadi bersamaan. Mereka memikirkan strategi komunikasi serta evakuasi bencana alam dan nonalam,” ujarnya.</p><p>Ketika bencana alam dan nonalam terjadi bersamaan, lanjut Sinam, evakuasi warga akan berbeda. Prinsip utama yang harus dipegang adalah komunitas warga saling terhubung sehingga cepat ambil keputusan.</p><p>Untuk mengurasi risiko, strategi komunikasi bencana perlu lebih kuat. Ini dimulai dari pemetaan risiko, sistem komunikasi dan medianya, skenario darurat, hingga perangkat penerima informasi.</p><p>”Di daerah bencana, pemerintah semestinya sudah menyiapkan radio receiver dengan jumlah minimal tertentu untuk warga,” kata Sinam.</p><p>Dalam konteks radio darurat, Imam memandang pentingnya ketersediaan perangkat penyiaran dan radio penerima yang bisa diakses dan dioperasikan segera. Hal ini memang tak mudah.</p><p>Tantangan berikutnya adalah penyediaan standar minimal konten dan program informasi respons darurat. Selain itu, Imam menyebut tantangan perizinan. ”Dalam situasi darurat bencana alam ataupun nonalam, kemudahan izin semestinya ada,” ujar Sinam.</p><p>Menurut Sinam, saat ini sekitar 102 dari 450 radio komunitas yang aktif masih fokus merespons pandemi Covid-19 dengan menjadi radio darurat. Mereka umumnya menjalankan peran klarifikasi informasi dan PJJ.</p><p>Satu tahun</p><p>Subkoordinator Penataan Alokasi Dinas Penyiaran Direktorat Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika Kemkominfo Benny Elian saat dikonfirmasi Senin (5/10), menyebut sudah terbit Peraturan Menkominfo (Permenkominfo) Nomor 9 Tahun 2018 tentang Ketentuan Operasional Penggunaan Spektrum Frekuensi Radio. Peraturan ini diterbitan sebagai penyesuaian sehubungan dengan perizinan usaha terintegrasi secara elektronik.</p><p><i></i></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><i><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhbzTM2v1CBIQU3-FTh8NkhR3-_RyONpXuyzvsodrHVxCMwSEYHkiodKmy6j0SL8uQsb5lbwxVbW8g0psR9lunJO_O88eCJ_gvbLCoeB3xpERAxxHqjDI_z-EAs2d2wzbCjZieJnI0Hz8C0/s1024/8cd16134-4c4e-49b8-8bde-bd619d0390a6_jpg-1024x683.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="683" data-original-width="1024" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhbzTM2v1CBIQU3-FTh8NkhR3-_RyONpXuyzvsodrHVxCMwSEYHkiodKmy6j0SL8uQsb5lbwxVbW8g0psR9lunJO_O88eCJ_gvbLCoeB3xpERAxxHqjDI_z-EAs2d2wzbCjZieJnI0Hz8C0/s320/8cd16134-4c4e-49b8-8bde-bd619d0390a6_jpg-1024x683.jpg" width="320" /></a></i></div><i>KOMPAS/FERGANATA INDRA RIATMOKO---Ilustrasi: Sigit Pambudi (27) menyampaikan materi pelajaran Bahasa Indonesia kepada murid kelas VI dengan menggunakan perangkat handy talky (HT) di SD Negeri Mojo, Kelurahan Mojo, Pasarkliwon, Solo, Jawa Tengah, Kamis (27/8/2020). Sebanyak 29 murid kelas VI SD Negeri Mojo setiap hari mengikuti pelajaran secara jarak jauh dengan menggunakan perangkat HT yang sebagian dipinjamkan oleh pihak sekolah.</i><p></p><p>Permenkominfo No 9/2018 mempunyai substansi penting terhadap penyelenggaraan radio darurat dalam kondisi penanggulangan bencana, yakni durasi izin stasiun radio (ISR) sementara dapat diberikan paling lama satu tahun.</p><p>Penerbitan ISR radio siaran FM untuk penanggulangan bencana memperhatikan pemohon, lokasi, dan waktu, serta kondisi infrastruktur. Pemohon yang dimaksud telah mencakup komunitas. Pengecualian biaya hak penggunaan ISR juga diterapkan karena menimbang urgensi.</p><p>Mengingat penting dan strategisnya komunikasi bagi masyarakat di desa yang memiliki infrastruktur terbatas, radio komunitas bisa diperkuat untuk membantu ketika terjadi bencana dan juga pandemi Covid-19 saat ini.</p><p>Oleh MEDIANA</p><p>Editor: ICHWAN SUSANTO</p><p>Sumber: Kompas, 7 Oktober 2020</p>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3487622107129209275.post-119602376465773122020-08-12T21:53:00.003-07:002020-08-12T21:53:37.075-07:00 Konten Kreator atau Jurnalisme Warga Tetap Perlu Rambu-rambu Etika<p></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEipOGapYvEjaTtGG9UQPJNhrMKflM77K37FRVGBCAVnogQkEC_hEBDnq7vmcX1FWHcxAzaxvgrhGEBaDXcss1wm4Cd013ZCJVQrpqfkiMAl6GduzyuMPpvdWylzYuRPDyZKFQ6ktNHpCY8I/s720/20191108abk_1573391877-720x540.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="540" data-original-width="720" height="158" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEipOGapYvEjaTtGG9UQPJNhrMKflM77K37FRVGBCAVnogQkEC_hEBDnq7vmcX1FWHcxAzaxvgrhGEBaDXcss1wm4Cd013ZCJVQrpqfkiMAl6GduzyuMPpvdWylzYuRPDyZKFQ6ktNHpCY8I/w210-h158/20191108abk_1573391877-720x540.jpg" width="210" /></a></div>Keberadaan konten kreator atau jurnalisme warga dengan jumlah pengikut banyak memiliki kekuatan memengaruhi warga. Untuk memastikan konten-konten mereka benar, rambu-rambu etika mesti diterapkan.<p></p><p>Konten kreator ataupun jurnalisme warga tetap memerlukan etika dalam memproduksi konten. Hal ini bertujuan mencegah disinformasi, peredaran hoaks, serta kesalahan menginterpretasi di kalangan masyarakat.</p><p><span></span></p><a name='more'></a>Ketua Presidium Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) Septiaji Eko Nugroho menyampaikan pandangan itu saat menghadiri seminar daring ”Strategi Menghadapi Hoaks dan Ujaran Kebencian di Era Revolusi Industri 4.0”, Rabu (12/8/2020), di Jakarta.<p></p><p>”Masyarakat yang menjadi konten kreator ataupun jurnalisme warga minimal paham konsep 5W+1H, memahami verifikasi sumber, dan konten berimbang. Masyarakat Indonesia yang beragam kultur juga perlu dipahami,” ujarnya.</p><p>Septiaji berpendapat, rambu-rambu etika bukan untuk membatasi kebebasan berekspresi dan berpendapat, melainkan untuk melindungi mereka (konten kreator atau jurnalisme warga) dari kasus hukum. Dalam konteks konten di internet, misalnya, Indonesia telah memiliki Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.</p><p>Menurut Septiaji, rambu-rambu etika bermanfaat besar bagi penerima konten. Masyarakat tidak ”tersesat” saat menerima informasi.</p><p>Apalagi, tren yang berkembang belakangan menunjukkan meningkatnya disharmoni antara masyarakat dan media massa. Disharmoni cenderung mengarah pada perilaku negatif. Sebagai contoh, sejumlah warga menurunkan rating aplikasi media massa tertentu di Google PlayStore.</p><p>Infodemi meningkat</p><p>Sejak pandemi Covid-19, infodemi berkembang luas. Berdasarkan data Mafindo, sepanjang Januari-Agustus 2020, terdapat sekitar 550 hoaks terkait Covid-19. Data Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) menyebutkan hoaks mencapai 1.000. Realitas ini berdampak pada ketidakpercayaan masyarakat terhadap penanganan Covid-19. Septiaji mengatakan, kondisi tersebut juga terjadi di luar negeri.</p><p>Dia mengakui, konten kreator atau jurnalisme warga memanfaatkan banyaknya jumlah pengikut mereka di akun media sosial atau YouTube sebagai basis kekuatan mendistribusikan konten. Apalagi kini banyak anak muda bercita-cita melakoni pekerjaan itu.</p><p>”Disharmoni masyarakat terhadap media massa itu mengkhawatirkan. Sementara pada saat bersamaan, bermunculan konten kreator yang menampilkan konten yang bisa disebut jurnalisme warga,” katanya.</p><p>Beberapa hari terakhir, viral pemberitaan musisi Anji dengan akun YouTube Duniamanji mewawancarai Hadi Pranoto yang mengaku menemukan ramuan herbal untuk menyembuhkan Covid-19. Anji mengaku tidak punya hubungan personal dengan Hadi Pranoto. Konten itu menghebohkan warganet.</p><p>Septiaji memandang, disinformasi dan hoaks membutuhkan penanganan pencegahan multidimensi. Setelah cek fakta yang terus berjalan, Indonesia membutuhkan inovasi sosialisasi literasi, termasuk masuk ke ranah pendidikan.</p><p>”Kami bersama Google dan Ma’arif Institute sedang menyusun kurikulum digital untuk memahami informasi yang benar. Salah satunya berupa membaca secara lateral. Kurikulum itu diperuntukkan bagi guru dan dosen,” katanya.</p><p>Peneliti di Kajian Agama dan Budaya UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Irfan Abubakar, mengatakan, teknologi internet memudahkan penemuan, repost, dan broadcast konten hoaks, disinformasi, dan ujaran kebencian. Dengan kata lain, teknologi yang tertanam di platform media sosial ataupun pesan instan, seperti algoritma, memengaruhi penyebaran.</p><p>”Walaupun seorang konten kreator masih mempunyai jumlah pengikut kecil. Watak dari internet memungkinkan repost, broadcast, dan menyebarluaskan semakin mudah,” ujarnya.</p><p>Sementara pada saat bersamaan, konten ujaran kebencian sekalipun kemungkinan digerakkan oleh bisnis sehingga memperbesar pengaruh provokasi dan pelintiran isu.</p><p>Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G Plate mengaku pihaknya berulang kali meminta dukungan penyedia platform media sosial ataupun pesan instan untuk menangani serta mencegah penyebaran, misalnya dengan pemblokiran dan penurunan konten. Namun, upaya itu tidak mudah dilakukan.</p><p>”Demokrasi tidak membatasi kebebasan berpendapat di internet. Namun, demokrasi butuh kedewasaan dan kecerdasan pengguna internet,” katanya.</p><p>Oleh MEDIANA</p><p>Editor: ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN</p><p>Sumber: Kompas, 13 Agustus 2020</p>Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3487622107129209275.post-55212645574172282382020-07-30T08:41:00.000-07:002020-07-30T08:41:01.044-07:00Hadi Ibnu Sabililah, Kekuatan Pena dan Lensa<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgNRSiGG5EZ8Cbs56frAikkEa4Si5n4cMAvgAOfz1pS5gR5PsEz91jAz380hGqDH2M3A36hM9VV1OeEA1zphLKHEHtw9Sv6s6GOEmJluBniYeN42MdwFxbcG5TmEdxt-VkM5WS1U2kxbpls/s1600/IMG_20200730_072621.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="502" data-original-width="720" height="223" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgNRSiGG5EZ8Cbs56frAikkEa4Si5n4cMAvgAOfz1pS5gR5PsEz91jAz380hGqDH2M3A36hM9VV1OeEA1zphLKHEHtw9Sv6s6GOEmJluBniYeN42MdwFxbcG5TmEdxt-VkM5WS1U2kxbpls/s320/IMG_20200730_072621.jpg" width="320" /></a></div>
<i>KOMPAS/MELATI MEWANGI---Pendiri Komunitas Pena dan Lensa Hadi Ibnu Sabilillah mengajak anak muda bisa mengembangkan bakatnya di dunia menulis dan sinematografi.</i><br />
<br />
Hadi Ibnu Sabilillah mendirikan Komunitas Pena dan Lensa (Kopel) yang fokus mempelajari jurnalistik dan sastra. Belakangan, komunitas tertarik pada fotografi, grafis, dan sinematografi.<br />
<br />
Jiwa muda Hadi Ibnu Sabilillah (24) pernah bergejolak sekaligus gelisah lantaran di Purwakarta, Jawa Barat, hasratnya pada dunia menulis dan sinematografi tidak menemukan tempat berlabuh. Akhirnya, ia membangun sendiri komunitas menulis dan sinematografi.<br />
<br />
<br />
<a name='more'></a>Jumat (17/7/2020) pagi, rumah sekretariat Komunitas Pena dan Lensa (Kopel) di Purwakarta sepi akibat pandemi. Di tempat yang biasanya ramai dengan diskusi beragam tema itu, Hadi kembali mengingat saat pertama kali mendirikan Kopel lima tahun lalu. "Saat itu, tahun 2015 saya baru lulus SMA. Saya sulit mencari wadah mengembangkan hobi menulis di Purwakarta. Tidak ada teman dan tidak tahu belajar kepada siapa," katanya.<br />
<br />
Ia beberapa kali ikut pelatihan jurnalistik yang digelar sejumlah kampus di Purwakarta. Dari sana, tak hanya dapat ilmunya, Hadi juga mengenal beberapa wartawan media cetak yang jadi pembicara. Kepada mereka, Hadi minta izin untuk ikut liputan. Apa yang ia saksikan saat liputan, ia bandingkan dengan berita yang dimuat di koran. Begitulah, Hadi belajar menulis.<br />
<br />
Suatu ketika ia menulis opini yang dimuat koran lokal Purwakarta. Ia makin percaya diri. Dari situ, ia mengajak beberapa teman SMA dan mahasiswa untuk belajar menulis bersama. Ternyata ada 20 orang yang tertarik. Pada 2016, Hadi mendirikan Komunitas Pena dan Lensa (Kopel) yang fokus mempelajari jurnalistik dan sastra. Belakangan, mereka juga tertarik pada fotografi, grafis, dan sinematografi. Sinematografi bahkan menjadi poros kerja sama antara divisi. Ketika membuat film, anggota di divisi sastra membuat naskah atau skenario film. Divisi grafis membuat poster film. Divisi fotografi membuat foto cerita di balik layar. Divisi jurnalistik membuat tulisan pascaproduksi.<br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhVKBa2VuzA6S279I3lyXFX0MDHZqLrk3CccRJ8vODWvUxJw5g-gYcBL6QhxZaf4SUkOdDcuxby55IU71F4LfvtDNS9DzYzU4GSNfuqrUBfDgTIqIHnTQKwQY6Qs2jwohl5zRCv3qfQhAkv/s1600/IMG_20200730_072604.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="398" data-original-width="720" height="176" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhVKBa2VuzA6S279I3lyXFX0MDHZqLrk3CccRJ8vODWvUxJw5g-gYcBL6QhxZaf4SUkOdDcuxby55IU71F4LfvtDNS9DzYzU4GSNfuqrUBfDgTIqIHnTQKwQY6Qs2jwohl5zRCv3qfQhAkv/s320/IMG_20200730_072604.jpg" width="320" /></a></div>
<i>ARSIP KOMUNITAS PENA DAN LENSA (KOPEL)---Kegiatan pengenalan rangkaian Festival Film Purwakarta di Desa Raharja, Kecamatan Wanayasa, Purwakarta, Jawa Barat, awal Maret 2020. Kegiatan ini sudah dua kali diselenggarakan oleh Kopel.</i><br />
<br />
Dalam waktu singkat Kopel berkembang. Anggotanya pernah mencapai 200-an orang dan yang aktif hingga sekarang 120 orang, mayoritas anggota adalah pelajar SMA dan mahasiswa di Purwakarta. Komunitas ini rajin menggelar pelatihan dan kegiatan seperti malam puisi, malam seni, layar tancap, hingga festival film. Malam puisi diadakan sebulan sekali di beberapa lokasi di pusat kota dengan sasaran anak muda. Malam seni fokus menggali potensi dan kegiatan di berbagai desa di Purwakarta.<br />
<br />
Kopel, misalnya pernah menggelar malam seni di Desa Raharja, Kecamatan Wanayasa, sekitar 28 kilometer dari pusat kota Purwakarta pada Mei 2018. Acara ini fokus pada dokumentasi potensi, sejarah, dan kearifan lokal desa itu. Salah satu potensi yang diangkat adalah kesenian terbang buhun. Pengambilan gambar dilakukan pada awal bulan dan ditampilkan di kantor desa pada akhir bulan (layar tancap).<br />
<br />
“Warga desa sangat senang kalau masuk ke dalam scene film. Mereka ketawa setiap melihat pemeran yang muncul adalah tetangganya sendiri. Semoga kian menumbuhkan rasa kekeluargaan dan saling memiliki terhadap desanya,” ujar Hadi.<br />
<br />
Dari desa<br />
Dari kegiatan ini, Hadi melahirkan laman daridesa.com yang mengangkat tulisan tentang potensi desa-desa. Laman tersebut sekaligus menjadi wadah berkarya divisi jurnalistik dan fotografi. Ada pula penulis dari luar komunitas. Tak ada insentif untuk tulisan yang diunggah.<br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh7tcSHj9DqDWasJzTApqKzRraqb0Fz1tCWOWU9s_wisd_wJX0bjty_rrL4siDwESqeKzE7pGScflAPW-lYn0QAeZcNiGb0bi2f_hmjHDpAVy5ZunelQF99C63rhIwMQWgKZJSygsRFeCMQ/s1600/IMG_20200730_072528.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="498" data-original-width="720" height="221" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh7tcSHj9DqDWasJzTApqKzRraqb0Fz1tCWOWU9s_wisd_wJX0bjty_rrL4siDwESqeKzE7pGScflAPW-lYn0QAeZcNiGb0bi2f_hmjHDpAVy5ZunelQF99C63rhIwMQWgKZJSygsRFeCMQ/s320/IMG_20200730_072528.jpg" width="320" /></a></div>
<i>ARSIP KOMUNITAS PENA DAN LENSA (KOPEL)---Komunitas Pena dan Lensa rutin mengadakan kumpul bersama dan diskusi anggota di Sekretariat Kopel, Purwakarta, Jawa Barat. Tak hanya berkumpul, mereka juga makan bersama/ ngaliwet untuk mempererat hubungan antaranggota.</i><br />
<br />
Kegiatan lain yang dirintis Kopel adalah Festival Film Purwakarta yang digagas sejak 2019. Festival ini menjadi ruang apresiasi bagi sineas muda agar terpacu memproduksi film berkualitas. Di sisi lain, bisa menjadi parameter sineas Purwakarta dalam melihat perkembangan film di luar daerah.<br />
<br />
Dana kegiatan dihimpun dari uang patungan anggota, usaha dana penjualan kaos, dan donatur. Mayoritas bersumber dari donasi seikhlasnya dari para anggota, sebab tak mudah untuk mendapatkan dukungan biaya dari pihak luar.<br />
<br />
Hadi tak pernah menduga jika komunitas ini berdampak pada orang sekitarnya. Hal ini baru ia sadari saat salah seorang teman difabel yang berperan dalam film Kopel berjudul Amorfati: Semesta Bersamamu, Bersama Orang-Orang Seperti Kita, menyampaikan terima kasih. Film itu bercerita tentang teman difabel yang dikucilkan dalam pergaulan sehari-hari. Setelah diajak main film itu, teman difabel tersebut merasa lebih percaya diri.<br />
<br />
“Sebelum kenal kalian (Kopel). Saya tidak berani bicara dengan teman normal dan nongkrong di kafe,” kata Hadi menirukan temannya yang merasa termotivasi oleh Kopel.<br />
<br />
Kehadiran Kopel juga memberi makna khusus bagi Ikhsan Kamil (20), mahasiswa semester 5 STIEB Perdana Mandiri Purwakarta. Keinginannya belajar sinematografi sudah muncul tahun tiga tahun lalu, saat belum menemukan komunitas yang sesuai. Bagaikan gayung bersambut, ketika Kopel sedang blusukan ke daerah yang tak jauh dari desanya, dia langsung mendaftarkan diri. Kini, ia bisa menggunakan telepon pintar untuk belajar mengedit video, membuat desain logo, dan video promosi.<br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiyqiHPZ4h1ah7ErIPxO50ygbbCL_WCg7Fr87EfF_sNb7XGoKJwPonrHvcV7QXl8V-8UcIar6zbT4yswmjqkELBN6fCSLAGjMmDCcwfBIoS7181vyX-COT0ihjDWoTytF2XLvj1qrqWoUph/s1600/IMG_20200730_072546.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="572" data-original-width="720" height="254" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiyqiHPZ4h1ah7ErIPxO50ygbbCL_WCg7Fr87EfF_sNb7XGoKJwPonrHvcV7QXl8V-8UcIar6zbT4yswmjqkELBN6fCSLAGjMmDCcwfBIoS7181vyX-COT0ihjDWoTytF2XLvj1qrqWoUph/s320/IMG_20200730_072546.jpg" width="320" /></a></div>
<i>ARSIP KOMUNITAS PENA DAN LENSA (KOPEL)---Komunitas Pena dan Lensa (Kopel) menggelar acara Malam Anugerah Festival Film Purwakarta 2019.</i><br />
<br />
Akan tetapi, semuanya pernah tak mulus bagi Hadi. Upayanya kerap diremehkan karena dianggap tak bertujuan dan hanya mengejar eksistensi. Keraguan orang terhadapnya justru membuat Hadi terpacu untuk terus berkarya dan membesarkan Kopel.<br />
<br />
Kini, Kopel tidak hanya hadir di Purwakarta, tapi juga di beberapa daerah yakni Cimahi dan Sumedang (Jabar) serta Blitar (Jatim). Beberapa orang pernah menghubungi Hadi karena tertarik menduplikasi konsep Kopel di daerah tersebut dengan nama yang sama. Tanpa berpikir panjang, Hadi mempersilakan mereka.<br />
<br />
“Ternyata banyak orang yang menyadari pentingnya komunitas tempat belajar dan mengembangkan diri bersama,” katanya.<br />
<br />
Hadi Ibnu Sabilillah<br />
<br />
Lahir: Karawang, 13 April 1996<br />
<br />
Pendidikan:<br />
- MA YPPA Cipulus Purwakarta (2012-2015)<br />
- S1 Pendidikan Agama Islam Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia Jakarta (2015-2019)<br />
<br />
Penghargaan:<br />
- 10 Besar Pemuda Inspiratif Program Kemenpora (2018)<br />
<br />
KOMPAS/MELATI MEWANGI---Pendiri Komunitas Pena dan Lensa Hadi Ibnu Sabilillah<br />
<br />
Oleh MELATI MEWANGI<br />
<br />
Editor MARIA SUSY BERINDRA<br />
<br />
Sumber: Kompas, 30 Juli 2020</div>
Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3487622107129209275.post-80519242631058537932020-07-14T08:45:00.000-07:002020-07-14T08:44:59.898-07:00Perubahan UU Pokok Pers<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
CATATAN HUKUM: SATYA ARINANTO, Fakultas Hukum UI<br />
<br />
MASALAH kemungkinan perubahan UU (Undang-undang) Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers menghangat kembali akhir-akhir ini. Menurut Menteri Penerangan Harmoko, UU tersebut telah berlaku selama 14 tahun, karena itu harus disesuaikan, khususnya yang mencakup pengembangan teknologi profesionalisme dan operasionalisasinya. (Kompas, 12/12).<br />
<br />
<br />
<a name='more'></a>Undang-undang No 21/1982 sebenarnya merupakan perubahan langsung dari UU No 11/1966. Sedangkan UU No 4/1967, walaupun esensinya juga mengubah UU No 11/1966, namun judul dan isi UU tersebut sebenarnya merupakan penambahan terhadap UU No 11/1966. Dalam UU No 4/ 1967 tentang "Penambahan UU No 11/ 1966 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers" tersebut ditambahkan satu ayat dalam pasal 21 UU No 11/1966, yang menegaskan bahwa dengan berlakunya UU No 11/1966 maka ketentuan-ketentuan dalam Penetapan Presiden No 4/1963 yang mengatur tentang pengamanan terhadap barang-barang cetakan yang isinya dapat mengganggu ketertiban umum, khususnya mengenai buletin, surat kabar-surat kabar harian, majalah-majalah, dan penerbitan-penerbitan berkala, dinyatakan tidak berlaku lagi.<br />
***<br />
<br />
DALAM UU No 11/1966 yang lahir 21 tahun setelah berlakunya pasal 28 UUD 1945, hak-hak pers untuk melakukan fungsi kontrol benar-benar dijamin. Karenanya, dapat dikatakan bahwa UU No 11/1966 itu telah sesuai dengan jiwa pasal 28 UUD 1945. Misalnya, ketentuan pasal 3 UU tersebut menegaskan bahwa pers mempunyai hak kontrol, kritik, dan koreksi yang bersifat korektif dan kosntruktif. Namun, dalam UU No 21/1982 kata "korektif" tadi dihilangkan.<br />
<br />
Fenomena lain yang menarik dalam UU No 11/1966 ialah kedudukan pemerintah (yang dalam beberapa pasal adalah "Menteri Penerangan") dan Dewan Pers adalah sejajar. Karena itulah dalam beberapa pasal kita temui adanya rumusan "pemerintah bersama-sama dengan Dewan Pers". Misalnya dalam ketentuan pasal 13 ayat (2) tentang pengaturan terhadap wartawan dan dalam ketentuan pasal 18 ayat (2) tentang pengaturan terhadap wartawan asing.<br />
<br />
Namun dalam UU No 21/1982, kedudukan Dewan Pers (yang juga diketuai Menpen) menjadi berada di bawah Menpen, karena dalam UU tersebut rumusan "pemerintah setelah mendengar pertimbangan Dewan Pers" diubah menjadi "pemerintah setelah mendengar pertimbangan Dewan Pers". Dengan demikian, ketentuan tersebut semakin memperkukuh kedudukan Menpen dalam melakukan "pembinaan" terhadap pers.<br />
<br />
Ketentuan lain yang juga menunjukkan sejalannya UU No 11/1966 dengan pasal 28 UUD 1945 adalah penegasan dalam pasal 5 ayat (1)-nya bahwa kebebasan pers sesuai dengan hak asasi warga negara dijamin. Di samping itu ketentuan pasal 8-nya juga menegaskan bahwa setiap warga negara mempunyai hak penerbitan pers yang bersifat kolektif sesuai dengan hakekat Demokrasi Pancasila (ayat 1) dan untuk ini tidak diperlukan Surat Izin Terbit (ayat 2).<br />
<br />
Namun dalam UU No 21/1982, ketentuan pasal 8 UU No 11/1966 tersebut "diterobos" dengan munculnya tambahan ayat baru yaitu pasal 13 yang memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk "membelenggu" kehidupan pers. Tambahan ayat baru tersebut pada intinya menegaskan bahwa setiap penerbitan pers yang diselenggarakan oleh perusahaan pers memerlukan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) yang dikeluarkan pemerintah. Karena tidak termasuk dalam pengecualian yang disebutkan dalam pasal 1 angka 3 UU tersebut, maka pengertian "pemerintah" dalam UU ini adalah sama dengan "Menteri Penerangan".<br />
***<br />
<br />
BERDASARKAN pasal 13 ayat (5) UU No 21/1982 itulah Menpen kemudian mengeluarkan Peraturan Menteri Penerangan (Permenpen) No 01/Per/Menpen/ 1984 tentang SIUPP. Dengan adanya ketentuan ini, pers baik perusahaan maupun isi beritanya, diperlakukan sebagai suatu perusahaan. Konsekuensinya, jika isi berita pers tersebut dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai "pers yang bebas dan bertanggungjawab" maka perusahaan persnya dapat dibubarkan karena SIUPP-nya dibatalkan Menpen.<br />
<br />
Pembatalan SIUPP dalam realitasnya sangat merugikan perusahaan pers. Betapa banyaknya pihak yang mengalami kesengsaraan karena dibatalkannya SIUPP. Menurut Menpen Harmoko, dalam perubahan UU Ketentuan-Ketentuan Pokok Pers yang direncanakan, ketentuan mengenai SIUPP itu masih tetap akan ada karena "SIUPP itu justru untuk melindungi penerbitan pers dan juga melindungi masyarakat" (Kompas, 12/12).<br />
<br />
Pernyataan tersebut menimbulkan pertanyaan di hati penulis, kalangan pers dan penerbitan manakah yang telah terlindungi dengan adanya ketentuan tentang SIUPP itu? Telah terlindungikah para wartawan dan keluarganya serta para pedagan asongan dengan dibatalkannya SIUPP media-media massa Sinar Harapan, Prioritas, Tempo, Editor, dan Detik?<br />
<br />
Dari segi hukum dapat dipertanyakan, bisakan suatu perusahaan pers dibubarkan semata-mata hanya karena isinya dianggap tidak lagi mencerminkan kehidupan pers yang sehat dan pers yang bebas dan bertanggungjawab? Tolok ukur apakah yang dapat dipergunakan suatu pers "bertanggungjawab" atau tidak? Apakah suatu pers yang justru menyuarakan "amanat hatinurani rakyat" dengan memberitakan sesuai dengan fakta yang ada justru dinilai "tidak sehat" dan "tidak bertanggung jawab?"<br />
<br />
Pembubaran perusahaan pers karena isi beritanya sebenarnya tidak sesuai dengan nilai-nilai "profesionalisme" sebagaimana dinyatakan Menpen. Karena itu, dalam perubahan UU No 21/1982 yang akan datang nilai-nilai tersebut harus dipertimbangkan.<br />
<br />
Berkaitan dengan itu, penulis menilai telah tiba saatnya untuk mencabut Permenpen tentang SIUPP tersebut, karena tidak sesuai dengan nilai-nilai profesionalisme pers dan gejolak perubahan zaman yang makin mengarah pada keterbukaan.<br />
<br />
(Satya Arinanto, Sekretaris Bagian Hukum Tata Negara FH-UI)<br />
<br />
diambil dari Kompas, Senin, 23 Desember 1996</div>
Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3487622107129209275.post-49090473469509204052020-07-14T08:42:00.003-07:002020-07-14T08:42:57.774-07:00Agama, Pers, dan Pencerahan Peradaban<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
Lewat karyanya, Megatrends 2000: Ten New Directions for The 1990's, Naisbit dan Aburdene melihat munculnya kebangkitan agama (religiousrevival) lewat peningkatan spiritualitas di pelbagai penjuru dunia. Dibawah tarikan gravitasi tahun 2000, kekuatan spiritualitas mengimbangidominasi ilmu pengetahuan dan teknologi. Orang modern tidak lagi melihatilmu dan teknologi sebagai puncak prestasi peradaban manusia, tapi melihat agama sebagai salah satu alternatif bagi perimbangan kehidupan material. Kita boleh setuju atau menolak ramalan kedua futurolog itu. Tetapi bahwa dipelbagai belahan dunia sekarang kehidupan beragama menjadi semakin marak,adalah hal yang tidak bisa dipungkiri. Di Indonesia pun,dari tahun ketahun kita merasakan adanya peningkatan kehidupan beragama. Di tengahderasnya serbuan informasi baik lewat media cetak maupun elektronik, orangmakin memerlukan agama sebagai pegangan hidup yang diharapkan dapatmemberikan penjelasan atau panutan bagi masa depan dirinya, keluarganya,dan bahkan bangsanya. Di sisi lain, masyarakat beragama juga dihadapkanpada pilihan untuk meresponi modernitas dan modernisasi secara kritis dankreatif dengan memanfaatkan referensi ajaran agama. Bagaimanakah mediamassa, khususnya pers nasional kita, meresponi perkembangan itu?<br />
<br />
<br />
<a name='more'></a>Agama, Makna Hidup, dan Ekstensi Manusia<br />
Secara sosiologis, agama berfungsi sebagai alat pengenalan diri bagi manusia dalam menemukan makna hidup dan lingkungannya. Agama adalahkebutuhan fitri yang selalu muncul di hati nurani serta batiniah manusia.Karena itu, usaha apa pun yang dilakukan untuk menegasikan agama darikehidupan manusia, tidak akan pernah berhasil. Secara sosial agama mungkinbisa dikekang, tapi secara individu sulit mengesampingkan rasa keberagamaan yang melekat dalam diri manusia. Ini karena agama resisten terhadapkekuatan-kekuatan anti spiritual, di samping sumber nilai bagi manusiadalam mencari keselamatan, kebahagiaan, dan kebenaran. <br />
<br />
Di lain pihak, media massa atau pers, seperti dikatakan oleh sosiolog dan pakar komunikasi Marshall McLuhan, adalah the extension of man, ekstensi manusia. Menurut McLuhan, kodrat pembawaan dan kebutuhan essensial manusia adalah berkomunikasi. Melalui komunikasi, manusia menyatakan diri, berbicara, menerima dan menyampaikan pesan, berdialog, serta menyerap apayang dilihat dan didengarnya. Sebagai hasil karya budaya masyarakat manusia, pers dan media massa memberikan tempat bagi individu danmasyarakat -- dengan pelbagai latar belakang, asal usul sosial, danperadaban yang dimiliki -- ekspresi, gagasan, pemikiran, dan aksinya. <br />
<br />
Revolusi informasi telah menyebabkan meningkatnya jumlah maupun kualitasmedia massa dan pers di tengah-tengah kita. Setiap saat, di mana pun kitaberada, kita dikepung dan dijejali pelbagai informasi dengan segalakekurangan dan kelebihannya, serta kebaikan dan keburukannya. Ironisnya, peta bumi kekuatan informasi dunia itu sangatlah timpang.Negara-negara maju (Barat) memegang hegemoni dalam arus informasi duniasehingga menciptakan pola hubungan ''pusat-pinggiran''(center-periphery) yang sifatnya deterministik. Diperkuat oleh prosesarus informasi, tercipta struktur dominasi negara maju sebagai ''pusat'' dimana produk-produk dan keinginan sosial, ekonomi, maupun politik menjadikonsumsi negara berkembang sebagai ''pinggiran''. Keadaan seperti ini telahmenyebabkan negara-negara pusat, kata Johan Galtung, ''merupakan jendeladunia'' (window of theworld) bagi negara-negara pinggiran. Oliver Boyd-Barret, mahaguru ilmu komunikasi pada Open University AS, dalam penelitiannya terhadap pemanfaatan jasa infomasi dari AS dan negara-negaraBarat lainnya oleh negara-negara Asia menemukan fakta, arus infromasi darinegara-negara maju itu mendominasi isi media cetak dan elektronik, tanpa ada kemampuan dari negara-negara Asia untuk mengimbanginya dalam hal materiinformasi yang dihasilnya maupun kecanggihan teknologinya. Keadaan initelah memunculkan apa yang disebut Barret sebagai ''imperialisme media''. Preferensi penyebaran informasi dan pemberitataan itu biasanya erat kaitannya dengan persoalan ''ideologis''. Barat menganut ideologi freeflow of ideas by words and image. Ideologi ini kemudian diterjemahkan: bebas memberitakan apa saja yang menarik diketahui umum, tanpa mempersoalkan konsepsi tradisional, budaya, maupun agama dari objek yangdijadikan bahan berita. Bahkan dalam pemberitaan yang berhubungan dengan Islam dan masyarakat Islam, seringkali disertai dengan imagi-imagidistortif. Itulah sebabnya Edward Said dalam Covering Islam secaratajam mengkritik cara-cara kantor berita Barat menyajikan Islam sebagai berita, yang dinilainya superfisial. Hal itu bisa terjadi karenaketidaktahuan atau kesengajaan. Di tengah era informasi dan globalisasi sekarang ini, berita atau analisa yang menyangkut masalah agama nampaknya bukan saja menarik, tetapi jugalayak ''dijual''. Berita, pemikiran, maupun analisa keagamaan seringkali menjadi santapan pembaca surat kabar dan majalah maupun penonton televisi.Meskipun tidak semua, beberapa media massa dan pers nasional memberi tempat bagi rubrik agama baik secara tetap, temporer, atau kasuistik. Inimenunjukkan, produk berita yang bersifat sekuler tidak cukup memenuhikebutuhan untuk memperoleh dan mengakses informasi. Apalagi bagi masyarakat religius seperti Indonesia—berita, pemikiran atau analisa keagamaan menjadi penting bagi pemenuhan kebutuhan spiritual pembaca. <br />
<br />
Tidak mengherankan jika dalam dua dasawarsa terakhir ini, penerbitan buku-buku agama atau yang bertema keagamaan meningkat dengan amat pesat. Ditengah banjirnya informasi yang sekuler, kemajuan iptek, peningkatan industrialisasi, dan akselerasi pembangunan, muncul apa yang disebutSoedjatmoko sebagai ''kerinduan umum terhadap makna hidup yang lebihtinggi.'' Kerinduan semacam ini muncul ketika orang semakin menyadari bahwaideologi-ideologi modern dan sekuler yang pernah menjanjikan perbaikannasib umat manusia belum berhasil memenuhi janjinya. Orang lantas melirikdan mencari jawaban dari agama terhadap persoalan kekinian dan masa depan. <br />
<br />
Potensi dan kelemahan pers Islam<br />
Beberapa media massa dan pers nasional berusaha memenuhi kebutuhan tersebut, antara lain dengan menyediakan rubrik atau kolom khusus semacam''santapan rohani'', ''hikmah'', ''renungan minggu'', dan sejenisnya.Ternyata mendapat sambutan baik dari pembaca. Kalau pun tidak ada rubriksemacam itu, umumnya media massa kita memberi tempat lumayan bagi pemuatanartikel, ulasan, atau berita yang ada hubungannya dengan agama. Tetapi,karena terbatasnya tempat dan halaman serta sifatnya sebagai penerbitanumum, artikel, ulasan, atau berita yang menyangkut agama masih terbatas. Tempat atau porsi yang cukup besar bagi artikel, ulasan, dan berita-beritayang menyangkut agama diberikan media massa atau pers tertentu yang sejakawal penerbitannya memang bercirikan atau mendefinisikan diri sebagai''pers Islam''. <br />
<br />
Dalam sejarah perkembangan pers nasional sebelum dan sesudah kemerdekaan,pers Islam mempunyai tempat dan peranan penting. Seiring dengan gerak danarus kebangkitan nasional di tanah air, pers Islam berkembang melanjutkanrisalah Pan Islamisme yang dirintis Jamaluddin Al-Afghani dan MohammadAbduh lewat majalah Al Urwatul Wutsqa (terbit di Paris akhir abadke-19). Tercatat nama-nama seperti majalah Al Munir(1911) di Sumatrapimpinan Dr. H. Abdullah Ahmad, Utusan Hindia (1912) terbit di Surabayadipimpin HOS Tjokroaminoto, Panji Islam (1934) pimpinan H. ZainalAbidin Ahmad, Pedoman Masyarakat pimpinan Hamka dan H.M. YunanNasution. Dua majalah terakhir mempunyai pengaruh cukup luas. PanjiIslam yang lebih mengarahkan perhatiannya pada politik Islam, dikenalkarena memuat polemik dua penulis terkemuka yakni Ir. Soekarno dan M.Natsir. Sebuah polemik yang mencerahkan pemikiran dan mempunyai nilaihistoris bagi pertumbuhan bangsa. <br />
<br />
Sesudah kemerdekaan bermunculan pula pers Islam semacam Panji Masyarakat, Kiblat, Duta Masyarakat (organ NU), Mercu Suar (organ Muhammadiyah), dan Abadi (organ Masyumi). Di bawah maraknya politik aliran di masa Orde Lama, pers Islam seperti halnya pers lainnya,umumnya berkiprah sesuai dengan afinitas ideologisnya. Akibatnya, merekakurang sekali memperhatikan orientasi ekonomis, yang diperlukan sebagaipenyangga kehidupan pers. Namun demikian, posisi dan perannya sebagai pembawa missi amar makruf nahi munkar diakui, sekalipun mereka kerap berhadapan dengan penguasa. Panji Masyarakat misalnya, dengan beranimemuat pamflet Bung Hatta yang terkenal, Demokrasi Kita. Akibatnya majalah pimpinan Hamka ini dibreidel oleh Presiden Soekarno, sementara Hamka sendiri masuk bui. <br />
<br />
Di zaman Orde Baru, posisi pers Islam justru tidak sebaik rekan-rekannya dari media umum atau non-Islam. Berdasarkan data kuantitatif, tiras pers Islam secara keseluruhan dan riil tidak lebih dari 300 ribu eksemplar. Inisangat tidak berimbang jika dibandingkan dengan tiras rekan-rekannya darimedia lain, apalagi dengan populasi umat Islam Indonesia yang lebih dari160 juta. Mengapa hal itu terjadi? Banyak yang mengatakan, keterbelakangan pers Islam sekarang ini erat kaitannya dengan masalah profesionalisme dan manajemen pengelolaannya. Profesionalisme berhubungan dengan cara kerja, penulisan jurnalistik, dan kebijakan redaksional suatu media. Publik yang makin terdidik tidak cukuphanya diberi sajian berita atau informasi faktual semata-mata. Mereka ingintahu latar belakang sebuah peristiwa, akurasi penulisannya, arahkecenderungannya, serta menyentuh apa yang disebut oleh Walter Hagemann sebagai ''kesadaran publik yang aktual''. Ini semua menuntut kualifikasiyang tinggi bagi wartawan media yang bersangkutan.<br />
<br />
Sementara soal manajemen, erat kaitannya dengan cara, teknik, strategi, dankepemimpinan dalam mengelola aspek-aspek manajerial yang berhubungan denganusaha, redaksi, administrasi, pemasaran, dan sejenisnya. Faktor lain yangperlu dikemukakan adalah soal media perfomance, yakni aspek-aspek yangberhubungan dengan tata letak, kulit muka, teknik penyajian, fotografi,pilihan berita, dan sebagainya. Banyak pengamat menilai, di ketiga sektoritulah pers Islam lemah. Benar tidaknya pengamatan ini, masih perludiperdebatkan. <br />
<br />
Jurnalisme Profetik<br />
Bisakah setiap jurnalis muslim, di manapun mereka berada, mengembangkan jurnalisme profetik (prophetic journalism)? Yakni, suatu bentuk jurnalisme yang tidak hanya menulis atau melaporkan berita dan peristiwasecara lengkap, akurat, jujur, dan bertanggung jawab semata. Tapi jugamemberikan petunjuk ke arah transformasi atau perubahan berdasarkancita-cita etik dan profetik Islam. Ini berarti, suatu jurnalisme yangsecara sadar dan bertanggung jawab memuat kandungan nilai dari cita-citaetik dan sosial Islam yang didasarkan pada emansipasi, liberasi, dantransendensi. Melalui jurnalisme profetik, kita berharap peradaban umat akan lebih tercerahkan. Bukankah Tuhan telah berfirman: Nun, wal qalami wamayasthurun (Nun, demi pena dan apa yang mereka goreskan-- QS Al Qalam:1). Dengan kata lain, pena menentukan arah peradaban dunia.<br />
<br />
M. Syafii Anwar<br />
Mantan Pemred Panji Masyarakat (1986—1988), Pernah mengikuti pendidikan jurnalistik pada School of Jurnalism, Universitas Columbia, New York (1988—1989), kini anggota Dewan Ahli Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF)<br />
<br />
REPUBLIKA, 19 Februari 1994</div>
Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3487622107129209275.post-497191933551859602020-07-14T08:40:00.003-07:002020-07-14T08:40:33.366-07:00Media Massa dari Politik ke Bisnis<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
PERATURAN Pemerintah Nomor 20 Tahun 1994, yang membuka sektor media massa di Indonesia untuk modal asing, merupakan terobosan deregulasi. Ini adalah bagian dari antisipasi Pemerintah untuk pelaksanaan persetujuan GATT Putaran Uruguay. Di India, The Financial Times (FT) sudah membentuk usaha patungan dengan kelompok penerbit lokal untuk menerbitkan FT edisi India. Di Cina, McGraw Hill menerbitkan Business Week edisi bahasa Mandarin, bekerja sama dengan BUMN RRC.<br />
<br />
<br />
<a name='more'></a>Di Indonesia, setelah deregulasi awal Juni lalu, bukan mustahil bila Dow Jones, FT, atau Time Warner, dan empat samurai Jepang, Yomiuri, Asahi, Mainichi, dan Nikkei, akan mengetuk pintu Departemen Penerangan untuk meminta SIUPP. Kalau Rupert Murdoch boleh meneken kontrak dengan Peter Gontha (RCTI) dalam media elektronik, kenapa Katherine Graham (The Washington Post) tidak bisa patungan dengan Jakob Oetama, atau siapa saja yang ingin menggerakkan media massa Indonesia memasuki era Infobahn (information superhighway) sesuai dengan laporan Newsweek 6 Juni lalu.<br />
<br />
Pers Indonesia, yang tumbuh sebagai alat perjuangan politik, selama ini memang diproteksi terhadap modal asing. Tapi sebetulnya, dari 100% produk pers, kandungan lokalnya tidaklah seberapa. Mesin cetak, sebagian kertas, dan teknologi untuk proses produksi masih amat bergantung pada impor. Bahkan sebagian berita juga berasal dari Reuters, AP, Dow Jones, AFP, dan Kyodo, yang dijuluki Pentagon kantor berita global. Ini lebih-lebih berlaku di media elektronik yang mayoritas programnya dikuasasi produk Hollywood.<br />
<br />
Sejak zaman Hindia Belanda, bahkan sampai 1957, Indonesia boleh dibilang sudah mengenal industri pers yang dianggap mewakili kepentingan elite kolonial dan bisnis Belanda. Kelas menengah Cina disuarakan oleh pers yang dikelola oleh peranakan seperti Sin Po dan Keng Po. Sedangkan pers pribumi mengandalkan solidaritas kaum ''tertindas'', dan sebagian mampu bertahan secara mengagumkan. Perjuangan merebut Irian Barat menutup semua koran Belanda, lalu proses asimilasi telah menutup koran berbahasa Cina, dan membaurkan penerbitan milik keturunan Cina. Pada zaman Bung Karno, pers harus berafiliasi dengan partai atau ormas politik dan ABRI, hingga mirip pola Pravda, organ resmi Partai Komunis Uni Soviet. Bedanya, Warta Bhakti yang berhaluan kiri (Baperki) adalah koran paling berjaya secara komersial waktu itu.<br />
<br />
Selama 1966-1974, terjadi bulan madu antara pers dan Pemerintah. Maka, bisnis pers mulai tumbuh seiring dengan pertumbuhan ekonomi. Harian Nusantara tidak dibredel ketika menulis artikel tentang Bogasari, sekalipun pemimpin redaksinya, Mr. T.D. Hafas, yang pernah bekerja di koran Belanda Niewsgier, dituntut ke pengadilan atas dakwaan haatzaai artikelen terhadap Presiden. Tahun 1974, peristiwa Malari mengubah sikap Pemerintah yang akomodatif menjadi represif dengan membredel pers serta memberlakukan proteksi berupa penghentian pengeluaran surat izin terbit (SIT) baru. Ini adalah awal dari proteksi bidang pers bagi pendatang baru.<br />
<br />
Dengan pembatasan pengeluaran SIT atau SIUPP, dua organisasi pers, yaitu PWI dan SPS, sebetulnya sudah bertindak selaku kartel. Melindungi kepentingan penerbit dan wartawan yang sudah memiliki SIUPP, dan membendung masuknya pelaku penerbit dan wartawan baru di pasar media massa. Pers Indonesia menikmati proteksi yang luar biasa, baik terhadap masuknya modal dari luar maupun terhadap pendatang baru domestik. Sisi lain dari proteksi berdalih ingin memeratakan pasar melalui intervensi Pemerintah adalah pembatasan rasio iklan dan jumlah halaman, yang secara ketat berlaku sejak 1980. Akibatnya, tarif iklan di media cetak Indonesia termasuk salah satu yang termahal di dunia.<br />
<br />
Proteksi yang dilakukan selama satu generasi PJP I dan lima Pelita telah berhasil mengorbitkan penerbit dan wartawan media massa masuk dalam peringkat 200 pembayar pajak terbesar di Indonesia. Surplus dana dari pers yang sukses dari pasar yang diproteksi -- akibat regulasi ketat itu mengalami hambatan ekspansi -- terpaksa ditransfer ke sektor nonpers. Lahirlah pola konglomerasi pers nasional ke sektor bisnis di luar pers, yang kemudian dijadikan legitimasi untuk pembukaan arus modal raksasa dari grup Liem Sioe Liong, misalnya, masuk ke bisnis media massa. Walaupun secara resmi SIUPP sudah ditutup, ternyata terbuka peluang bagi lahirnya media massa baru milik elite bisnis yang berkaitan erat dengan elite politik. Deregulasi siaran TV juga merupakan arisan antar-elite yang itu-itu juga.<br />
<br />
Era Infobahn akan melihat merger dan konvergensi media cetak dan media elektronik dengan komputerisasi canggih. Semua media cetak global sudah terjun ke jaringan on-line database, termasuk Kompas, yang akan diluncurkan awal pekan ini. Aliansi strategis antara perusahaan telkom, pers, dan stasiun TV sudah terjalin untuk menciptakan sistem multimedia interaktif yang kelak akan menggiring produk masing-masing secara terisolasi menjadi usang. George Gilder dalam bukunya Life after Television meramal: adalah multimedia masa depan bernama teleputer yang kelak akan menggantikan televisi yang bersifat satu arah.<br />
<br />
Dalam konteks ini, deregulasi sektor pers yang memungkinkan masuknya pendatang baru merupakan sesuatu yang positif untuk membongkar struktur elite media massa yang bersifat kartel, yang menciptakan tarif iklan termahal di dunia. Tentu banyak yang mengkhawatirkan nasib ratusan pemilik SIUPP, yang tidak pernah mampu memanfaatkan peluang proteksi selama satu PJP dan lima Pelita. Tapi adakah kepentingan sekitar 200 orang yang kebetulan pernah mempunyai privilese mengantongi SIUPP, dengan bekal pertimbangan politis, harus terus dilindungi?<br />
<br />
Di samping masalah interes mikro pelaku pers yang sudah mapan, ada masalah lebih besar yang patut disyukuri. Jika modal asing masuk ke pers, barangkali Pemerintah tidak akan secara gampang membatalkan SIUPP. Pembatalan tanpa proses pengadilan akan mengundang campur tangan mahkamah International Center for the Settlement of Investment Dispute dari Bank Dunia. Ironis bahwa perjuangan kebebasan pers dari ancaman pembredelan justru telah dilakukan oleh Pemerintah sendiri melalui langkah liberalisasi sektor media massa untuk modal asing.<br />
<br />
Christianto Wibisono, Direktur Pusat Data Bisnis Indonesia (PDBI)<br />
<br />
TEMPO, No 15 Tahun XXIV - 11 Juni 1994</div>
Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3487622107129209275.post-82806225148483460322020-07-14T08:37:00.003-07:002020-07-14T08:37:58.413-07:00Raden Mas Tirtoadisuryo Penggubah Sejarah di Pergantian Abad<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
BERBICARA tentang Raden Mas Tirtoadisuryo, orang tak bisa melupakan jasa Pramudya Ananta Toer. Dengan kepiawaiannya sebagai penulis kelas satu, Pramudya seolah-olah telah "menciptakan kembali" dalam dunia ingatan, kata dan imajinasi orang, sosok Tirtoadisuryo yang sudah terkubur dan dilupakan. Pramudya telah mengabadikan jejak langkahnya, bukan hanya dalam sebuah buku sejarah, akan tetapi juga empat buku roman sejarah yang amat indahnya.<br />
<br />
<br />
<a name='more'></a>Tugas penulis sejati memang menghidupkan kembali segala pengalaman yang sudah mati di dalam benak ingatan masyarakat. Orang lalu punya cermin kehidupan untuk berkaca, dan melihat dirinya dalam pantulan sang tokoh. Tulisan Pramudya tentang Tirtoadisuryo yang berjudul Sang Pemula (Hasta Mitra, Jakarta, 1985), memang hanya merupakan salah satu dari banyak karya Pramudya yang telah disumbangkannya untuk Indonesia. Ia telah menghidupkan kembali banyak kematian yang telah dialami dan terkubur di benak ingatan masyarakat.<br />
<br />
Menurut hemat saya, upaya penampilan Tirtoadisuryo tidak dimaksudkan untuk menafikan tokoh pergerakan lain yang banyak di dalam sejarah bangsa ini. Sekalipun ada menyelip semangat semacam itu pada diri Pramudya; hal yang wajar, manakala kita terobsesi oleh ketokohan seseorang. Seorang tokoh pergerakan bangsa bagi Pramudya bukanlah tokoh yang "steril" seperti malaikat, tetapi seorang tokoh yang berurat, berdaging, dan bertulang biasa. Pendeknya Tirtoadisuryo adalah tokoh manusia biasa yang jauh dari sempurna. Orang yang malang melintang dan jatuh bangun dengan kesangsian, kegagalan, juga penuh dengan cerita petualangan (kehidupan seks), khususnya di kalangan para nyai cantik yang gampang didapati di pergantian abad lalu.<br />
<br />
Siapa Raden Mas Tirtoadisuryo? Ia seusia dan hidup sezaman dengan Raden Ajeng Kartini. Banyak kesamaan antara keduanya, khususnya bahwa mereka berdua bukan orang sembarang. Kematian mereka sama-sama memilukan, seolah-olah habis tenaga ketika bergulat melawan pelintiran dan putaran sejarah yang dahsyat di pergantian abad lalu.<br />
<br />
Tirtoadisuryo sendiri adalah salah seorang yang turut mengukir sejarah Indonesia. Seorang yang uthik (tak bisa diam) untuk mencari serba kemungkinan di tengah perubahan zaman. Dengan memanfaatkan celah-celah kecil yang dibuka oleh rezim kolonial di permulaan abad ke-20, ia mampu bermain dengan serba kemungkinan yang bisa dijajaki, peluang-peluang yang bisa dicipta. Di tengah remah-remah sejarah yang tersisa di negeri yang miskin, kehilangan harga diri, di sebuah jalan simpang zaman pergantian abad 19-20. Nederlands Indie memang mengandung hal-hal yang ajaib.<br />
<br />
Di tengah kehidupan tinggal sampah dan rerongsokan, ia mampu muncul selaku pelaku (subyek) sejarah. Subyek yang berkehendak membangun kembali sebuah harkat manusia dari puing-puing masa lampau. Gagasan dan sikapnya mengatasi keadaan bangsanya yang merangkak-rangkak, miskin, tak punya rasa hormat pada diri sendiri, terpuruk; masyarakat yang kalah dan menyerah selama sekian banyak garis keturunan. Ia melesat bagaikan seekor wulung (garuda kecil berwarna ungu) yang terbang mengepakkan sayapnya berkeliling di udara. Pendeknya Tirtoadisuryo adalah seorang yang telah mencipta dirinya sendiri, seorang yang sadar berdiri di tengah sejarah sebuah bangsa.<br />
<br />
Menurut penuturan Pramudya, Tirtoadisuryo lahir di Blora 1880 dan meninggal 7 Desember 1918, diasuh di kalangan priyayi cukup tinggi. Ayahnya Raden Ngabehi Muhammad Chan Tirtodipuro (petugas pajak), kakeknya Raden Mas Tumenggung Tirtonoto, Bupati Bojonegoro. Zaman di mana Tirtoadisuryo berkiprah adalah zaman yang dipengaruhi oleh munculnya kebijakan kolonial baru yang dikenal dengan "politik etis".<br />
<br />
Celah sempit sosial-ekonomi dan politik yang dibuka pemerintah kolonial ini bisa dibacanya guna memelopori berbagai bidang kerja yang luar biasa pengaruhnya ke masyarakat. Khususnya di bidang jurnalistik, pengorganisasian rakyat, bisnis, dan gerakan penyadaran tentang emansipasi rakyat yang tertindas. Sedikitnya ada dua yang bisa disebut tentang peran penting yang dijalankan oleh Tirtoadisuryo, yaitu: pelopor jurnalisme dan pembangun gerakan emansipasi rakyat.<br />
<br />
Jurnalisme Rakyat Terjajah<br />
<br />
Di bidang jurnalisme, Mas Marco Kartodikromo, wartawan legendaris dari kancah pergerakan nasional Indonesia, mengaku: "Raden Mas Tirto Hadi Soerjo, jalah bangsawan asali dan joega bangsawan kafikiran, Boemipoetera jang pertama kali mendjabat Journalist; boleh dibilang toean TAS. indoek Journalist Boemipoetera di ini tanah djawa, tadjam sekali beliaoe poenja pena." (lih. Pramudya 1985 : 416). "Indoek journalist", kata Mas Marco, bukan hanya karena Tirto mengawali profesi sebagai wartawan inlander, akan tetapi karena ruh dan pengabdian kepada bangsa yang diwariskannya sebagai ilham. Karier Tirtoadisuryo yang menanjak dengan tempo tinggi dan berbinar-binar seperti meteor selaku jurnalis, tak bisa dilepaskan dari konteks kehidupan masyarakat yang terlunta-lunta mencari jati dirinya yang hilang di tengah penindasan mesin eksploitasi modern yang bercorak internasional, yang bernama kolonialisme dan imperialisme.<br />
<br />
Sebagai jurnalis, Tirtoadisuryo melempangkan jalan bagi rakyat untuk memahami hak-hak serta martabat mereka. Ia berucap lewat mulut tokoh Boesono-yang tak lain adalah dirinya-dalam salah satu karya nonfiksinya, sebagai berikut: "Pers adalah matahari bagi dunia maka kita mesti mengerti bahwa pers Melayu bisa tumbuh seperti cendawan di musim hujan, tetapi segera berontokan bagaikan daun layu. Aku sendiri ingin sekali merombak keadaan semacam ini. Koranku akan aku isi dengan pikiranku dan pikiran orang-orang cerdik pandai, yang bisa mendidik bangsanya ke medan kemajuan dan kesempurnaan" (Pramudya 1985: 375).<br />
<br />
Tugas pers menurut pikirannya adalah merombak masyarakat ke arah kemajuan dan kesempurnaan. Untuk itu diperlukan pikiran yang merdeka, pikiran yang terbebas dari belenggu ketakutan dan kekerdilan. Untuk itu, betapa getolnya ia menginginkan koran yang dipimpin dan dimilikinya sendiri, sebab hanya dengan cara demikian ia bisa mewujudkan kebebasannya selaku orang yang termasuk dalam golongan orang yang merdeka.<br />
<br />
Tema-tema pembicaraan Tirtoadisuryo dalam tulisan-tulisan di berbagai media lain dan dalam surat kabar yang dipimpinnya juga selalu menekankan perlunya untuk pekerjaan partikulir (swasta dan wiraswasta), yang bebas dan tidak bergantung kepada kepegawaian, yang merupakan keinginan setiap priyayi Jawa saat itu. Seolah-olah masa depan priyayi Jawa adalah menjadi bagian dari mesin administrasi pemerintah kolonial. Bertolak belakang dengan itu, ia berpendapat bahwa perdagangan, bekerja di kebun, dan kerajinan merupakan bagian yang pekerjaan yang membebaskan dan melatih kemandirian dari kalangan pribumi. Apresiasi dari kalangan merdeka, atau golongan partikulir itu selalu diwartakan sebagai "kabar baik" bagi kaum pribumi yang tak memiliki masa depan. Kesejahteraan, kemakmuran serta kebahagiaan akan dicapai manakala pribumi mampu menjadi manusia sebagai subyek yang memiliki kebebasan untuk menentukan nasibnya sendiri.<br />
<br />
Amat menakjubkan membayangkan bahwa seorang pribumi di masa pergantian abad lalu mampu melakukan karya-karya yang begitu mendalam dan beragam. Perhatian pokoknya banyak ditujukan kepada apa yang disebutnya sebagai "kaum merdeka" (vrije burgers). Seolah-olah pada kaum merdika inilah tumpuan harapan untuk membangun masyarakat yang maju dan sempurna.<br />
<br />
Kaum merdika adalah kaum terpelajar, mereka yang memiliki harta dan modal, lapisan masyarakat yang tidak mengabdi pada kekuasaan Hindia Belanda, para saudagar pribumi (yang umumnya dari kaum muslim), mereka yang berkebudayaan serta beradab, mereka yang hidup tidak dari gaji atau menjual tenaga, tetapi dari usaha sendiri; dengan singkat "golongan menengah".<br />
<br />
Adapun karier Tirtoadisuryo sebagai jurnalis tergambar dalam kegiatannya yang luar biasa, baik dalam mengelola persuratkabaran, maupun dalam kegiatan tulus-menulis. Ada sekitar 14 terbitan yang ia kelola, pimpin, atau sebagai penulis tetap. Yaitu Pembrita Betawi, Soenda Berita, Medan Priyayi, Soeloeh Keadilan, Poetri Hindia, Sarotomo, Soeara B.O.W., Soeara Spoor dan Tram, Soearaurna. Ia adalah redaktur kepala pertama bagi sejarah orang pribumi di Hindia Belanda.<br />
<br />
Selaku jurnalis, Tirtoadisuryo melihat tugasnya selaku sarana untuk menggugah kesadaran masyarakat untuk menjawab persoalan mereka sendiri. Di tempat pembuangannya di Lampung (Telukbetung) selama dua bulan sejak 18 Maret 1910, ia menulis: "...saya seorang pengarang, seorang pengawal pikiran umum, yang berkewajiban membicarakan segala hal yang patut diketahui oleh orang banyak akan guna orang banyak serta menunjuk segala keadaan yang tidak layak akan kegunaan umum dalam surat kabar dengan tidak harus menerima sesuatu apa..." (dalam Pramudya 1985: 255).<br />
<br />
Ia bukan hanya jurnalis dalam arti sebagai penulis berita dan perumus gagasan, akan tetapi juga banyak mengarang karya-karya nonfiksi literer yang bagus. Di sana ia memberi dukungan kepada kaum merdeka, dan juga harapan serta kekecewaannya terhadap dirinya sendiri dan masyarakat kolonial.<br />
<br />
Sebagai catatan atas seluruh pengabdian dan karya-karya jurnalistik Tirtoadisuryo, Pramudya menorehkan pertanyaan penting: "Sekiranya ia tidak memulai tradisi menggunakan pers sebagai alat perjuangan dan pemersatu dalam masyarakat heterogen seperti Hindia, bagaimana kiranya nasion Indonesia akan terbentuk?" (Pramudya 1985: 9). Dengan menyebut pers sebagai "alat perjuangan" dan "heterogenitas masyarakat", Pramudya pada dasarnya telah menyentuh tugas utama jurnalisme Indonesia di tengah keadaan krisis dan terpuruk di pergantian abad yang lalu dan pergantian abad yang sekarang ini; seratus tahun sesudah masa Tirtoadisuryo.<br />
<br />
Emansipasi Rakyat<br />
<br />
Gagasan dasar yang dibangun di masa awal pergerakan nasional, khususnya bertumpu pada gagasan tentang emansipasi rakyat. Sebagaimana sudah disebut di muka, Tirtoadisuryo seumur dengan Kartini, yang juga merupakan anak zaman yang dilahirkan oleh politik etis. Di samping naskah Pramudya yang spektakuler, beberapa ahli tentang sejarah kontemporer Indonesia, antara lain seperti Robert Van Niel, Heather Sutherland, George D Larson, Takashi Siraishi, APR Korver, Akira Nagazumi, juga mengungkap tentang peran Tirtoadisuryo.<br />
<br />
Tirtoadisuryo disebut selaku nominal founder dari Sarekat Islam yang berawal dari Sarekat Dagang Islam. Ia pendiri dari Sarekat Dagang Islamiyah di Batavia 1909, dan Sarekat Dagang Islam di Bogor 1911. Dan awal tahun 1912 ia turut terlibat mendirikan Sarekat dagang Islam di Solo, sebagai cabang Bogor; dan di sana Samanhudi menjadi the real leader (Larson 1987 : 36). Heather Sutherland selanjutnya menceritakan bahwasanya peran Tirtoadisuryo selaku movement organizer, bermula dari usahanya untuk mendirikan Sarekat Priyayi tahun 1906 yang bertujuan memperjuangkan agar anak-anak Jawa bisa memperoleh pendidikan Belanda. Sarekat Priyayi inilah sebagai basis untuk menerbitkan koran mingguan Medan Priyayi (1907 - 1912).<br />
<br />
Medan Priyayi banyak mengemukakan keluhan-keluhan rakyat kecil terhadap perlakuan kalangan priyayi tinggi dan para pegawai pemerintah kolonial Belanda. Menurut Sutherland, mungkin dinilai dari ukuran pemahaman tentang "demokrasi" sekarang, sebenarnya yang diperjuangkan Tirtoadisuryo barulah merupakan awal untuk melakukan konsientisasi bagi rakyat untuk memperoleh keadilan. Kalangan Bestuur Ambtenaar (administrator pemerintahan) baik kalangan Belanda maupun pribumi disebutnya selaku "Buaya Besar". Namun kepada Sri Ratu dan wangsa Kerajaan Belanda ia hormati dan puji setinggi langit. Dengan kata lain, sekalipun ia mengritik kelakuan yang represif sementara pejabat Belanda dan Jawa, namun ia belum punya perangkat "teoritik-ideologis" guna menolak sistem kolonial secara keseluruhan (band. Heather Sutherland 1980 : 58). Tirtoadisuryo juga tidak menyembunyikan kekagumannya pada Jenderal Van Heutz yang sukses dengan program pasifikasinya mempersatukan Nusantara menjadi Nederlands Indie, cikal bakal dari Republik Kesatuan Indonesia. Pada umumnya para penulis luar negeri, termasuk staf ahli di zaman kolonial seperti J Th P Blumberger, GHJ Hazeu, DA Rinkes, (yang juga dikutip oleh banyak pengamat sejarah kontemporer Indonesia) berpendapat bahwa pertikaian antara Cina dan Jawa di sekitar kegiatan Sarekat Islam pada masa awal disebabkan oleh masalah-masalah etnosentrisme dan ekonomi, khususnya persaingan dagang. Hal itu ditengarai oleh munculnya semangat nasionalisme di kalangan bangsa Asia, khususnya di Cina yang dimotori oleh Sun Yat Sen di sekitar tahun 1912, yang mempunyai dampak luar biasa pada kalangan Cina di Hindia Belanda.<br />
<br />
Dua hal sedikitnya yang memicu ketegangan antaretnis itu: pertama, kalangan Cina di Hindia Belanda merasa dianaktirikan oleh pemerintah kolonial karena status mereka selaku "orang Timur asing", yang dibedakan dengan orang Jepang yang disamakan dengan orang Eropa. Nasionalisme menghembuskan kesadaran baru akan hak-hak mereka di tanah jajahan. Sementara itu nasionalisme Cina juga memberi pengaruh pada kesadaran orang Jawa akan nasionalisme mereka.<br />
<br />
Kedua, di Solo sebagai pusat industri batik, terjadi persaingan yang semakin ketat antara dua kelompok yang kuat berusaha di wilayah itu, yaitu para pedagang pribumi muslim dengan kalangan Cina. Tekstil dan zat pewarna di awal abad ke-20 semakin bergantung kepada impor, yang penanganan distribusinya dimonopoli oleh kalangan Cina. Pedagang Jawa juga semakin punya akses ke bahan-bahan impor tersebut, khususnya mereka yang dibantu oleh pedagang Arab dan kalangan bangsawan. Dengan demikian terjadi persaingan terbuka antara kedua kelompok itu, terutama sejak didirikannya Sarekat Dagang Islam di Solo; begitulah dikemukakan para ilmuwan birokrat Belanda itu.<br />
<br />
Hal yang menarik adalah apa yang dikemukakan oleh Pramudya dalam kisah monumentalnya Sang Pemula. Pramudya mendasarkan diri pada apa yang disebutnya sebagai "skenario Rinkes" yang sengaja mau menggelapkan peran sejarah yang dijalankan Tirtoadisuryo di satu pihak, dan di pihak lain hendak memperhadapkan gerakan Sarekat Islam sebagai gerakan ekonomi dan bukan gerakan politik. Sebagai gerakan politik, mau tak mau Sarekat Islam akan segera berhadapan dengan Pemerintah Belanda.<br />
<br />
Dengan semangat tinggi Pramudya mengedepankan gagasannya tentang "skenario Rinkes" tersebut (Band. Pramudya 1985 : 151-176). Rekonstruksi sejarah yang dibuat oleh Pramudya, agaknya tak begitu saja bisa diabaikan. Ia berusaha membuktikannya dengan berbagai macam teks yang bisa ia dapat sebagai pijakan dari pendapatnya. Bila kita membaca otobiografi dari IWF Idenburg (menjabat Gubernur Jenderal Nederlands Indie pada 1909 - 1916), tampak rekayasa ke arah itu memang ada. Demikian juga dengan sumber arsip yang memuat surat-menyurat antara Abraham Kuyper dengan Idenburg (Briefwisseling Kuyper-Idenburg, Franeker, 1985) tampak bahwa "skenario Rinkes" sebagaimana dilacak oleh Pramudya bukan semata isapan jempol. Hal yang menarik ini merupakan tugas dari para sejarawan yang lebih muda untuk meneliti perkara yang sudah dimulai dengan penuh semangat oleh Pramudya.<br />
<br />
Bagi Idenburg, yang dikenal sebagai orang saleh yang rajin beribadah di gereja itu, lepas dari simpatinya terhadap Sarekat Islam dibandingkan dengan sikapnya yang sangat keras terhadap Indische Partij yang dianggap sebagai sangat berbahaya karena karakternya sebagai gerakan politik revolusioner anti-Belanda, ia memang sangat berkepentingan agar supaya Sarekat Islam benar-benar menjadi gerakan ekonomi yang berhadapan dengan orang Cina. Dalam korespondensinya dengan Abraham Kuyper selaku Perdana Menteri Belanda pada tanggal 4 Juli 1913, ia menyurat: "Wij moeten ook toejuichen dat de inlander zich wat los maakt van het economisch juk van den Chinees." (Juga kita mesti menyambut dengan gembira kenyataan bahwa bangsa pribumi bisa melepaskan diri dari penindasan ekonomis kalangan Cina) (Briefwisseling 1985: 383).<br />
<br />
Terkesan memang dari keseluruhan semangat surat ini bahwa Idenburg benar-benar percaya bahwa bentrokan horisontal antara Jawa-Cina tidak bisa dihindari. Peran orang Cina sebagai pedagang perantara semakin luntur. Dan di berbagai koran dicatat bahwa golongan Cina mulai berkampanye untuk memusuhi Sarekat Islam. Keadaan ini merupakan tujuan dari politik kolonial, melakukan adu domba horisontal di masyarakat. Tirtoadisuryo sendiri saat itu, sudah tidak berbuat apa-apa, sekalipun ia menyadari bahaya semacam itu. Karena ia sudah tumpas, dibungkam dan dibuang ke luar Jawa. Nasib bangsa Indonesia seolah-olah mengikuti nasib yang tak terlalu beruntung dari para pendahulunya.<br />
<br />
Sebagai penutup, bisa dikemukakan pertanyaan: apa makna Tirtoadisuryo bagi kita sekarang, 100 tahun kemudian? Dialah seorang yang bisa memberi inspirasi bagi masyarakat yang gamang dan tak memiliki pijakan visi yang luas. Yang cenderung kacau dan kebingungan dalam tantangan pergantian abad, bahkan pergantian milenium.<br />
<br />
Tirtoadisuryo adalah "manusia perbatasan", seorang yang mampu melintasi batas dan tidak berkutat saja dalam kubangan jebakan status quo zamannya. Ia mampu melintasi batas-batas agama, suku, ilmu, dan memiliki karakter serta keberanian untuk melangkah, menjadi anak zaman yang benar -benar mengerti dan mau menjawab tantangan-tantangan zaman.<br />
<br />
Memasuki milenium ketiga, bangsa Indonesia babak belur. Bopeng, penuh coreng-moreng dengan luka-luka sosial yang belum tersembuhkan, sudah ditimpali pula dengan perdarahan yang baru yang terjadi di mana-mana. Menjadi bangsa yang otoriter yang mau menangnya sendiri. Diplomasi dan relasi-relasi sosial-politik di negeri ini amburadul. Kemelut muncul karena tidak ada lagi perekat pemikiran yang mempersatukan masyarakat, dan tidak ada lagi pemimpin yang dipercayai oleh masyarakat. Ketidakpercayaan merupakan akar masalah yang silih berganti dengan kebencian dan amuk.<br />
<br />
Tirtoadisuryo berdiri sebagai tonggak sejarah. Mengabarkan bahwa bangsa ini harus berangkat menjadi lebih mandiri. Ia adalah teladan, bukan hanya dalam keberhasilan, tetapi juga dalam kekalahan, ketidakberuntungan dan bahkan kegagalannya. Kesalahan utama yang menyebabkan tradisi sejarah bangsa ini menjadi sebuah tragedi adalah karena sejarah dipahami sebagai sejarah kemenangan semata-mata. Kita hanya mau bercermin dari kemenangan, tak ada wisdom dalam cermin sejarah kita.<br />
<br />
Lalu kita menjadi amat gampang terguncang, menjadi tidak manusiawi dalam persepsi tentang diri kita sendiri. Cermin sejarah hanya menjadi cermin untuk bersolek, bukan untuk memahami diri. Sejarah adalah tempat yang menjauhkan diri. Kita lebih tidak mengenal diri sendiri ketika membaca sejarah yang kita tulis sendiri. Sejarah menjadi tempat kita menipu diri sendiri, menjadi tokoh fiktif yang tak pernah salah dan tak pernah kalah. Pada saat itu kita justru menjadi bangsa yang salah di mana-mana, dan kalah di mana-mana. Kita memerlukan kejujuran dan keadilan.<br />
<br />
Pada akhirnya, dengan agak panjang saya kutip pandangan Pramudya sendiri tentang Tirtoadisuryo yang penuh hormat dan takjub, sebagai berikut: "Tidak akan berlebihan bila dikatakan: pada masanya ia adalah pribadi yang berada di garis terdepan dan sendirian. Perhatiannya pada nasib lapisan terendah masyarakat, yang sepanjang sejarah tak pernah dapat perhatian, mengalami penindasan dan penghisapan bertingkat-tingkat, baik oleh pemuka-pemuka setempat, sistem feodalisme pribumi, dan kolonialisme Eropa, berpadu dengan pergeseran kekuatan dunia, kemajuan umat manusia di mana pun mereka berada, menampilkan dirinya sebagai seorang intelektual modern yang bertanggung jawab pada nuraninya". (Pramudya 1985: 187). Maka sempurnalah julukan yang diberikan oleh Pramudya, dialah sesungguhnya Sang Pemula itu.<br />
<br />
Th. Sumartana, Direktur DIAN/INTERFIDEI, Yogyakarta<br />
<br />
diambil dari Harian Umum Kompas, edisi khusus tahun baru 2000</div>
Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3487622107129209275.post-32319307796669122982020-07-14T08:35:00.004-07:002020-07-14T08:35:51.839-07:00Studi Pers Indonesia Kontemporer<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
STUDI atas pers Indonesia boleh dikata masih sedikit. Untuk melihat faktanya, tidak pasti setahun sekali ada satu terbitan yang mengupas secara serius tentang Pers Indonesia. Yang lebih sering muncul merupakan kumpulan tulisan tentang pers atau biografi seorang jurnalis Indonesia. Menyebut yang paling akhir sekali, boleh disebut nama David T. Hill (1994), atau sebelumnya ada Harsono Suwardi (1993), Bambang Sadono (1993), Daniel Dhakidae (1991) -(tidak/belum? dipublikasikan); Francois Raillon (1985); Amir Effendi Siregar (1983), Edward C. Smith (1983) Oey Hong Lee (1971). Dan tak dapat dilupakan lupa karya Tribuana Said (1988) yang mengisi kekosongan literatur tentang sejarah pers Indonesia, sementara karya Ahmat Adam (1984 & 1993) belum banyak bisa diakses publik. Semua yang terbit di atas banyak memberikan tekanan pada perkembangan pers Indonesia setelah kemerdekaan 1945. Kecuali Edward Smith, Ahmat Adam dan Oey Hong Lee, seluruhnya memfokuskan diri pada periode pers Indonesia pada masa Orde Baru.<br />
<br />
<br />
<a name='more'></a>Apakah arti penting studi atas diri pers Indonesia ini?Berefleksi Menilai Diri Studi yang dilangsungkan pada obyek studi apa pun tak ada korelasi langsung dengan perkembangan obyeknya itu sendiri. Penelaahan masuk ke masalah obyek lewat seperangkat metodologi, tidak dengan sendirinya menggeser arti ontologis obyek tersebut, yang dalam hal ini ada pers Indonesia. Tetapi ini tidak mengurangi arti penting perlunya suatu kajian atas diri pers Indonesia. Studi selain sebagai suatu cara pandang melihat masalah, bisa juga jadi bahan refleksi mendalam bagi obyek tersebut.<br />
<br />
Sadar tak sadar, media adalah pembuat realitas ke hadapan pemirsanya. Ialah yang mengkreasi simbol-simbol, atau membahasakan realitas yang ditangkapnya dan menuangkannya dalam rangkaian berita dan bahasa foto. Sadar atau tidak hal ini menghasilkan suatu ideologi tertentu di dalam produksi teks-teksnya. Thamrin Amal Tomagola (1990) misalnya membedah ideologi dari majalah wanita dan memerinci diskursus yang berlangsung di dalamnya. Studi terhadap diri pers ini, adalah suatu kritik intern ataupun ekstern atas kehadiran lembaga pers di tengah masyarakat, yang juga bersinggungan dengan hal kekuasaan, dalam pengertian yang luas. Dengan merunut sejumlah karya yang telah disebutkan di atas, rasanya masih bisa dilihat banyak lubang-lubang jika kita ingin merekonstruksi kisah tentang pers Indonesia ini. Dan sayang sekali misalnya, karya almarhum Abdurrachman Surjomihardjo dan kawan-kawan, tak sempat berbuah lebih banyak, karena karya asalnya sendiri kini tak dapat diakses publik untuk suatu alasan politis di masa lalu (awal 80-an) Padahal karya yang berjudul Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers Indonesia (kerja sama LIPI dan Deppen) belumlah tuntas dalam memetakan sejarah pers Indonesia, atau dahulu bisa disebut sebagai Pers Hindia Belanda. Dan masih banyak pekerjaan rumah sebenarnya, yang ditinggalkan oleh buku tersebut. Misalnya saja sejauh ini tak banyak orang menuliskan studi tentang pers daerah, atau pers di Indonesia Timur.<br />
<br />
Atau meminjam sebutan David Hill, banyak pers pinggiran (Marginal Presses) saat ini, yang sering luput dari perhatian pemerhati studi pers Indonesia, yaitu publikasi khusus atau pers STT, Pers Mahasiswa, Pers Lokal Berbahasa Indonesia, Pers Lokal Berbahasa Daerah, Pers Islam, Pers Berbahasa Inggris, dan Pers Berbahasa Tionghoa. Bibliografi tentang Pers Indonesia pun saat ini hanya diwakili oleh dua karya, yaitu Mastini Hardjoprakoso (1978, serial Asian Mass Communication Research and Information Centre) dan Evert-Jan Hoogerwerf (1990 dalam proyek KITLV). Penyusunan koleksi surat kabar di dalam negeri hanya diwakili oleh karya Mastini Hardjoprakoso (1984)."HB Jassin" untuk Pers Beruntunglah dunia sastra yang memiliki seorang HB Jassin dan kini karyanya sudah melembaga sebagai Pusat Dokumentasi Sastra HB Jassin. Apakah ada yang punya perhatian serupa untuk dunia pers, dan membangun suatu lembaga yang serius untuk itu? Mengutipkan pendapat HB Jassin sendiri (Pamusuk Eneste, 1987), "Bagi saya pekerjaan dokumentasi ini telah memberikan semangat dan kegembiraan karena telah membuahkan hasil-hasil studi berupa pembicaraan dan kritik sastra, antologi dan kompilasi..." Dan selanjutnya ia menambahkan,<br />
<br />
"Dengan adanya dokumentasi kita menjadi kenal masalah-masalah, kita juga menjadi kenal sejarah, latar belakang dan para pengarang sastra. Dokumentasi adalah alat untuk memperpanjang ingatan, memperdalam dan memperluasnya." Dengan memperhatikan segala kritik yang ditujukan kepada Jassin, serta dengan mempertimbangkan distingsi dunia sastra dan pers, maka hendak dikatakan di sini bahwa dokumentasi untuk pers adalah mutlak, dan untuk itu perlu ada suatu lembaga khusus yang menangani hal itu. Dan dari situ bisa dimulai suatu studi yang serius atas diri pers Indonesia. Persoalan pers Indonesia pun tak semata soal teks-teksnya, soal kode etik, efek pemberitaan, kaitan dengan pembangunan, tapi juga dapat meluas dalam pandangan relasinya dengan kelembagaan ataupun bidang lain dalam hidup manusia ini. Satu yang telah disebut di depan misalnya, bagaimana media massa membentuk realitas yang akhirnya ditangkap oleh pemirsanya. Hal lain yang juga menarik untuk dikaji adalah meninjau ulang paradigma pembangunan yang sekarang ini dominan dalam pers. Perubahan paradigma pembangunan yang ada sekarang, serta juga bagaimana media merefleksikan fakta di lapangan yang bisa mendukung atau menolak paradigma dominan tersebut (Everett Rogers ed, 1985).<br />
<br />
Yang tak kurang disentuh oleh banyak orang adalah biografi kritis dari sejumlah tokoh pers masa kini. Orang-orang seperti Mochtar Lubis, Rosihan Anwar, A. Azia, BM Diah, SK Trimurti, Ani Loebis, Herawati Diah, dan terakhir Toeti Azis, telah dibuatkan biografi atas diri mereka masing-masing. Tetapi semuanya masih merupakan kisah para jurnalis dalam periode pers masa revolusi kemerdekaan, dan dengan demikian kental juga dunia politik atas diri mereka masing-masing. Namun tepat itu yang ditunjuk oleh Daniel Dhakidae (1991), bahwa saat ini sudah selesai jurnalisme politik, dan selamat datang industri jurnalisme. Hal ini belum tercerminkan dalam biografi dari sejumlah "jurnalis masa kini". Kemajuan-kemajuan pers yang terjadi saat ini, berikut juga dengan kemundurannya hanya akan terlihat ketika pendokumentasian kita cukup lengkap untuk itu. Dan itu misalnya bisa dipakai untuk menilai bagaimana penanganan kekuasaan terhadap diri pers masa kini. Dengan demikian studi yang serius untuk soal pers Indonesia adalah suatu agenda yang terlupa saat kini. Padahal kritik ke dalam, refleksi diri, sambil mencatatkan pertumbuhan dan perkembangan pers masa kini akan menghasilkan manfaat bagi banyak orang karenanya. Jangan-jangan kita kembali lompat terlalu jauh dalam media habbit ini, melompat ke media elektronik dan asyik bergumul di sana, dan lupa bahwa media cetak punya agenda banyak yang belum tuntas dipermasalahkan.<br />
<br />
Ignatius Haryanto, Alumnus FISIP UI, Mahasiswa Ekstensi STF Driyarkara</div>
Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3487622107129209275.post-5232152302355248282020-07-14T08:34:00.001-07:002020-07-14T08:34:14.156-07:00Pers Mahasiswa: Persemaian Public Sphere Civil Society<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
Pers mahasiswa, apapun bentuk dan formatnya, hadir dengan muatan nilai‑nilai ideologis terentu. Pada masa pra kemerdekaan, berkala semacam "Jong Java", "Ganeca", "Indonesia Merdeka", "Soeara Indonesia Moeda", "Oesaha Pemoeda", ataupun "Jaar Boek", lahir dengan semangat kental untuk menjadi alat penyebaran ide-ide pembaharuan clan perjuangan akan arti penting kemerdekaan. Demikian haInya dengan pers mahasiswa yang lahir pada masa paska kemerdekaan.<br />
<br />
<br />
<a name='more'></a>Menurut telaah Siregar (1983), pers mahasiswa di jaman demokrasi liberal (19451959) ditandai dengan visi untuk pembangunan karakter bangsa (nation building). Sedang pada masa demokrasi terpimpin (1959‑1965/66) keberadaan pers mahasiswa sarat dengan pergolakan ideologi politik diantara para pelakunya. Hal ini disebabkan pada masa demokrasi terpimpin ini, pemerintah mengharuskan semua media untuk membawa aspirasi politik tertentu. Media bebas tidak mendapat tempat. Banyak pers mahasiswa yang mati akibat kondisi politik demikian ini. Meskipun demikian, pers mahasiswa yang masih hidup bersama-sama meneguhkan satu sikap untuk tetap menjadi pembawa suara mahasiswa di seluruh Indonesia. Pers mahasiswa bukanlah pers partisan. Bagaimana dengan kondisi pers mahasiswa pada masa Demokrasi Orde Baru (paska 1966)?<br />
<br />
Kehidupan pers mahasiswa di awal Orde Baru sangat dinamis. Mereka menikmati kebebasan pers sepenuhnya. Sampai dengan tahun 1971/74, pers mahasiswa hidup di luar lingkungan kampus. Artinya, kehidupan mereka benar‑benar tergantung pada kemampuan mereka untuk dibeli oleh masyarakat di luar kampus. Setidaknya hal itu bisa dilihat pada "Mahasiswa Indonesia", "Harian KAMI", ataupun "Mimbar Demokrasi". Periode 1971/74 hingga 1980‑an, pers mahasiswa berada di kampus kembali. Hal itu tidak bisa dilepaskan dari keadaan sistem politik waktu itu yang mulai melakukan kontrol ketat atas pers mahasiswa. Pers mahasiswa yang terbit di luar kampus menjadi pers umum. Sedang pers mahasiswa yang berada di kampus diberi bantuan secara finansial oleh universitas untuk mendukung kehidupannya. Pers mahasiswa pun mulai tergantung pada pihak universitas. Seiring dengan ketergantungan itu, visi mereka pun mulai mengalami perubahan.<br />
<br />
Visi pers mahasiswa pada masa demokrasi orde baru ini mengalami keterbelahan. Di satu sisi, mereka yang hidup di luar kampus tetap dengan semangat kontrol sosialnya sebagai idealisme perjuangan mereka. Sementara pers mahasiswa yang hidup di kampus lebih menonjolkan semangat jurnalismenya. Kontrol sosial tidak begitu dominan dalam mendorong eksistensinya. Pers mahasiswa, menjadi apa yang oleh Nugroho Notosusanto disebut sebagai community press sebagaimana hidup di negara‑negara yang sudah maju. Pers mahasiswa hanya untuk melayani komunitas mereka saja, yaitu dari, oleh, dan untuk mahasiswa. Fungsi mahasiswa sebagai pelaksana aksi sosio‑kebudayaan ataupun perjuangan politik sebagaimana telah dilakukan oleh para aktivis "Mahasiswa Indonesia" (dalam Raillon,1989) kini hanya tinggal mitos belaka. Betulkah demikian halnya? Bagaimana dengan pers mahasiswa di masa reformasi sekarang ini?<br />
<br />
Tumbangnya orde baru digantikan oleh orde reformasi, dipenuhi dengan harapan-harapan idealistis akan makin bersihnya tatanan kehidupan sosial politik kita dengan nilai‑nilai konstruktif untuk membangun peradaban bangsa yang jauh dari nilai‑nilai koruptif, kolutif, maupun nepotif. Realitanya, krisis ekonomi telah menghancurkan kehidupan bangsa. Sekarang ini bangsa Indonesia masuk dalam kategori sebagai bangsa pengemis di dunia. Sebuah bangsa yang untuk menopang kehidupannya harus mengandalkan dari belas kasihan bangsa lain, apakah itu melalui,forum IMF, bank dunia, ataupun CGI. Kita makin terpuruk karena krisis ekonomi tersebut diperparah oleh krisis politik dan krisis hukum. Lengkap sudah kehancuran kita sebagai sebuah bangsa. Inikah buah gerakan reformasi yang dimotori oleh mahasiswa itu?<br />
<br />
Setiap perjuangan pasti akan menimbulkan dampak. Pandangan optirnis kita mengatakan, barangkali kondisi demikian ini memang satu fase yang harus kita lalui untuk menuju pada kehidupan sosial yang lebih baik nantinya. Dalam proses reformatif ini, harus diakui peran pers mahasiswa ternyata masih cukup menonjol. Pada awal‑awal kejatuhan rejim orde baru, peran pers mahasiswa sangat terasa. Melalui apa yang mereka sebut sebagai newsletter, para aktivis pers mahasiswa di Jakarta melalui "Bergerak", Yogyakarta melalui, "Gugat" ataupun kota‑kota besar lainnya mengadakan liputan jumalistik mengenai berbagai aksi mahasiswa untuk menggulingkan rejim orde baru. Kegiatan mereka terlihat kompak, karena antara satu kota dengan kota yang lainnya terjalin kontak melalui media internet.<br />
<br />
Diantara mereka saling berkirim kabar mengenai berbagai aktivitas mahasiswa di kota mereka masing-masing. Visi jurnalistik mereka untuk memberikan liputan yang memenuhi kaidah-kaidah jurnalisme tertentu diramu dengan visi idealistik mereka untuk melakukan kontrol sosial telah melahirkan suatu bentuk media perjuangan baru: newsletter perjuangan. Berbeda dengan pamflet yang hanya berisi ajakan provokatif untuk melakukan aksi massa tertentu, media ini selain menampilkan hal‑hal yang bersifat provokatif, juga memunculkan hal‑hal yang bersifat informatif, misalnya agenda aksi.<br />
<br />
Kehidupan pers mahasiswa dewasa ini memang tidak jauh dari visi jurnalistik. Para pengelola pers mahasiswa sekarang ini lebih concern dengan hal‑hal yang berhubungan aspek jurnalistik dibanding aspek idealistik. Hal ini sangat bisa dimaklumi mengingat semangat profesionalisme merupakan satu nilai dominan di masa depan. Aktif di lembaga semacam pers mahasiswa merupakan satu peluang penting untuk mempelajari satu profesi tertentu yaitu dunia kewartawanan pada khususnya dan dunia tulis‑menulis pada umumnya. Apapun latar belakang pendidikan para pengelola pers mahasiswa, setelah mereka lulus nanti, mereka telah mempunyai satu profesi tertentu untuk digeluti lebih lanjut. Terlebih sekarang ini telah terjadi booming media massa, baik cetak ataupun elektronika. Profesi sebagai jurnalis terbuka lebar bagi mereka yang berkiprah di lembaga pers mahasiswa.<br />
<br />
Selain sebagai jurnalis, aktivitas mereka dalam pengelolaan pers mahasiswa telah turut memberilkan kontribusi penting bagi tumbuh kembangnya civil society di indonesia. Salah satu konsekuensi yang timbul dari era reformasi ini adalah makin berkembangnya suatu ruang publik(public sphere) bagi munculnya dialog argumentatif nilai‑nilai yang saling bertentangan. Peran strategis pers mahasiswa di masa mendatang ditunjukkan dengan kemampuannya untuk menciptakan wilayah publik yang makin bebas (the free public sphere) dari dominasi negara ini. Sebagaimana ditekankan oleh Habermas (dalam Cohen dan Arato, 1992; Hardiman, 1993), perkembangan civil society sangat ditentukan oleh ‑sampai sejauh mana publik memiliki wilayah yang bebas dari dominasi negara.<br />
<br />
Dengan teori tindakan komunikatif‑nya (communicative action) Habermas menyatakan, bahwa dalam komunikasi yang bebas dari dominasi, para partisipan ingin membuat lawan bicaranya memahami maksudnya dengan berusaha mencapai apa yang disebutnya sebagai 'klaim‑klaim kesahihan' (validity claims). Klaim‑klaim inilah ‑kebenaran(truth), ketepatan (rightness), kejujuran (sincerety), dan komprehensibilitas(comprehensibility)‑ yang dipandang rasional dan akan diterima tanpa paksaan sebagai hasil konsensus.<br />
<br />
Masyarakat komunikatif sebagai masyarakat ideal yang dicita‑citakan oleh Habermas bukanlah masyarakat yang melakukan kritik lewat revolusi dengan ' kekerasan', melainkan lewat argumentasi. Pers adalah salah satu lembaga yang bisa mewujudkan keinginan Habermas tersebut, karena melalui pers‑lah kritik bisa dilakukan tanpa kekerasan fisik, tapi melalui argumentasi yang rasional diantara para partisipan komunikasi yang terlibat di dalamnya. Klaim‑klaim kesahihan dalam tindak komunikatif tersebut tercermin dalam kode etik jurnalistilk pers yang di dalamnya berisi berbagai ketentuan profesionalitas yang harus dipatuhi oleh segenap insan pers.<br />
<br />
Civil society disini dimaksudkan sebagai wilayah‑wilayah kehidupan sosiai yang terorganisasi dan bercirikan, antara lain oleh kesukarelaan (voluntaty), keswasembadaan (self‑generating), dan keswadayaan (self‑supporting). kemandirian tinggi berhadapan dengan negara dan keterikatan dengan norma‑norma atau nilai‑nilai hukum yang diikuti oleh warganya (Tocqueville dalam Hikam, 1996). Sebagai sebuah ruang publik, civil society adalah suatu wilayah yang menjamin, berlangsungnya perilaku, tindakan dan refleksi mandiri, tidak terkungkung oleh kondisi kehidupan material, dan tidak terserap di dalam jaringan‑jaringan kelembagaan politik resmi. Di dalamnya tersirat pentingnyai suatu ruang publik yang bebas (the public sphere), tempat dimana transaksi komunikasi yang bebas bisa dilakukan oleh warga masyarakat.<br />
<br />
Melalui pers berbagai lembaga kemasyarakatan (civil society) yang ada, apakah itu LSM, organisasi kemasyarakatan, organisasi keagamaan, ataupun berbagai kelompok kepentingan lain yang ada di masyarakat bisa melakukan dialog ideologis secara konstruktif dan bebas dari dominasi negara (penguasa). Apabila dialog ideologis konstruktif tanpa perilaku represif dari penguasa bisa berjalan dengan baik melalui pers, kemungkinan tumbuhnya civil society yang diharapkan bisa menjadi motor penggerak demokrasi dalam sistem sosial kemasyarakatan kita, bukan lagi utopi.<br />
<br />
Sebagai salah satu bentuk khusus dari lembaga pers, pers mahasiswa juga mempunyai peluang besar untuk membantu terciptanya suatu ruang publik yang bebas bagi terjadinya dialog idiologis diantara berbagai kepentingan politis yang ada di lingkungan mahasiswa sendiri. Mengapa tidak? Dengan kebebasan yang dimilikinya, pers mahasiswa bisa secara optimal melakukan berbagai fungsi sosiologis ataupun ideologisnya. Hal ini disebabkan pers mahasiswa mempunyai peran penting dalam mensosialisasikan nilai‑nilai tertentu di masyarakatnya. Hal itu tampak dari fungsi yang dijalankannya, yaitu sebagai alat untuk pengawasan lingkungan (surveillance of the environment), menghubungkan bagian-bagian dalam masyarakat (correlation of the parts of society), transmisi warisan sosial (transmission of the social heritage), dan hiburan (entertainment) (De Fleur dan Dennis, 1985:157; Shoemaker dan Reese, 1991: 24‑25). Dalam konteks Indonesia, semua jenis pers diharapkan menjalankan fungsi sebagai media untuk informasi, hiburan, pendidikan, meyakinkan, dan kontrol sosial (Assegaff, 1985; Mappatoto, 1992).<br />
<br />
Diantara berbagai fungsi ini, fungsi pengawasan (kontrol sosial) dan transmisi (sosialisasi dan edukasi) merupakan fungsi yang mempunyai posisi strategis dan menunjukkan kekuatan media massa dalam mempengaruhi khalayaknya (masyarakat). Hal ini disebabkan melalui fungsi pengawasan, media dapat melakukan kritik terhadap berbagai bentuk penyimpangan yang terjadi di masyarakat, apakah itu dilakukan oleh penguasa maupun oleh rakyat biasa. Sedang melalui fungsi transmisi ini media dapat mewariskan suatu norma‑norma ataupun nilai‑nilai tertentu pada masyarakat. Konsekuensi dari kedua fungsi tersebut, menjadikan media massa bisa menjalankan suatu peran ideologis tertentu dengan menampilkan nilai‑nilai dominan tertentu sehingga menjadi nilai yang hegemonik dan menjadi tuntunan perilaku anggota masyarakat yang ada.<br />
<br />
Menurut Lull (1998), penyajian berulang‑ulang domain ideologi yang didukung secara fanatik terus‑menerus mendefinisikan atau "menunjukkan" budaya, khususnya untuk orang-orang yang amat terekspos dengan media. Karena media sering menginterpretasikan dan mensintesiskan citra‑citra sesuai dengan asumsi‑asumsi dari ideologi dominan, maka media amat mempengaruhi cara orang memahami ciri masyarakat mereka, bahkan yang paling dasar sekalipun. Hal ini mencakup tingkat kekerasan masyarakat, komposisi dan peranan rasial dan gender, harapan‑harapan sehubungan dengan pekerjaan, dan alternatif‑altematif politik.<br />
<br />
Peran ideologis yang dijalankan oleh media tersebut ditunjukkan dengan kernampuannya untuk menjadi pembentuk agenda masyarakat sebagaimana ditunjukkan dalam teori agenda setting media (McQuail dan Windahl, 1984; Liftlejohn, 1996; Severein dan Tankard, 1997). Dalarn era reformasi peran ideologis untuk menentukan agenda publik ini menjadi sangat terasa keampuhannya. Dengan kemampuannya sebagai gate keeperpers mahasiswa bisa menciptakan agenda media (media agenda) yang nanti akan mempengaruhi agenda publik (public agenda) dan pada gilirannya nanti akan mempengaruhi agenda kebijakan (policy agenda).<br />
<br />
Pengaruh yang ditimbulkan oleh media melalui kemampuanya menciptakan agenda publik dan agenda kebijakan ini bisa dibedakan menjadi tiga macam, yaitu representasi (publik bisa menciptakan pengaruh tertentu pada media), persistensi (pemeliharaan agenda yang sama oleh publik). Relasi kekuasaan antara media dengan sumbernya bisa berwujud dalam bentuk perimbangan kekuatan diantara keduanya. Apabila diantara media dengan sumbernya sama-sama mempunyai kekuatan yang besar, akan terjadi perjuangan untuk saling berebut pengaruh. Hal ini terjadi apabila diantara keduanya tidak terjadi kesesuaian ideologi tertentu. Namun apabila mereka mempunyai kesamaan ideologi, pengaruh keduanya akan sangat besar pada publik. Pengaruh yang sama tidak akan ditemui apabila kekuatan antara media dengan sumbernya tidak berimbang, misal salah satu pihak lebih dominan atau keduanya sama-sama dominan. Dalam kasus terakhir, pengaruh publik lah yang akan terasa.<br />
<br />
Keberhasilan pers mahasiswa dalam membantu menumbuhkembangkan civil society di Indonesia akan dapat berhasil dengan baik apabila ia mampu menampilkan dirinya sebagai pers mahasiswa yang benar-benar mampu memenuhi validitas kesahihannya Habermas . Artinya pers mahasiswa harus mampu tampil secara profesional sebagaimana pers umum. Tanpa profesionalitas itu, pers mahasiswa memang hanya akan menjadi laboratorium jurnalistik belaka.<br />
<br />
Disampaikan pada acara Seminar Pers Nasional 'Quo Vadis Pers Mahasiswa" dalam rangka Ulang Tahun Koran Kampus Manunggal Universitas Diponegoro ke-19 dan pertemuan pertama forum komunikasi pers mahasiswa Indonesia pada tanggal 21 Oktober 2000 bertempat di Auditorium Undip Jl. Imam Bardjo, S.H. No. 1 Semarang<br />
------------------------------------------------<br />
Oleh. Sunarto, redaktur kanal kampus Detik.Com Jakarta, mantan pemimpin umum MM Balairung UGM<br />
--------------------------------------------------------</div>
Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3487622107129209275.post-63040069392975541542020-07-14T08:30:00.005-07:002020-07-14T08:30:42.800-07:00Pers (Kampus) Mahasiswa<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
TIDAKLAH berlebihan bila dalam rangka memperingati Hari Pers Nasional 1995 kita juga melakukan refleksi atas kehidupan pers mahasiswa dewasa ini. Mengingat, pers mahasiswanya juga menjadi bagian dari pers nasional yang kontribusinya dalam sejarah pers di Indonesia tidaklah sedikit. Perkembangan yang sehat dalam kehidupan pers mahasiswa tentu punya manfaat positif bagi pers umum di Indonesia.<br />
<br />
<br />
<a name='more'></a>Pers mahasiswa memang berbeda dengan pers umum. Pers mahasiswa merupakan pers yang swadaya dan memiliki komunitas pembaca yang eksklusif, yakni masyarakat kampus. Kelangsungan penerbitannya bergantung pada kerelaan mahasiswa itu sendiri, baik dana maupun tenaga, yang sekaligus juga konsumennya. Maka pers mahasiswa tidak perlu pusing-pusing berebut iklan maupun pasar pembaca.<br />
<br />
Namun demikian, pers mahasiswa juga menghadapi masalah non-teknis yang kurang lebih sama dengan pers umum. Kalau pers umum sering mengeluh akibat kontrol melalui lembaga SIUPP, begitu pula pers mahasiswa tidak memiliki kedudukan yang kuat. Sejarah pers mahasiswa di Indonesia juga diwarnai oleh peristiwa-peristiwa pembredelan sebagaimana pers umum.<br />
<br />
Terakhir yang sempat saya catat adalah pembekuan Tabloit SAS menjelang tutup tahun 1994, sebuah tabloit mahasiswa di sebuah perguruan tinggi negeri di ujung timur Pulau Jawa, yang konon dinilai telah melakukan kesalahan politik" dalam kebijakan editorialnya.<br />
<br />
Hal itu menunjukkan bahwa pers mahasiswa pun merupakan institusi yang tidak netral. Ia tetap terikat oleh sistem sosial masyarakatnya. Namun justru di sinilah awal masalahnya. Kedudukan kampus di Indonesia belum mencerminkan tujuan filosofi dan fungsinya sebagai pengembangan intelektual dan sikap ilmiah serta agen perubahan sosial sebagaimana di negara-negara industri. Kedudukannya masih belum cukup strategis dibanding subsistem sosial lainnya.<br />
<br />
Fungsi perguruan tinggi sering kali menghadapi benturan-benturan bila dihadapkan dengan struktur politik kekuasaan. Terdapat tarik-menarik kepentingan yang cukup transparan antara sifat pendidikan yang dinamis dan sifat politik kekuasaan yang menonjolkan status quo.<br />
<br />
Kedudukan semacam itulah yang pada gilirannya mengakibatkan mahasiswa tidak lagi bebas mengekspresikan atributnya sebagai intelektual muda, seperti sifat kritis, dinamis, kegairahan untuk mengubah segala sesuatu yang dipandang usang, dan sebagainya.<br />
<br />
Dengan perkataan lain, kesempatan untuk mengembangkan pemikiran yang hipotetis, dialektis dan penuh alternatif makin tereduksi. Pers mahasiswa sekarang hidup di tengah-tengah lingkungan masyarakat semacam itu. Dan sistem ini pula yang selalu muncul sebagai persoalan pokok setiap kali para aktivis pers kampus bertanya tentang kebijakan editorial penerbitannya.<br />
***<br />
<br />
DIAKUI, pers mahasiswa telah melegenda sebagai bagian sejarah pers di Indonesia. Ia juga telah melahirkan "nama besar", baik yang berupa tokoh maupun peran-perannya dalam proses perubahan sosial. Dan, semua itu terjadi dalam konteks historis sistem sosial yang memang memberi tempat bagi sejumlah mahasiswa untuk ikut menafsirkan gejala sosial yang melingkupinya.<br />
<br />
Diakui maupun tidak, pers mahasiswa dengan sejumlah "nama besar" yang pernah diukirnya telah menjadi mitos di kalangan aktivis "penerbitan kampus mahasiswa" (sebuah istilah resmi untuk mengganti istilah "pers mahasiswa") dewasa ini. Namun ada pula sisi positifnya, dan dari sinilah sebenarnya proses pergulatan baru untuk mengartikulasikan "jatidiri" editorialnya di tengah sistem sosial yang baru menemukan relevansi yang sesungguhnya.<br />
<br />
Apa arti dari pernyataan di atas? Pertama-tama saya sebenarnya tertarik untuk mempertanyakan apakah bukan sesuatu yang "ahistoris" menyamakan antara "pers mahasiswa" dan "penerbitan kampus mahasiswa"? Masing-masing memiliki karakteristik yang terbentuk oleh nuansa struktural zaman. Ada kekuatan yang melembaga (juga melembaga di lembaga perguruan tinggi), yang pada gilirannya telah mengubur idealisme pers mahasiswa dan lantas mengonstruksi konsep penerbitan mahasiswa.<br />
<br />
Kekuatan itu dalam bentuknya yang simbolik berupa pikiran-pikiran formulaik (meminjam istilah Prof Teeuw), yang cirinya adalah antikritik. Pikiran formulaik cukup diulang-ulang saja tanpa mengambil jarak dalam rangka mengujinya secara kritis.<br />
<br />
Dominasi pikiran formulaik inilah yang telah mereduksi idealisme pers mahasiswa menjadi "sekadar" penerbitan kampus mahasiswa. Formula-formula bakunya telah tersedia melalui wacana resmi dan penerbitan mahasiswa tinggal mengulang-ulang saja dengan jalan merakit formula-formula itu. Dengan demikian, kemampuan jurnalistik mahasiswa dewasa ini diam-diam diarahkan "sekadar" sebagai kemampuan merakit formula-formula yang telah tersedia, analog dengan peran pendongeng dalam tradisi sastra lisan.<br />
<br />
Oleh karena itu, sungguh sebuah malapetaka jika pers kampus mengalami reduksi semacam itu. Mengapa? Pemikiran formulaik dengan jelas telah mengabaikan pilar-pilar ilmiah yang harus dijunjung tinggi oleh masyarakat kampus itu sendiri. Apa pun pengetahuan dan informasi, di tangan orang kampus seharusnya diterima secara hipotetis dan bukannya dimutlakkan. Gagasan maupun konsep harus diuji secara ketat untuk membuktikan kredibilitas dan kebenaran obyektifnya.<br />
<br />
Dengan menerimanya secara hipotetis, sebenarnya tidak ada alasan bagi kalangan kampus untuk "riskan" terhadap gagasan apa pun dan dari mana pun. Dengan demikian, bukannya sikap reaksioner yang tumbuh di kalangan kampus, melainkan sikap kritis-independen berdasarkan etika ilmiah.<br />
<br />
Visi demikian inilah yang seharusnya terurai dalam pers kampus, yang sekaligus merupakan "warna" yang membedakannya dengan pers umum. Suatu gagasan atau pandangan yang tidak mungkin bagi pers umum<br />
<br />
justru jadi mungkin bagi pers kampus, karena sifat hipotetis masyarakat kampus tadi. Dengan begitu, boleh jadi tampilan pers kampus dapat dipakai sebagai pembanding atau bahkan rujukan bagi pers umum. Dan bila visi demikian yang terurai, bukan mustahil, dari penerbitan kampus akan lahir genre baru jurnalisme Indonesia, sesuatu yang sangat penting dalam konteks pengembangan jurnalistik di Indonesia.<br />
<br />
Tapi adakah kesanggupan di kalangan aktivis pers kampus dan berniat menjadikan alternatif, ketika format penerbitan telah bergaya formulaik, yang boleh jadi lebih berganda-ganda daripada pers umum? Padahal format dan gaya formulaik ini yang tampaknya lebih disukai oleh para petinggi kampus, yang disadari atau tidak, akan cenderung merepresentasikan kepentingan ideologi kekuasaan.<br />
***<br />
<br />
ITULAH sebabnya, saya menangkap adanya ironi dari perubahan tersebut. Dan hal ini tampak dari makin surutnya dinamika pers kampus, di samping kebingungan para aktivisnya dalam mengarahkan kebijakan editorialnya. Tapi untuk kembali pada gaya pers mahasiswa tempo dulu yang relatif bebas dari pemikiran formulaik agaknya juga sulit. Seperti diuraikan di atas, sistem sosial terutama sejak NKK/BKK dan diberlakukannya peraturan-peraturan baru di bidang pers, telah membatasinya.<br />
<br />
Oleh sebab itu, pers kampus saat ini memang harus membangun jatidirinya yang baru sesuai dengan lingkungannya yang baru. Jatidiri pers mahasiswa tempo dulu sebagai pembanding memang diperlukan, namun pers kampus sekarang tidak harus memaksakan diri. Kita punya alasan untuk itu, karena memang nuansa sejarah juga berbeda.<br />
<br />
Dalam konteks ini tugas para aktivis pers kampus adalah mengeksplorasi secara konstruktif kemungkinan-kemungkinan baru yang punya makna baru bagi pers kampus itu sendiri untuk mengembangkan visi intelektual dan sikap ilmiahnya. Para aktivis pers kampus harus sadar dengan gaya formulaik yang menjadi "arus" kuat dalam perkembangan pers dewasa ini, karena bisa menjauhkannya dari sifat-sifat hipotetis dan dialektis masyarakat kampus.<br />
<br />
Dalam arti ini para aktivis pers kampus harus berani melakukan lompatan-lompatan eksperimen dalam mengimplementasikan kebijakan editorialnya dan mengolah informasi yang disajikannya. Dan yang terpenting dalam hemat saya, bahwa para aktivis harus kritis sepenuhnya terhadap pergulatan kepentingan yang terjadi pada tataran simbolik.<br />
<br />
Hanya dengan demikian pers kampus dapat berkembang untuk secara terus-menerus menghidup-hidupkan dan mendialogkan ide-ide dan nilai-nilai yang tumbuh di masyarakat. Dan dalam pengertian ini pers kampus dimungkinkan berperan sebagai lembaga masyarakat yang turut menyebarkan dan membudayakan nilai-nilai serta kebajikan kultural yang sering disebut civil society.<br />
<br />
Dapatkah dan beranikah pers (kampus) mahasiswa dewasa ini mengembangkan pola pikir yang lugas, kritis dan menghindar dari retorika formulaik yang sarat beban ideologis? Di sinilah ketangguhan para aktivis pers kampus untuk melakukan pergulatan yang intensif dan sungguh-sungguh, ditantang.<br />
<br />
Andang Subaharianto, Dosen Mata Kuliah Jurnalistik pada Fakultas Sastra, Universitas Negeri Jember</div>
Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3487622107129209275.post-30076649511902307942020-07-14T08:27:00.002-07:002020-07-14T08:27:41.412-07:00Penerbitan Kampus: Cagar Alam Kebebasan Pers<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
Salah satu dari serentetan tindakan pertama, rezim Zia Ul Haq setelah, menggulingkan pemerintahan Ali Bhutto adalah memulihkan kebebasan pers Pakistan. Sensor pers dicabut. Namun dalam hari-hari pertama "kebebasan", para pengasuh suratkabar kebingungan. Dalam dirinya sebenamya sejak lama telah musnah kriteria tentang apa yang boleh dan tidak boleh disebarluaskan dalam surat kabamya. Sensor diri selama ini telah begitu kuat tertanam. Tetapi dengan kebebasan yang diberi, para pengasuh terpaksa membiarkan konflik, keraguan serta pilihan-pilihan sulit membayangi dirinya. Dan mereka tidak tahu lagi mau diapakan kebebasannya.<br />
<br />
<br />
<a name='more'></a>Peristiwa 15 Januari 1974 sampai sekarang masih merupakan tonggak terakhir bagi aksi mahasiswa yang lepas bebas. Setelah itu buat jangka waktu hampir selama dua tahun yang ada adalah kesepian politik mahasiswa. Sebuah surat keputusan menteri pendidikan yang lebih terkenal dengan SK 028 telah melarang kegiatan mahasiswa di luar kampus universitas. Semua kegiatan di luar kampus harus sepengetahuan dan seizin rektor universitas atau perguruan tinggi masing-masing. Akhirnya surat keputusan tersebut dicabut kembali oleh sebuah surat keputusan yang lain.<br />
<br />
Kaskopkamtib mengumumkan bahwa mahasiswa boleh berbuat apa saja asal tetap terbatas di dalam dinding-dinding kampusnya. Adakah pengaruhnya bagi penerbitan mahasiswa? Studi kasus ini mencoba mengamati apa arti semuanya bagi penerbitan mahasiswa atau dunia penerbitan kampus.<br />
<br />
Penerbitan kampus<br />
Tidak terlalu jelas sejak kapan bertumbuhnya pers kampus di Indonesia. Tapi satu hal cukup pasti yaitu bahwa dia hadir hampir dalam setiap universitas atau perguruan tinggi. Menyoroti pers kampus tentu saja kita akan memperbincangkan semua media massa yang diterbitkan di dalam sebuah kampus universitas atau perguruan tinggi, terlepas dari apapun bentuk, isi serta tujuan penerbitan masing-masing. Apakah dia diterbitkan para dosen atau mahasiswa. Apakah dia menjadi media resmi sebuah universitas atau perguruan tinggi atau bukan. Sebuah pengamatan sederhana segera membedakan 2 jenis penerbitan yang kini berkembang di kampus-kampus universitas atau perguruan tinggi. Jenis penerbitan yang pertama adalah penerbitan khusus. Di sana dimuat materi-materi khusus. Biasanya pembahasan-pembahasannya adalah konsumsi para spesialis. Di sana dimuat uraian serta analisa masalah-masalah khusus. Dalam hubungan ini bisa ditampilkan beberapa nama: Aesculapius, majalah kedokteran Universitas Indonesia Jakarta, Equilibrium,majalah ekonomi Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, Sigma Pi Gama, majalah ilmu-ilmu sosial dan politik Fakultas Sosial dan Politik UGM, Scientiae, majalah sains dan tekhnology (sic). Sudah pasti masih ada sederetan nama-nama lain lagi. Spesialisasi penerbitan-penerbitan seperti ini sudah sangat jelas melihat namanya saja. Orang-orang awam hampir tidak lagi memahami apa makna nama-nama tersebut. Nama-namanya aneh, semuanya dalam bahasa asing, Latin, dan Yunani. Semuanya memberikan konotasi teknis dari bidang ilmunya masing-masing. Bukan saja bahasanya yang asing tetapi isinya juga kadang-kadang asing bagi mereka yang berada di luar lingkungannya. Tetapi tulisan ini tidak membahasnya secara terperinci.<br />
<br />
Di samping majalah-majalah khusus ilmiah ada sejumlah penerbitan kampus dengan tujuan merangkul massa pembaca yang lebihluas. Mereka berusaha menembusi dinding-dinding fakultas serta dinding-dinding, spesialisasi yang terlampau ketat. Penerbitan jenis ini bisa saja dibandingkan dengan harian, mingguan umum yang diterbitkan di luar kampus-kampus perguruan tinggi. Mereka memilih nama yang senantiasa diusahakan untuk lebih akrab dengan dunia universitasnya. Misalnya, "Suratkabar ini diberi nama Salemba sebagai hasil rapat penasehat ahli, rektor dan para pengasuh. Nama ini diajukan berdasarkan romantisme, bahwa peranan kamipus UI yang pada awalnya terletak di Salemba telah memberikan catatan-catatan penting bagi perjuangan bangsa Indonesia. Romantisme juang yang historis itu rasanya perlu diabadikan". (Sebuah salam perkenalan, induk karangan Salemba, Salemba. No. 1, 1976.)<br />
<br />
Demikianlah dipilih nama Salemba, sebuah penerbitan mahasiswa Universitas Indonesia, Jakarta. Dengan alasan yang bermacam-macam tetapi dengan tujuan yang hampir serupa nama-nama berikut ini dipilih: Gelora Mahasiswa, Universitas Gajah Mada, Mimbar Universitas Brawidjaja, Malang, Kampus ITB, Identitas, Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang.<br />
<br />
Hampir tidak bisa dijumpai catatan resmi tentang jumJah yang tepat dari penerbitan mahasiswa atau penerbitan kampus pada umumnya. Namun sangat bisa diduga bahwa jumlah penerbitan kampus adalah sebanyak jumlah perguruan tinggi, serta sejumIah fakultas-fakultas dalam setiap perguruan tinggi yang ada. Setiap fakultas, malah kadang-kadang setiap departemen atau jurusan akan mencoba menjalankan penerbitannya sendiri.<br />
<br />
Dengan kehadirannya pers kampus ingin memainkan peranan yang lebih berarti. Tetapi masalahnya di mana mereka mencari peranan tersebut? Di dalam kampus atau di luar kampus? Kampus dipergunakan sebagai tempat untuk melancarkan ekspansi ke luar (kampus) ataukah hanyalah masalah kampus yang akan menarik perhatian mereka dalam karya jurnalistiknya? Ataukah sebenarya mereka hanya secara reaktif memberikan tangapan kepada peristiwa-peristiwa nasional, terhadap peristiwa-peristiwa di dalam mana mereka juga diharapkan turut terlibat? Pertanyaan-pertanyaan inilah yang dicoba untuk dijawab.<br />
<br />
Di banyak negara kekuatan mahasiswa senantiasa diagung-agungkan. Dan juga sikap semacam ini bukannya tidak berdasar. Dengan semboyan kebebasan kampus, kebebasan mimbar, kampus-kampus Universitas bisa berbuat apa saja yang kadang-kadmig tanpa risiko atau dengan sangat yakin mereka tidak memperhitungkan risiko. Malah ada yang mengatakan bahwa:<br />
<br />
A campus, like church is a privileged sanctuary. It can hide criminals or revolutionaries without threat of police intervention and arrest ... Only rarely do law enforcement officials risk intruding in a university city to catch a crook".("Student Press Plays Active Role in Foreign Countries", dalam: New-Register-Wheeling, W-VaSunday, December 14.1975 hal. 4.)<br />
<br />
Kampus seperti gereja adalah misbah suci yang memegang hak-hak istimewa. Dia bisa menjadi tempat umpetan, Kaum revolusioner tanpa ancaman campurtangan atau ditangkap polisi ... Hanya kadang-kadang saja para penegak hukum berani masuk kampus universitas untuk meringkus gembong penjahat.<br />
<br />
Tetapi bagaimanakah semuanya ini tercermin dalam lingkungan penerbitan mereka? Berbeda dengan penerbitan-penerbitan umum, kebanyakan penerbit kampus adalah dwimingguan, atau bulanan. Karena kesibukan kegiatan mereka yang utama yaitu belajar, hampir tidaklah dapat diharapkan bahwa mereka akan menerbitkan koran-koran berita aktuil untuk menyaingi penerbitan di luar kampus. Karena itu mereka harus memilih jenis jurnalisme tersendiri. Tapi yang manakah? Pers mahasiswa mungkin tidak secara bersengaja berusaha mengembangkan gaya jurnalsitik yang khas milik mereka.<br />
<br />
Tetapi justru di situ dia jadi menarik karena semua tingkahlaku jurnalistiknya adalah perjuangan dirinya. Kenyataan tingkahlaku jurnalistik ini menarik untuk diteliti. Dimanakah letak persamaan antara sesuatu penerbitan mahasiswa dengan penerbitan mahasiswa lainnya? Ataukah semua pers mahasiswa seragam? Ataukah ada perbedaan yang menyolok antara pers mahasiswa? Di manakah letak persamaan dan perbedaan tersebut?<br />
<br />
Pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas hanyalah muncul bilamana ada suatu ethos pers mahasiswa yang berbeda dengan ethos pers umum atau berbeda dari satu kampus ke kampus yang lain. Di mana perbedaan tersebut?<br />
<br />
Akan tetapi dalam hal inipun perlu diperhatikan perbedaan satu universitas dengan universitas lain. Dan perbedaan inipun sangat mudah difahami karena perbedaan lingkungan universitas atau lembaga perguruan tinggi yang satu dengan lain. Dan juga menyangkut perbedaan antara status perguruan tinggi yang satu dengan status perguruan tinggi yang lain. Dalam hal ini apakah ada perbedaan antara tingkahlaku jurnalistik Universitas dan IKIP. Apakah ada perbedaan antara universitas atau perguruan tinggi negeri dengan perguruan tinggi swasta? Ataukah ada perbedaan antara universitas atau perguruan tinggi yang berkedudukan di pusat dan di daerah? Sayang, kekurangan waktu tidak memungkinkan penelitian untuk menjawab, beberapa pertanyaan terakhir ini. Tetapi Untuk menjawab beberapa pertanyaan terdahulu, maka dibuat suatu studi kasus. Dan untuk itu diambil beberapa penerbitan berikut ini. Salemba, penerbitan mahasiswa Universitas Indonesia; Gelora Mahasisiwa, penerbitan Dewan Mahasiswa Universitas Gajah Mada; Derap Mahasiswa, penerbitan Dewan Mahasiswa IKIP Negeri Jogyakarta. Saya memilih majalah-majalah di atas selama tahun penerbitan 1976-1977. Dan dari semua rubrik yang ada dipilih beberapa rubrik yang diduga menjadi titik pusat suatu karya jurnalistik. Artinya rubrik-rubrik tersebut digarap dengan cukup teliti. Dia diangkat dari beberapa macam tawaran ganti (alternatif-alternatif) dalam topik dan masalah. Dengan demikian rubrik-rubrik tersebut akan mengungkapkan persepsi, dan sikap penerbitan-penerbitan tersebut. Dalam hal ini dipilih Berita Utama. <br />
<br />
Apa yang diambil sebagai berita utama adalah hal-hal yang dianggap sangat berarti dibandingkan dengan peristiwa lain dalam suatu jangka waktu tertentu. Peristiwa-peristiwa manakah yang dianggap sangat berarti bagi suatu penerbitan mahaswa? Dan apakah mungkin bagi kita melihat di dalamnya warna atau sikap jurnalistik mereka dan dalam hubungan itu sikap sosial dan politiknya terhadap suatu peristiwa tertentu? Hal serupa akan cukup jelas ternyata di dalam rubrik tajuk rencana. Pojok diduga berhubungan erat dengan ethos jurnalistik. Akan tetapi dalam sampel yang dipilih tulisan pojok terlalu bervariasi dan menyulitkan penggolongannya (klasifikasi). Salemba misalnya hanya menulis satu atau dua. Sedangkan Gelora Mahasiswa dan Derap Mahasiwa terlalu banyak tulisan pojoknya. Dengan alasan itu pojok tidak dimasukkan dalam analisa. Dan akhirnya suatu cetusan lain yang lebih sophisticated adalah cetusan kritik yang akan terungkap dalam karikatur-karikatur. Khusus untuk karikatur dalarn sampel yang dipilih hanya Gelora Mahasiswa dan Salemba yang secara teratur diselenggarakan. Simbol yang dipakai sebagai ekspresi karikatural sangat berguna untuk mempelajari sikap politik suatu penerbitan. <br />
<br />
Ethos pers mahasiswa<br />
Dibandingkan dengan tahun 1977 maka. dalam tahun 1976 kelihatannya tidak terlalu banyak terjadi peristiwa-peristiwa "besar" dalam panggung politik nasional. Sedangkan dalam tahun 1977 cukup banyak terjadi peristiwa-peristiwa nasional yang penting seperti persiapan kampanye, kampanye itu sendiri, pemilihan umum serta peristiwa-peristiwa post pemilihan umum, yang merupakan jalinan reaksi-reaksi keras dan lembut terhadap hasil pemilihan umum, pelantikan DPR/MPR hasil pemilihan umum. Sejauh manakah peristiwaperistiwa tersebut menarik perhatian penerbitan pers mahasiswa? Apakah reaksinya? Jalinan persepsi dan sikap mereka inilah yang bisa kita sebut ethos pers mahasiswa. Ini berarti bahwa dalam diri mereka telah ada suatu disposisi psiko-politis tertentu yang siap memberikan reaksi ke arahyang tertentu pula. Semuanya telah membudaya dalam dirinya. Sehingga apa yang dibuatnya bukanlah suatu kebetulan. <br />
<br />
Ada beberapa hal yang sebenarnya sangat menarik perhatian mahasiswa dan penerbitan mahasiswa. Yang terutama sebenarnya tentu saja masalah pendidikan. Dalam hal ini masalah kampus dan masalah yang menyangkut sistem pendidikan universitas atau perguruan tinggi. Kalau sekiranya mereka merasa bahwa pendidikan adalah suatu hal vang penting dan juga menjadi urusan mereka, maka dengan sendirinya masslah pendidikan akan menjadi titik pusat permasalahan yang dikaji dalam kegiatan-kegiatan jurnalistiknya atau mereka akan mengarahkan orientasinya kepada masalah-masalah ekonomi, kebudayaan atau politik. Yang dimaksudkan dengan politik di sini adalah sebagai berikut. Bisa dipakai dua kriteria untuk menentukan apakah suatu berita atau ulasan termasuk politik atau bukan-politik. Dia bisa berarti setiap tulisan yang berorientasi kepada kekuasaan atau yang berorientasi kepada proses pembuatan kebijaksanaan, yang dalam hal ini dilakukan oleh pemerintah. Dia bisa dalam bentuk kritik, dukungan, saran atau apa saja. <br />
<br />
Tabel I <br />
<table align="left" bgcolor="#FF9900" border="1" cellpadding="4" cellspacing="0" style="height: 151px; width: 93%px;"><tbody>
<tr><td align="left" height="1" nowrap="" valign="top" width="16%"><span style="font-family: Verdana; font-size: xx-small;">Media</span></td><td align="center" height="1" nowrap="" valign="top" width="16%"><span style="font-family: Verdana; font-size: xx-small;">N Politik</span></td><td align="center" height="1" nowrap="" valign="top" width="17%"><span style="font-family: Verdana; font-size: xx-small;">N Pendidikan</span></td><td align="center" height="1" nowrap="" valign="top" width="17%"><span style="font-family: Verdana; font-size: xx-small;">% Politik</span></td><td align="center" height="1" nowrap="" valign="top" width="17%"><span style="font-family: Verdana; font-size: xx-small;">%Pendidikan</span></td></tr>
<tr><td align="left" height="28" nowrap="" valign="top" width="16%"><span style="font-family: Verdana;"><span style="font-size: xx-small;">Gelora Mahasiswa(1976)</span></span></td><td align="center" height="28" nowrap="" valign="top" width="16%"><span style="font-family: Verdana;"><span style="font-size: xx-small;">2</span></span></td><td align="center" height="28" nowrap="" valign="top" width="17%"><span style="font-family: Verdana;"><span style="font-size: xx-small;">5</span></span></td><td align="center" height="28" nowrap="" valign="top" width="17%"><span style="font-family: Verdana;"><span style="font-size: xx-small;">29</span></span></td><td align="center" height="28" nowrap="" valign="top" width="17%"><span style="font-family: Verdana;"><span style="font-size: xx-small;">71<o:p> </o:p></span></span></td></tr>
<tr><td align="left" height="21" nowrap="" valign="top" width="16%"><span style="font-family: Verdana;"><span style="font-size: xx-small;">Gelora Mahasiswa(1977)</span></span></td><td align="center" height="21" nowrap="" valign="top" width="16%"><span style="font-family: Verdana;"><span style="font-size: xx-small;">3</span></span></td><td align="center" height="21" nowrap="" valign="top" width="17%"><span style="font-family: Verdana;"><span style="font-size: xx-small;">2</span></span></td><td align="center" height="21" nowrap="" valign="top" width="17%"><span style="font-family: Verdana;"><span style="font-size: xx-small;">60</span></span></td><td align="center" height="21" nowrap="" valign="top" width="17%"><span style="font-family: Verdana;"><span style="font-size: xx-small;">40<o:p> </o:p></span></span></td></tr>
<tr><td align="left" height="21" nowrap="" valign="top" width="16%"><span style="font-family: Verdana;"><span style="font-size: xx-small;">Salemba(1976)</span></span></td><td align="center" height="21" nowrap="" valign="top" width="16%"><span style="font-family: Verdana;"><span style="font-size: xx-small;">5</span></span></td><td align="center" height="21" nowrap="" valign="top" width="17%"><span style="font-family: Verdana;"><span style="font-size: xx-small;">9</span></span></td><td align="center" height="21" nowrap="" valign="top" width="17%"><span style="font-family: Verdana;"><span style="font-size: xx-small;">36</span></span></td><td align="center" height="21" nowrap="" valign="top" width="17%"><span style="font-family: Verdana;"><span style="font-size: xx-small;">64<o:p> </o:p></span></span></td></tr>
<tr><td align="left" height="21" nowrap="" valign="top" width="16%"><span style="font-family: Verdana;"><span style="font-size: xx-small;">Salemba(1977)</span></span></td><td align="center" height="21" nowrap="" valign="top" width="16%"><span style="font-family: Verdana;"><span style="font-size: xx-small;">12</span></span></td><td align="center" height="21" nowrap="" valign="top" width="17%"><span style="font-family: Verdana;"><span style="font-size: xx-small;">2</span></span></td><td align="center" height="21" nowrap="" valign="top" width="17%"><span style="font-family: Verdana;"><span style="font-size: xx-small;">86</span></span></td><td align="center" height="21" nowrap="" valign="top" width="17%"><span style="font-family: Verdana;"><span style="font-size: xx-small;">14<o:p> </o:p></span></span></td></tr>
<tr><td align="left" height="21" nowrap="" valign="top" width="16%"><span style="font-family: Verdana;"><span style="font-size: xx-small;">Derap Mahasiswa(1976)</span></span></td><td align="center" height="21" nowrap="" valign="top" width="16%"><span style="font-family: Verdana;"><span style="font-size: xx-small;">1</span></span></td><td align="center" height="21" nowrap="" valign="top" width="17%"><span style="font-family: Verdana;"><span style="font-size: xx-small;">9</span></span></td><td align="center" height="21" nowrap="" valign="top" width="17%"><span style="font-family: Verdana;"><span style="font-size: xx-small;">10</span></span></td><td align="center" height="21" nowrap="" valign="top" width="17%"><span style="font-family: Verdana;"><span style="font-size: xx-small;">90</span></span></td></tr>
<tr><td align="left" height="1" nowrap="" valign="top" width="16%"><span style="font-family: Verdana;"><span style="font-size: xx-small;">Derap Mahasiswa(1977)</span></span></td><td align="center" height="1" nowrap="" valign="top" width="16%"><span style="font-family: Verdana;"><span style="font-size: xx-small;">1</span></span></td><td align="center" height="1" nowrap="" valign="top" width="17%"><span style="font-family: Verdana;"><span style="font-size: xx-small;">5</span></span></td><td align="center" height="1" nowrap="" valign="top" width="17%"><span style="font-family: Verdana;"><span style="font-size: xx-small;">16 </span></span></td><td align="center" height="1" nowrap="" valign="top" width="17%"><span style="font-family: Verdana;"><span style="font-size: xx-small;">84<o:p> </o:p></span></span></td></tr>
</tbody></table>
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Dalam Tabel I kelihatannya dalam tahun 1976 sebagian terbesar dari porsi berita utama diberikan kepada masalah pendidikan. Gelora Mahasiswa menyiapkan 71% dari berita utamanya bagi masalah pendidikan dan 29% bagi masalah politik. Sedangkan hal yang sama juga terjadi dengan Salemba 64% diberikan kepada pendidikan dan 36% diberikan kepada masalah-masalah politik. Dan agaknya menarik untuk melihat bahwa Derap Mahasiswa yang diterbitkan oleh IKIP Negeri Yogyakarta menyediakan porsi sangat besar bagi masalah pendidikan. 90% dari berita utamanya di tahun 1976 membahas soal-soal pendidikan. Hanya 10% saja yang diberikan kepada masalah politik. Hal yang sama terjadi lagi dengan tahun 1977 di mana rata-rata terjadi cukup banyak peristiwa-peristiwa nasional yang penting. 84% dari porsi berita utamanya diberikan kepada masalah pendidikan yang berarti kepada masalah masalah intern kampusnya. Dalam hubungan itu bisa dibaca judul-judul beritanya seperti: <br />
* Banjir pendaftar di IKIP Yogyakarta. <br />
* Plonco-plonco: antara bentakan dan rayuan <br />
* Bubarkan saja LKM jika otoritasnya tidak diakui.<br />
Dan hanya 16% disediakan bagi masalah-masalah nasional. Sedangkan kedua penerbitan Universitas: Salemba dan Gelora Mahasiswa dalam tahun 1977 seolah-olah membalikkan arah penerbitannya. 60% dari porsi berita Gelora Mahasiswa diberikan bagi masalah-masalah politik. Sedangkan 40% diberikan kepada masalah-masalah pendidikan.<br />
<br />
Tabel 2<br />
<table align="left" border="1" bordercolor="#000000" cellpadding="4" cellspacing="0" style="background-color: #ffcc99; height: 151px; width: 91%px;"><tbody>
<tr><td align="left" bgcolor="#FF9900" height="1" nowrap="" valign="top" width="16%"><span style="font-family: Verdana; font-size: xx-small;">Media</span></td><td align="center" bgcolor="#FF9900" height="1" nowrap="" valign="top" width="16%"><span style="font-family: Verdana; font-size: xx-small;">N Politik</span></td><td align="center" bgcolor="#FF9900" height="1" nowrap="" valign="top" width="17%"><span style="font-family: Verdana; font-size: xx-small;">N Pendidikan</span></td><td align="center" bgcolor="#FF9900" height="1" nowrap="" valign="top" width="17%"><span style="font-family: Verdana; font-size: xx-small;">% Politik</span></td><td align="center" bgcolor="#FF9900" height="1" nowrap="" valign="top" width="17%"><span style="font-family: Verdana; font-size: xx-small;">%Pendidikan</span></td></tr>
<tr><td align="left" bgcolor="#FF9900" height="28" nowrap="" valign="top" width="16%"><span style="font-family: Verdana;"><span style="font-size: xx-small;">Gelora Mahasiswa(1976)</span></span></td><td align="center" bgcolor="#FF9900" height="28" nowrap="" valign="top" width="16%"><span style="font-family: Verdana;"><span style="font-size: xx-small;">2</span></span></td><td align="center" bgcolor="#FF9900" height="28" nowrap="" valign="top" width="17%"><span style="font-family: Verdana;"><span style="font-size: xx-small;">5</span></span></td><td align="center" bgcolor="#FF9900" height="28" nowrap="" valign="top" width="17%"><span style="font-family: Verdana;"><span style="font-size: xx-small;">29</span></span></td><td align="center" bgcolor="#FF9900" height="28" nowrap="" valign="top" width="17%"><span style="font-family: Verdana;"><span style="font-size: xx-small;">71<o:p> </o:p></span></span></td></tr>
<tr><td align="left" bgcolor="#FF9900" height="21" nowrap="" valign="top" width="16%"><span style="font-family: Verdana;"><span style="font-size: xx-small;">Gelora Mahasiswa(1977)</span></span></td><td align="center" bgcolor="#FF9900" height="21" nowrap="" valign="top" width="16%"><span style="font-family: Verdana;"><span style="font-size: xx-small;">3</span></span></td><td align="center" bgcolor="#FF9900" height="21" nowrap="" valign="top" width="17%"><span style="font-family: Verdana;"><span style="font-size: xx-small;">2</span></span></td><td align="center" bgcolor="#FF9900" height="21" nowrap="" valign="top" width="17%"><span style="font-family: Verdana;"><span style="font-size: xx-small;">60</span></span></td><td align="center" bgcolor="#FF9900" height="21" nowrap="" valign="top" width="17%"><span style="font-family: Verdana;"><span style="font-size: xx-small;">40<o:p> </o:p></span></span></td></tr>
<tr><td align="left" bgcolor="#FF9900" height="21" nowrap="" valign="top" width="16%"><span style="font-family: Verdana;"><span style="font-size: xx-small;">Salemba(1976)</span></span></td><td align="center" bgcolor="#FF9900" height="21" nowrap="" valign="top" width="16%"><span style="font-family: Verdana;"><span style="font-size: x-small;">12</span></span></td><td align="center" bgcolor="#FF9900" height="21" nowrap="" valign="top" width="17%"><span style="font-family: Verdana;"><span style="font-size: x-small;">17</span></span></td><td align="center" bgcolor="#FF9900" height="21" nowrap="" valign="top" width="17%"><span style="font-family: Verdana;"><span style="font-size: x-small;">41</span></span></td><td align="center" bgcolor="#FF9900" height="21" nowrap="" valign="top" width="17%"><span style="font-family: Verdana;"><span style="font-size: x-small;">59</span><span style="font-size: xx-small;"><o:p> </o:p></span></span></td></tr>
<tr><td align="left" bgcolor="#FF9900" height="21" nowrap="" valign="top" width="16%"><span style="font-family: Verdana;"><span style="font-size: xx-small;">Salemba(1977)</span></span></td><td align="center" bgcolor="#FF9900" height="21" nowrap="" valign="top" width="16%"><span style="font-family: Verdana;"><span style="font-size: x-small;">9</span></span></td><td align="center" bgcolor="#FF9900" height="21" nowrap="" valign="top" width="17%"><span style="font-family: Verdana;"><span style="font-size: x-small;">6</span></span></td><td align="center" bgcolor="#FF9900" height="21" nowrap="" valign="top" width="17%"><span style="font-family: Verdana;"><span style="font-size: x-small;">60</span></span></td><td align="center" bgcolor="#FF9900" height="21" nowrap="" valign="top" width="17%"><span style="font-family: Verdana;"><span style="font-size: x-small;">40<o:p></o:p></span><span style="font-size: xx-small;"><o:p> </o:p></span></span></td></tr>
<tr><td align="left" bgcolor="#FF9900" height="21" nowrap="" valign="top" width="16%"><span style="font-family: Verdana;"><span style="font-size: xx-small;">Derap Mahasiswa(1976)</span></span></td><td align="center" bgcolor="#FF9900" height="21" nowrap="" valign="top" width="16%"><span style="font-family: Verdana;"><span style="font-size: xx-small;">1</span></span></td><td align="center" bgcolor="#FF9900" height="21" nowrap="" valign="top" width="17%"><span style="font-family: Verdana;"><span style="font-size: x-small;">10</span></span></td><td align="center" bgcolor="#FF9900" height="21" nowrap="" valign="top" width="17%"><span style="font-family: Verdana;"><span style="font-size: x-small;">9</span></span></td><td align="center" bgcolor="#FF9900" height="21" nowrap="" valign="top" width="17%"><span style="font-family: Verdana;"><span style="font-size: x-small;">91</span></span></td></tr>
<tr><td align="left" bgcolor="#FF9900" height="1" nowrap="" valign="top" width="16%"><span style="font-family: Verdana;"><span style="font-size: xx-small;">Derap Mahasiswa(1977)</span></span></td><td align="center" bgcolor="#FF9900" height="1" nowrap="" valign="top" width="16%"><span style="font-family: Verdana;"><span style="font-size: xx-small;">1</span></span></td><td align="center" bgcolor="#FF9900" height="1" nowrap="" valign="top" width="17%"><span style="font-family: Verdana;"><span style="font-size: xx-small;">5</span></span></td><td align="center" bgcolor="#FF9900" height="1" nowrap="" valign="top" width="17%"><span style="font-family: Verdana;"><span style="font-size: x-small;">20</span><span style="font-size: xx-small;"> </span></span></td><td align="center" bgcolor="#FF9900" height="1" nowrap="" valign="top" width="17%"><span style="font-family: Verdana;"><span style="font-size: x-small;">80<o:p></o:p></span><span style="font-size: xx-small;"><o:p> </o:p></span></span></td></tr>
</tbody></table>
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Tabel 3<br />
<table align="left" border="1" bordercolor="#000000" cellpadding="4" cellspacing="0" style="background-color: #ffcc99; height: 151px; width: 93%px;"><tbody>
<tr><td align="left" bgcolor="#FF9900" height="1" nowrap="" valign="top" width="16%"><span style="font-family: Verdana; font-size: xx-small;">Media</span></td><td align="center" bgcolor="#FF9900" height="1" nowrap="" valign="top" width="16%"><span style="font-family: Verdana; font-size: xx-small;">N Politik</span></td><td align="center" bgcolor="#FF9900" height="1" nowrap="" valign="top" width="17%"><span style="font-family: Verdana; font-size: xx-small;">N Pendi</span><br />
<span style="font-family: Verdana; font-size: xx-small;">dikan</span></td><td align="center" bgcolor="#FF9900" height="1" nowrap="" valign="top" width="17%"><span style="font-family: Verdana; font-size: xx-small;">N</span> <span style="font-family: Verdana; font-size: xx-small;">Kebu</span><br />
<span style="font-family: Verdana; font-size: xx-small;">dayaan</span></td><td align="center" bgcolor="#FF9900" height="1" nowrap="" valign="top" width="17%"><span style="font-family: Verdana; font-size: xx-small;">% Politik</span></td><td align="center" bgcolor="#FF9900" height="1" nowrap="" valign="top" width="17%"><span style="font-family: Verdana; font-size: xx-small;">%Pendi</span><span style="font-family: Verdana; font-size: xx-small;">dikan</span></td><td align="center" bgcolor="#FF9900" height="1" nowrap="" valign="top" width="17%"><span style="font-family: Verdana; font-size: xx-small;">%Kebu</span><br />
<span style="font-family: Verdana; font-size: xx-small;">dayaan</span></td></tr>
<tr><td align="left" bgcolor="#FF9900" height="28" nowrap="" valign="top" width="16%"><span style="font-family: Verdana;"><span style="font-size: xx-small;">Gelora Mahasiswa(1976)</span></span></td><td align="center" bgcolor="#FF9900" height="28" nowrap="" valign="top" width="16%"><span style="font-family: Verdana;"><span style="font-size: xx-small;">2</span></span></td><td align="center" bgcolor="#FF9900" height="28" nowrap="" valign="top" width="17%"><span style="font-family: Verdana;"><span style="font-size: xx-small;">4</span></span></td><td align="center" bgcolor="#FF9900" height="28" nowrap="" valign="top" width="17%"><span style="font-size: xx-small;"><span style="font-family: Verdana;">1</span></span></td><td align="center" bgcolor="#FF9900" height="28" nowrap="" valign="top" width="17%"><span style="font-size: xx-small;">29</span></td><td align="center" bgcolor="#FF9900" height="28" nowrap="" valign="top" width="17%"><span style="font-family: Verdana;"><span style="font-size: xx-small;">57</span></span></td><td align="center" bgcolor="#FF9900" height="28" nowrap="" valign="top" width="17%"><span style="font-family: Verdana;"><span style="font-size: xx-small;">14<o:p> </o:p></span></span></td></tr>
<tr><td align="left" bgcolor="#FF9900" height="21" nowrap="" valign="top" width="16%"><span style="font-family: Verdana;"><span style="font-size: xx-small;">Gelora Mahasiswa(1977)</span></span></td><td align="center" bgcolor="#FF9900" height="21" nowrap="" valign="top" width="16%"><span style="font-family: Verdana;"><span style="font-size: xx-small;">5</span></span></td><td align="center" bgcolor="#FF9900" height="21" nowrap="" valign="top" width="17%"><span style="font-family: Verdana;"><span style="font-size: xx-small;">2</span></span></td><td align="center" bgcolor="#FF9900" height="21" nowrap="" valign="top" width="17%"><span style="font-size: xx-small;"><span style="font-family: Verdana;">-</span></span></td><td align="center" bgcolor="#FF9900" height="21" nowrap="" valign="top" width="17%"><span style="font-family: Verdana;"><span style="font-size: xx-small;">71</span></span></td><td align="center" bgcolor="#FF9900" height="21" nowrap="" valign="top" width="17%"><span style="font-family: Verdana;"><span style="font-size: xx-small;">29</span></span></td><td align="center" bgcolor="#FF9900" height="21" nowrap="" valign="top" width="17%"><span style="font-size: xx-small;"><span style="font-family: Verdana;">- </span></span></td></tr>
<tr><td align="left" bgcolor="#FF9900" height="21" nowrap="" valign="top" width="16%"><span style="font-family: Verdana; font-size: xx-small;">Salemba(1976)</span></td><td align="center" bgcolor="#FF9900" height="21" nowrap="" valign="top" width="16%"><span style="font-family: Verdana; font-size: xx-small;">-</span></td><td align="center" bgcolor="#FF9900" height="21" nowrap="" valign="top" width="17%"><span style="font-family: Verdana; font-size: xx-small;">10</span></td><td align="center" bgcolor="#FF9900" height="21" nowrap="" valign="top" width="17%"><span style="font-family: Verdana; font-size: xx-small;">-</span></td><td align="center" bgcolor="#FF9900" height="21" nowrap="" valign="top" width="17%"><span style="font-family: Verdana; font-size: xx-small;">-</span></td><td align="center" bgcolor="#FF9900" height="21" nowrap="" valign="top" width="17%"><span style="font-family: Verdana; font-size: xx-small;">100</span></td><td align="center" bgcolor="#FF9900" height="21" nowrap="" valign="top" width="17%"><span style="font-family: Verdana; font-size: xx-small;">- </span></td></tr>
<tr><td align="left" bgcolor="#FF9900" height="21" nowrap="" valign="top" width="16%"><span style="font-family: Verdana; font-size: xx-small;">Salemba(1977)</span></td><td align="center" bgcolor="#FF9900" height="21" nowrap="" valign="top" width="16%"><span style="font-family: Verdana; font-size: xx-small;">8</span></td><td align="center" bgcolor="#FF9900" height="21" nowrap="" valign="top" width="17%"><span style="font-family: Verdana; font-size: xx-small;">1</span></td><td align="center" bgcolor="#FF9900" height="21" nowrap="" valign="top" width="17%"><span style="font-family: Verdana; font-size: xx-small;">1</span></td><td align="center" bgcolor="#FF9900" height="21" nowrap="" valign="top" width="17%"><span style="font-family: Verdana; font-size: xx-small;">80</span></td><td align="center" bgcolor="#FF9900" height="21" nowrap="" valign="top" width="17%"><span style="font-family: Verdana; font-size: xx-small;">10</span></td><td align="center" bgcolor="#FF9900" height="21" nowrap="" valign="top" width="17%"><span style="font-family: Verdana; font-size: xx-small;">10<o:p><o:p> </o:p></o:p></span></td></tr>
</tbody></table>
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Yang menarik adalah bahwa Salemba memberikan 86% porsi berita utamanya bagi masalah politik. Hal yang sama terjadi lagi dalam rubrik tajuk rencana. 60% dari tajuk rencana di tahun 1976 diberikan kepada masalah pendidikan, 40% diberikan kepada masalah politik (Lihat Tabel 2). Demikianpun dengan Salemba 59% dari tajuk rencananya di tahun 1976 diberikannya kepada masalah pendidikan dan 41% diberikan buat masalah politik. Penerbitan IKIP Negeri Yogyakarta tetap Konsisten dengan apa yang telah dibuatnya dalam berita utama. 91% diberikannya kepada masalah pendidikan dan hanya 9% diberikan kepada masalah politik. Demikianpun dalam tahun 1977. 80% diberikan kepada masalah pendidikan sedangkan 20% diberikan kepada masalah politik. Mungkin karena cita-citanya menjadi guru seluruh perhatiannya ditumpahkan bagi masalah ‑masalah pendidikan. Hal yang juga menarik adalah karikatur yang diselenggarakan secara teratur oleh kedua penerbitan: Gelora Mahasiswa dan Salemba. 57% karikatur Gelora Mahasiswa di tahun 1976 adalah karikatur pendidikan, 29% karikatur politik, 14% karikatur kebudayaan (lihat Tabel 3). Sedangkan di tahun 1977, 71 % dari porsi karikatur Gelora Mahasiswa adalah karikatur politik. Dan 29% karkatur pendidikan. Dalam tahun 1976, 100% karikatur Salemba adalah karikatur pendidikan. Sedangkan 80% dari karikatur Salemba di tahun 1977 adalah karikatur politik dan 100% karikatur kebudayaan. Yang paling menarik perhatian adalah karikatur politik Salemba. Sebagian terbesar adalah karikatur tentang kebebasan atau sekurang-kurangnya bertemakan kebebasan. Dan kalau sekiranya sang karikaturis membayangkan kebebasan maka yang dibayangkan adalah kebebasan dari cengkeraman, kebebasan lembaga-lembaga demokrasi dari genggaman otoritas penguasa. Dan hampir semuanya dilukiskan dalam simbol-simbol yang hampir seragam. Penggenggam kebebasan digambarkan dalam simbol-simbol militer. Hampir semua simbol militer dipakai kalau sekiranya sang karikaturis ingin menyuarakan kebebasan. Di sana dengan gampang dilihat tampang serdadu kejam dengan gigi-gigi kokoh tajam atau bersenjata, serdadu dengan topi baja atau sejenisnya sedang melalap mangsa-mangsanya apakah itu pers, partai politik serta kekuatan-kekuatan politik lainnya yang ketakutan dengan mulut yang terkatup. Atau sepatu lars militer yang kokoh keras simbol stabilitas sedang menginjak-injak kebebasan. Atau seperti dalam penerbitan tanggal 15 Januari 1977 tampak seorang serdadu berbintang satu. Dalam gigi-geriginya yang tajam seperti gergaji sang serdadu tengah memamah kebebasan pers, demokrasi, kebebasan mimbar, kebebasan berserikat, kebebasan individu dan freedom and peace (sic.). <br />
<br />
Dari satu dua data yang telah dikemukakan di atas bisalah dilihat beberapa hal. Penerbitan-penerbitan mahasiswa menganggap bahwa luas jangkauan penerbitannya bukanlah cuma dinding-dinding perguruan tinggi. Mereka mencoba menembusi dinding universitas. Dan mereka bukanlah sebuah pulau terpisah dalam masyarakat secara keseluruhan. Namun kadang-kadang terasa ethos pers yang ditunjukkan penerbitan mahasiswa ini justru mencerminkan terpisahnya mereka dari dunia dan masyarakat pers sendiri. Mereka menyuarakan sesuatu yang rupanya sama sekali tidak mungkin terjadi di dalam pers umum. Dalam data yang dikemukakan di atas sangat menonjol sikap bebas mereka. Malah hampir-hampir bisa dikatakan suasana pers partisan sangat jelas dalam pers kampus mahasiswa. Ini berarti bahwa pemberitaan mereka, editorial mereka sebanarnya perlambang dari atau hanyalah cetusan-cetusan yang terpancar dari kerangka ideologi tertentu. Hampir-hampir bisa saja dikatakan bahwa berita yang ditonjolkan dipakai sekedar sebagai bukti pendukung ideologi mereka. Dalam kampus universitas telah berkembang apa yang disebut adversary journalism (jurnalisme penantang). Dan ini sangat berlaku bagi dunia universitas selain IKIP. Pers kampus adalah anjing penjaga yang mengintip peristiwa-peristiwa politik. Lantas melemparkannya kembali kepada masyarakat sambil menonjolkan segi-segi yang menantang dan segi-segi oposisi. Karena itu judul-judul berita utama atau laporan-laporan utamanya akan berbunyi: "Penguasa harus tahan diri" (Salemba, 15 Januari), "Perjuangan Orba semakin pudar," (Salemba, 15 Maret)," Benarkah DPR sekedar etalase Demokrasi" (Salemba, 16 Mei), "Mempermasalahkan Pemilihan Presidcn Rl" (Salemba, 5 juli), "Sistem Pemilu yang demokratis masih harus diperjuangkan" (Salemba, . . . ) 1977", "Kesempatan subumya komunisme terasa kembali, cita-cita kemerdekaan masih jauh dari kenyaataan" (Satemba, 15 Agustus).<br />
<br />
Dari judul-judul berita utama yang dikemukakan di atas ada satu dalam bentuk pertanyaan: Benarkah DPR sekedar etalase Demokrasi? Dan melihat tipe jurnalisme semacam ini jawabnya sudah bisa diduga: memang benar DPR yang kini hidup dan bekerja tidak lain daripada sekedar pajangan. Judul "Mempermasalahkan Pemilihan Presiden RI" tidak terlalu menjelaskan ethos pers penantang. Akan tetapi dalam isinya sudah bisa diduga bahwa pers jenis ini akan memberikan jawaban: mereka tidak puas dengan cara yang tengah berlangsung dan karena itu cara pemilihan presiden yang berlaku sekarang seharusnya dirubah. Judul-judul yang hampir serupa bisa dilihat dalam judul berita utama Gelora Mahasiswa: 'Tentu saja Golkar menang," (April 1977)," Exhibisionisme politik Indonesia," (Juli 1977), Politik naik Pitam. (Sept. 1977). Semuanya merupakan fakta yang cukup jeIas menunjukkan bahwa penerbitan mahasiswa adalah Journal of opinion, dan bukannya koran berita. Yang mereka tampilkan adalah pandangan ideologi mereka, sikap politik mereka.<br />
<br />
Ethos kebebasan sebagaimana dihayati oleh kedua penerbitan pers Universitas jelas memperlihatkan perbedaannya dengan IKIP. IKIP sengaja tidak mau melibatkannya dirinya dengan masalahmasalah sosial dan politik umum. Yang hidup dalam benaknya adalah dunia kampusnya, dunia pendidikannya.<br />
<br />
Dunianya adalah lingkungan yang terdekat secara fisik dengan dirinya. Yang dipersoalkan adalah masalah sepeda, masalah buku dan beberapa masalah ketidakberesan teknis di dalam lingkungan perguruan tingginya. Dari sini nyata benar bedanya dengan alam fikiran pendidikan universitas yang sifatnya nasional, global. Mereka berfikir dalam kerangak luas, makro, kosmopolitan, ekstrovert, dan kadang-kadang teoritis dan berbeda dengan IKIP introvert, praktis. Semangat anti otoritas sangat tampak dalampenerbitan-penerbitan mahasiswa universitas. Semangat anti otoritas tetap nampak baik terhadap otoritas di luar kampus maupun otoritas di dalam Kampus universitas. Hal ini tidak tampak dalam kalangan IKIP. <br />
<br />
Perbedaan lain antara IKIP dan universitas adalah tumbuhnya kepekaan sosial dan politik dalam pers mahasiswa universitas. Politik pemberitaan mereka senantiasa diusahakan untuk sejalan dengan peristiwa-peristiwa yang tejadi dalam dunia politik dan sosial umumnya. Sedangkan IKIP lebih sempit jangkauannya dan senantiasa melihat ke dalam. Tetapi aneh bagi penerbitan-penerbitan yang diteliti masalah ekonomi dan kebudayaan sama sekali tidak menarik perhatian mahasiswa. <br />
<br />
Alam fikiran dalam bahasa<br />
Performans bahasa ditentukan oleh keadaan sosial di mana penggnaan bahasa itu berlangsung. Pemakai bahasa akan memilih jenis-jenis kata tertentu yang solalu dipergunakan. Pemakaian kata kadang-kadang menyatakan siapa pemakainya, apakah keinginan sipemakai, apa cita-cita pemakai bahasa tertentu. Keseringan memakai suatu jenis bahasa atau pola pemakaian bahasa tertentu bisa dengan jelas menunjukkan kebudayaan apakah yang sedang berlangsung dalam suatu sistem sosial dan politik. Pemakaian singkatan-singkatan (akronim) dalam bahasa misalnya menunjukkan bahwa suatu masyarakat tertentu telah mengarah kepada suasana teknokratis, militeristis, atau mungkin juga menunjukkan bahwa suatu sistem masyarakat telah dijangkiti penyakit malas berfikir atau fikirannya singkat, berjangka pendek. Mereka hanya siap menerima sesuatu sebagaimana adanya. Gejala akronim menunjukkan kenyataan abridgement of thought, penyingkatan fikiran.<br />
<br />
Kebebasan pers-pers kampus Universitas di tahun 1960-an di Amerika dan Eropa misalnya, diungkapkan dalam kata-kata mesum yang dipakai dengan penuh kesengajaan untuk menyatakan keberangannya seperti: fuck, shit, bulshit. Kata-kata sejenis memberikan corak dan melilit benang merah dalam pemakaian bahasa jurnalistik mahasiswa. Pemakaian tersebut hanyalah untuk menunjukkan suatu disposisi psiko-politis. Mereka menolak sistem sosial politik yang lama. Memporakporandakan tata sopan santun lama. Mengingkari norma-norma lama. Menelanjangi kemunafikan kebudayaan lama dan menjejali halaman-halaman penerbitan kampusnya dengan kata serta ungkapan-ungkapan mesum yang membikin merah cuping telinga pembaca. <br />
<br />
Demikianlah ternyata bahwa pengaruh bahasa adalah langsung atas komunikasi sosial. Sama halnya dengan pemakaian bahasa dalam pers dan jurnalisme pada umumnya. Dalam hubungan ini maka setiap lapisan sosial akan mempergunakan bahasa sendiri yang disebut "bahasa lapisan". (Bandingkan Ulrich Kratz, "Bahasa dan Kontral Sosial," Prisma, Junil 1974. hal.73-74)<br />
<br />
Dengan dugaan tersebut saya mengundi dan memeilih(artinya saya mengambil majalah mahasiswa yang terambil) 3 buah majalah untuk setiap penerbitan: Salemba, Gelora Mahasiswa, Derap Mahasiswa. Dari situ saya mencoba memperhatikan bahasa yang dipakai mereka dalam mengemukakan buah fikirannya dalam editorial, sedangkan rubrik-rubrik yang lain saya tinggalkan. Rubrik ini dipilih karena di dalam suatu penerbitan rubrik tersebutlah yang paling asli dari pengasuh suatu majalah untuk mencerminkan alam fikirannya. Dia ditulis untuk mewakili opini majalahnya. Tentu saja saya sadar bahwa pemilihan jenis bahasa yang dipakai dalam editorial yang ditulis secara anonim sama sekali tidak bisa mewakili bahasa yang dipakai mahasiswa atau pers kampus pada umumnya. Akan tetapi di sini juga masalahnya. Pemilihan ini sendiri sudah memberikan kesulitan. Sudah cukup jelas bahwa editorial tersebut bukanlah ditulis oleh suatu kelompok, malah bukan oleh suatu team redaksi. Dengan demikian dia tidaklah mewakili jenis bahasa yang lazim dipakai mereka. <br />
<br />
Akan tetapi kalau sekiranya suatu jenis bahasa tertentu cukup sering dipakai berarti bahwa dia dibiarkan untuk dipakai dengah persetujuan diam-diam dari rekannya. Artinya mereka menerima kehadiran jenis bahasa semacam itu. Untuk keperluan ini saya memilih 3 kriteria yang dipilih berdasarkan kesan sesaat setelah membaca puluhan editorial. Pertama, kata-kata yang menyatakan konsep dasar dan fundamentil yang bisa dianggap mewakili isme-isme, pandangan-pandangan politik tertentu seperti komunisme, hak, moral, demokrasi dan seterusnya. Lantas kata-kata yang menyatakan keadaan, situasi, kondisi. Pemakaian kata-kata ini memberikan konotasi abstrak karena memang kata-kata tersebut adalah abstraksi dari seluruh peristiwa-peristiwa kongkrit dalam suatu keadaan tertentu. Dalam setiap bahasa akan berlainan pengungkapannya. Bahasa latin misalnya. Akan berakhir tas (hereditas, mentalitas), atau Inggeris dengan akhiran ty (mentality) dan seterusnya. Jenis bahasa seperti ini biasanya dipergunakan oleh mereka yang tingkat abstraksinya sudah tinggi; dengan demikian hanyalah dipergunakan oleh mereka yang terpelajar, ahli-ahli, filosof. Kata-kata yang sifatnya mendasar serta tingkat abstraksinya tinggi hampir serupa fungsinya. Dan hanya mereka dengan kadar intelektuil tertentu mampu mempergunakannya. Kedua, pemakaian kata-kata yang menyatakan suatu tuntutan ideal. Dia senantiasa menggambarkan suatu ideal type, atau kesempurnaan tingkah laku dari suatu keadaan tertentu. Untuk menyatakan bahwa seseorang senantiasa diliputi dengan alam fikiran ini atau selalu mau mengejar yang paling seimpurna orang senantiasa memakai kata-kata yang menunjukkan dos Sollen. Dengan demikian selalu dipakai kata: harus, seharusnya, mesti, semestinya, selayaknya dan seterusnya. Dia melambangkan alam fikiran yang normatif. Dia menuntut bahwa sesuatu harus memenuhi ukuran kesempurnaan tertinggi. Dan malah kadang-kadang tidak aneh bilamana yang dituntut adalah seekor burung gagak berwama putih! Ketiga, pemakaian pertanyaan: apa, apakah, bagaimana, di mana, sejauh mana, seberapa dan seterusnya. Pemakaian pertanyaan selalu menggambarkan jiwa yang selalu mencari, jiwa yang rnempersoalkan kenyataan karena sesorang tidak merasa puas bilaman suatu kenyataan selalu diterima sebagai adanya tanpa mempersoalkannya lebih lanjut. Dia melambangkan alam fikiran dialektis. Mereka bercita-cita terutama bagi problem posing. Mengajukasi masalah yang tepat dan bukannya secara acak-acakan menawarkan sebuah problem solving. Namun pertanyaan barulah berarti kalau diajukan dalam, konteks yang pantas. Dengan demikian ada benarnya bilamana dikatakan mengajukan pertanyaan yang benar berarti separuh masalah terpecahkan. <br />
<br />
Akan tetapi dalam pertanyaan juga terkandung kelemahan. Bilamana pertanyaan diajukan secara lepas, tergantung, dan tanpa keterlibatan total dalam suatu masalah, maka jiwa positif problem posing akan tergelincir menjadi kecengengan, dia menjadi tidak berdaya, hampa. Dia hanya menunjukkan bahwa orang yang bertanya sebenarnya tanpa kemampuan apapun; nasibnya diserahkan untuk dibereskan orang lain. Dalam istilah besarnya, pertanyaan-pertanyaan semacam ini tidak existensial, tercerabut dari akar-akar masalah yang ingin dipangkasnya. (Suatu analisa menarik yang erat hubungannya dengan hal ini bisa dibaca dalam tulisan Remy Silado tentang "Musik Pop Indonesia: Satu kebebalan Sang Mengapa". Pertanyaan mengapa yang lepas, hampa senantiasa membayangi musik Indonesia, (Prisma, Juni 1977)<br />
<br />
Sebuah kalimat adalah kumpulan konsep-konsep. Sebuah editorial adalah kumpulan kalimat-kalimat dan karena itu juga kumpulan konsep. Untuk mengemukakan konsep akan dipilih pemakaian kata atau pemakaian kalimat yang khas milik suatu jaringan sosial tertentu atau strata sosial tertentu. Karena itu kita mencoba mengamati language behaviour tingkah laku berbahasa dalam jurnalisme mahasiswa di sini. Berapakah frekwensi pemakaian bahasa tertentu? <br />
<br />
Kriteria yang dipakai untuk ini adalah sebagai berikut. Untuk menyatakan suatu konsep yang abstrak biasanya dipakai kata-kata berimbuhan ke-an, pe (ng)...an. Di sini kita harus berhati-hati dalam memilih. Kata-kata seperti pelabuhan sudah jelas menunjukkan tempat sehingga dia tidak bisa dipakai untuk dimasukkan ke dalam kategori ini. Demikianpun pengadilan (misalnya: dia dibawa ke pengadilan). Dengan pengecualian kata-kata seperti itu maka dikumpulkanlah induk karangan majalah mahasiswa tersebut. <br />
<br />
Setelah diundi saya memperoleh majalah-majalah berikut ini: Salemba; 5 Mei 1977, 5 Juli 1977, 1 Oktober 1977; Gelora Mahasiswa: April 1977, Juni 1977, Juli 1977; Derap Mahasiswa: 1 Desember 1976, April 1976, Agustus 1977. Klasifikasi hasilnya bisa dilihat pada Tabel 4.<br />
<br />
Tabel 4<br />
<table align="left" border="1" bordercolor="#000000" cellpadding="4" cellspacing="0" style="background-color: #ffcc99; height: 99px; width: 91%px;"><tbody>
<tr><td align="left" bgcolor="#FF9900" height="1" nowrap="" valign="top" width="16%"><span style="font-family: Verdana; font-size: xx-small;">Media</span></td><td align="center" bgcolor="#FF9900" height="1" nowrap="" valign="top" width="16%"><span style="font-family: Verdana; font-size: xx-small;">banyaknya </span><br />
<span style="font-family: Verdana; font-size: xx-small;">kalimat</span></td><td align="center" bgcolor="#FF9900" height="1" nowrap="" valign="top" width="17%"><span style="font-family: Verdana; font-size: xx-small;">abstraksi</span></td><td align="center" bgcolor="#FF9900" height="1" nowrap="" valign="top" width="17%"><span style="font-family: Verdana; font-size: xx-small;">persen</span><br />
<span style="font-family: Verdana; font-size: xx-small;">tase</span></td><td align="center" bgcolor="#FF9900" height="1" nowrap="" valign="top" width="17%"><span style="font-family: Verdana; font-size: xx-small;">ideal type</span></td><td align="center" bgcolor="#FF9900" height="1" nowrap="" valign="top" width="17%"><span style="font-family: Verdana; font-size: xx-small;">persentase</span></td><td align="center" bgcolor="#FF9900" height="1" nowrap="" valign="top" width="17%"><span style="font-family: Verdana; font-size: xx-small;">perta</span><br />
<span style="font-family: Verdana; font-size: xx-small;">nyaan</span></td><td align="center" bgcolor="#FF9900" height="1" nowrap="" valign="top" width="17%"><span style="font-family: Verdana; font-size: xx-small;">persentase</span></td></tr>
<tr><td align="left" bgcolor="#FF9900" height="17" nowrap="" valign="top" width="16%"><span style="font-family: Verdana; font-size: xx-small;">Salemba</span></td><td align="center" bgcolor="#FF9900" height="17" nowrap="" valign="top" width="16%"><span style="font-family: Verdana;"><span style="font-size: x-small;">99</span></span></td><td align="center" bgcolor="#FF9900" height="17" nowrap="" valign="top" width="17%"><span style="font-family: Verdana;"><span style="font-size: x-small;">71</span></span></td><td align="center" bgcolor="#FF9900" height="17" nowrap="" valign="top" width="17%"><span style="font-family: Verdana;"><span style="font-size: x-small;">72</span></span></td><td align="center" bgcolor="#FF9900" height="17" nowrap="" valign="top" width="17%"><span style="font-family: Verdana;"><span style="font-size: x-small;">3</span></span></td><td align="center" bgcolor="#FF9900" height="17" nowrap="" valign="top" width="17%"><span style="font-family: Verdana;"><span style="font-size: x-small;">3</span></span></td><td align="center" bgcolor="#FF9900" height="17" nowrap="" valign="top" width="17%"><span style="font-family: Verdana;"><span style="font-size: x-small;">17</span><span style="font-size: xx-small;"><o:p> </o:p></span></span></td><td align="center" bgcolor="#FF9900" height="17" nowrap="" valign="top" width="17%"><span style="font-family: Verdana;"><span style="font-size: x-small;">17<o:p></o:p></span></span></td></tr>
<tr><td align="left" bgcolor="#FF9900" height="1" nowrap="" valign="top" width="16%"><span style="font-family: Verdana; font-size: xx-small;">Derap</span></td><td align="center" bgcolor="#FF9900" height="1" nowrap="" valign="top" width="16%"><span style="font-family: Verdana;"><span style="font-size: x-small;">133</span></span></td><td align="center" bgcolor="#FF9900" height="1" nowrap="" valign="top" width="17%"><span style="font-family: Verdana;"><span style="font-size: x-small;">75</span></span></td><td align="center" bgcolor="#FF9900" height="1" nowrap="" valign="top" width="17%"><span style="font-family: Verdana;"><span style="font-size: x-small;">56</span></span></td><td align="center" bgcolor="#FF9900" height="1" nowrap="" valign="top" width="17%"><span style="font-family: Verdana; font-size: xx-small;">-</span></td><td align="center" bgcolor="#FF9900" height="1" nowrap="" valign="top" width="17%"><span style="font-family: Verdana; font-size: xx-small;">-</span></td><td align="center" bgcolor="#FF9900" height="1" nowrap="" valign="top" width="17%"><span style="font-family: Verdana; font-size: xx-small;">1</span></td><td align="center" bgcolor="#FF9900" height="1" nowrap="" valign="top" width="17%"><span style="font-family: Verdana; font-size: xx-small;">3</span></td></tr>
<tr><td align="left" bgcolor="#FF9900" height="11" nowrap="" valign="top" width="16%"><span style="font-family: Verdana; font-size: xx-small;">Gelora </span><br />
<span style="font-family: Verdana; font-size: xx-small;">Mahasiswa</span></td><td align="center" bgcolor="#FF9900" height="11" nowrap="" valign="top" width="16%"><span style="font-family: Verdana;"><span style="font-size: x-small;">136</span></span></td><td align="center" bgcolor="#FF9900" height="11" nowrap="" valign="top" width="17%"><span style="font-family: Verdana;"><span style="font-size: x-small;">65</span></span></td><td align="center" bgcolor="#FF9900" height="11" nowrap="" valign="top" width="17%"><span style="font-family: Verdana;"><span style="font-size: x-small;">48</span></span></td><td align="center" bgcolor="#FF9900" height="11" nowrap="" valign="top" width="17%"><span style="font-family: Verdana;"><span style="font-size: x-small;">11</span></span></td><td align="center" bgcolor="#FF9900" height="11" nowrap="" valign="top" width="17%"><span style="font-family: Verdana;"><span style="font-size: x-small;">8</span></span></td><td align="center" bgcolor="#FF9900" height="11" nowrap="" valign="top" width="17%"><span style="font-family: Verdana;"><span style="font-size: x-small;">8</span></span><span style="font-family: Verdana; font-size: xx-small;"> </span></td><td align="center" bgcolor="#FF9900" height="11" nowrap="" valign="top" width="17%"><span style="font-family: Verdana;"><span style="font-size: x-small;">6</span></span></td></tr>
</tbody></table>
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Dalam 3 editorial Salemba memakai 99 kalimat. Dan setelah dijumlahkan pemakaian konsep-konsep abstrak, kelihatan bahwa 71 kali konsep jenis itu dipakai. Ini berarti bahwa 72% dari seluruh editorial sarat dengan konsep-konsep abstrak. Melihat persentase yang disuguhkan bisalah dikatakan bahwa rata-rata dalam penerbitan mahasiswa dipergunakan bahasa-bahasa abstrak. Induk karangan Derap Mahasiswa mempergunaKan 56%. Dan Gelora Mahasiswa 48%. Di sana bisa saja terdapat pembauran konsep-konsep dasar filosofis. Sehingga satu editorial sarat dengan konsep-konsep yang jarang diberikan rumusan-rumusan operasional. Misalnya dalam editorial dengan mudah ditemukan: pertanyaan mendasar, nasib bangsa dan negara, keberanian moril, kejujuran diri, atau mengabstrakkan pengertian yang sebenarnya bukannya tidak mungkin dipakai kata kerja aktif biasa yang secara stilistis masih indah untuk dibaca. Dengan demikian akan dipakai ketidakfahaman, atau hubungan eksistensial antara pers dengan penyebab timbulnya kondisi obyektif atau "Laju perkembangan zaman yang kaya permasalahan yang serba kompleks, memerlukan kepekaan yang meningkat secara timbal balik". Atau tentang pers mahasiswa dikatakan dalam salah satu editorial" la sekarang tak lebih dari penerbitan yang hanya memenuhi syarat aktualis (sic.) "Publisitas "(sic.). Atau lagi Peningkatan Pemerataan Pendapatan dan seterusnya. Sebagaimana telah dikatakan di atas mungkin sekali ini menjadi bahasa khas milik mahasiswa. Dia hanya difahami oleh mereka sendiri atau oleh orang dengan kemampuan intelektuil setara dengan mereka. Dan menurut data yang diperoleh di atas, maka ternyata Salemba yang paling tinggi persentasenya dalam pemakaian ungkapan-ungkapan abstrak dan konsep-konsep abstrak. <br />
<br />
Di fihak lain Gelora Mahasiswa adalah yang terbanyak mempergunakan keharusan-keharusan. Sebagai contoh dalam satu editorial bisa saja diperoleh 12 keharusan yang diberikan kepada pers mahasiswa. Dan mungkin menarik untuk memaparkannya dalam suatu daftar (Tabel 5). <br />
<br />
Tabel 5 <br />
Gambaran Alam Pikiran Mahasiswa<br />
<table align="left" border="0" cellpadding="3" cellspacing="0" style="background-color: #ffcc99; height: 1063px; width: 97%px;"><tbody>
<tr><td bgcolor="#FF9900" height="41" width="41%"><div align="left" class="MsoNormal" style="line-height: 16px;">
<span style="font-family: Verdana; font-size: xx-small;">16 Konsep abstrak</span> <span style="font-family: Verdana; font-size: xx-small;">Selemba(5 Juli 1977)<o:p> </o:p></span></div>
</td><td bgcolor="#FF9900" height="41" width="36%"><span style="font-family: Verdana; font-size: xx-small;">12 Keharusan Gelora Mahasiswa (Juli 1977)<o:p> </o:p></span></td><td bgcolor="#FF9900" height="41" width="29%"><span style="font-family: Verdana; font-size: xx-small;">15 Pertanyaan Salemba(5 Juli 1977)<o:p> </o:p></span></td></tr>
<tr><td bgcolor="#FF9900" height="1010" valign="top" width="41%"><ol>
<li><div align="left" class="MsoNormal" style="text-indent: 1px;">
<span style="font-family: Verdana; font-size: xx-small;">Pertanyaan mendasar<o:p></o:p></span></div>
</li>
<li><div align="left" class="MsoNormal" style="text-indent: 1px;">
<span style="font-family: Verdana; font-size: xx-small;">Nasib bangsa dan negara<o:p></o:p></span></div>
</li>
<li><div align="left" class="MsoNormal" style="text-indent: 1px;">
<span style="font-family: Verdana; font-size: xx-small;">Perkembangan bangsa<o:p></o:p></span></div>
</li>
<li><div align="left" class="MsoNormal" style="text-indent: 1px;">
<span style="font-family: Verdana; font-size: xx-small;">Kehidupan bangsa<o:p></o:p></span></div>
</li>
<li><div align="left" class="MsoNormal" style="text-indent: 1px;">
<span style="font-family: Verdana; font-size: xx-small;">Kultur oposisi<o:p></o:p></span></div>
</li>
<li><div align="left" class="MsoNormal" style="text-indent: 1px;">
<span style="font-family: Verdana; font-size: xx-small;">Demokrasi liberal<o:p></o:p></span></div>
</li>
<li><div align="left" class="MsoNormal" style="text-indent: 1px;">
<span style="font-family: Verdana; font-size: xx-small;">Perjuangan mahasiswa<o:p></o:p></span></div>
</li>
<li><div align="left" class="MsoNormal" style="text-indent: 1px;">
<span style="font-family: Verdana; font-size: xx-small;">Persepsi<o:p></o:p></span></div>
</li>
<li><div align="left" class="MsoNormal" style="text-indent: 1px;">
<span style="font-family: Verdana; font-size: xx-small;">Kemampuan analisa<o:p></o:p></span></div>
</li>
<li><div align="left" class="MsoNormal" style="text-indent: 1px;">
<span style="font-family: Verdana; font-size: xx-small;">. Kejujuran diri<o:p></o:p></span></div>
</li>
<li><div align="left" class="MsoNormal" style="text-indent: 1px;">
<span style="font-family: Verdana; font-size: xx-small;">. Keberanian moril<o:p></o:p></span></div>
</li>
<li><div align="left" class="MsoNormal" style="text-indent: 1px;">
<span style="font-family: Verdana; font-size: xx-small;">. Membangun bangsa<o:p></o:p></span></div>
</li>
<li><div align="left" class="MsoNormal" style="text-indent: 1px;">
<span style="font-family: Verdana; font-size: xx-small;">. Menyimak pemberitaan<o:p></o:p></span></div>
</li>
<li><div align="left" class="MsoNormal" style="text-indent: 1px;">
<span style="font-family: Verdana; font-size: xx-small;">. Keterlibatan Bulog<o:p></o:p></span></div>
</li>
<li><div align="left" class="MsoNormal" style="text-indent: 1px;">
<span style="font-family: Verdana; font-size: xx-small;">. Kepincangan<o:p></o:p></span></div>
</li>
<li><div align="left" class="MsoNormal" style="text-indent: 1px;">
<span style="font-family: Verdana; font-size: xx-small;">. Kepekaan terhadap persoalan<o:p> </o:p></span></div>
</li>
</ol>
<div align="left" style="text-indent: 1px;">
<br /></div>
</td><td bgcolor="#FF9900" height="1010" valign="top" width="36%"><ol>
<li><div align="left" class="MsoNormal" style="text-indent: 1px;">
<span style="font-family: Verdana; font-size: xx-small;"><span style="font-variant-east-asian: normal; font-variant-numeric: normal;"> </span>…permasalahan tersebut bisa diaktualisir manakal kita mepertanyakan kembali fungsi yang seharusnya diduduki pers pada setiap zamannya<o:p></o:p></span></div>
</li>
<li><div align="left" class="MsoNormal" style="text-indent: 1px;">
<span style="font-family: Verdana; font-size: xx-small;"><span style="font-variant-east-asian: normal; font-variant-numeric: normal;"> </span>…perbandingan surat kabar dengan oplag harus dapat mencapai 1 surat kabar untuk 10 orang pembaca<o:p></o:p></span></div>
</li>
<li><div align="left" class="MsoNormal" style="text-indent: 1px;">
<span style="font-family: Verdana; font-size: xx-small;">Ia tertatih-tatih dalam debur tuntutan peran dan realita pahit yang harus disandang<o:p></o:p></span></div>
</li>
<li><div align="left" class="MsoNormal" style="text-indent: 1px;">
<span style="font-family: Verdana; font-size: xx-small;">Kebebasan pers yang seharusnya jadi landasan berpijak…<o:p></o:p></span></div>
</li>
<li><div align="left" class="MsoNormal" style="text-indent: 1px;">
<span style="font-family: Verdana; font-size: xx-small;">Seharusnyalah, kehadiran pers mahasiswa ini bisa menyulam beberapa celah tersebut<o:p></o:p></span></div>
</li>
<li><div align="left" class="MsoNormal" style="text-indent: 1px;">
<span style="font-family: Verdana; font-size: xx-small;">Secara kualitatif terlihat bahwa pers mahasisswa agaknya larut dalam terkubur bersama idealisme yang seharusnya selalu menopang missinya<o:p></o:p></span></div>
</li>
<li><div align="left" class="MsoNormal" style="text-indent: 1px;">
<span style="font-family: Verdana; font-size: xx-small;">Kalau kita melihat permasalahan tersebut adalah merupakan masalah yang urgen maka perbincangan tentang solidaritas pers mahasiswa menjadi "solid" konsep dasar solidaritas pers mahasiswa harus ditetapkan.<o:p></o:p></span></div>
</li>
<li><div align="left" class="MsoNormal" style="text-indent: 1px;">
<span style="font-family: Verdana; font-size: xx-small;">Untuk mencapai tujuan tersebut, agaknya perlu ditempuh berbagai keharusan yang perlu dilakukan oleh pers mahasiswa.<o:p></o:p></span></div>
</li>
<li><div align="left" class="MsoNormal" style="text-indent: 1px;">
<span style="font-family: Verdana; font-size: xx-small;">Diantaranya adalah, ia harus melaporkan, menjelaskan kejadian yang layak untuk diberitakan<o:p></o:p></span></div>
</li>
<li><div align="left" class="MsoNormal" style="text-indent: 1px;">
<span style="font-family: Verdana; font-size: xx-small;"> Ia harus eksist<o:p></o:p></span></div>
</li>
<li><div align="left" class="MsoNormal" style="text-indent: 1px;">
<span style="font-family: Verdana; font-size: xx-small;"> Ia harus mengabdi kepada tujuan-tujuan komunikasi massa.<o:p></o:p></span></div>
</li>
<li><div align="left" class="MsoNormal" style="text-indent: 1px;">
<span style="font-family: Verdana; font-size: xx-small;"> Kalau memang benar pemerintah memerlukan suatu sikap yang kritis dan peka dari mahasiswa untuk melapangkan tujuan menegara kita, maka kekuasaan politik yang bisa mencekik ruang hidup dan ruang partisipasi bagi pers mahasiswa harus dihilangkan.<o:p> </o:p></span></div>
</li>
</ol>
</td><td bgcolor="#FF9900" height="1010" valign="top" width="29%"><ol>
<li><div align="left" class="MsoNormal" style="text-indent: 1px;">
<span style="font-family: Verdana; font-size: xx-small;"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-variant-east-asian: normal; font-variant-numeric: normal;"> </span>–Hanya itukah perjuangan mahasiswa?<o:p></o:p></span></div>
</li>
<li><div align="left" class="MsoNormal" style="text-indent: 1px;">
<span style="font-family: Verdana; font-size: xx-small;"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-variant-east-asian: normal; font-variant-numeric: normal;"> </span>–Apa sebenarnya yang sedang terjadi di masyarakat kita?<o:p></o:p></span></div>
</li>
<li><div align="left" class="MsoNormal" style="text-indent: 1px;">
<span style="font-family: Verdana; font-size: xx-small;"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-variant-east-asian: normal; font-variant-numeric: normal;"> </span>–Dan apakah makna dari semua itu bagi perkembangan bangsa?<o:p></o:p></span></div>
</li>
<li><div align="left" class="MsoNormal" style="text-indent: 1px;">
<span style="font-family: Verdana; font-size: xx-small;"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-variant-east-asian: normal; font-variant-numeric: normal;"> </span>Benarkah kelompok Sawito cukup kuat untuk menggulingkan presiden Soeharto secara inkonstitusional?<o:p></o:p></span></div>
</li>
<li><div align="left" class="MsoNormal" style="text-indent: 1px;">
<span style="font-family: Verdana; font-size: xx-small;"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-variant-east-asian: normal; font-variant-numeric: normal;"> </span>–Benarkah yang dinamakan komando jihad itu memang ada?<o:p></o:p></span></div>
</li>
<li><div align="left" class="MsoNormal" style="text-indent: 1px;">
<span style="font-family: Verdana; font-size: xx-small;"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-variant-east-asian: normal; font-variant-numeric: normal;"> </span>–Benarkah mendapat dropping senjata dari luar negeri?<o:p></o:p></span></div>
</li>
<li><div align="left" class="MsoNormal" style="text-indent: 1px;">
<span style="font-family: Verdana; font-size: xx-small;"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-variant-east-asian: normal; font-variant-numeric: normal;"> </span>–Atau kesemuanya itu Cuma sekedar isyu untuk sesuatu tujuan politik tertentu saja dari penguasa?<o:p></o:p></span></div>
</li>
<li><div align="left" class="MsoNormal" style="text-indent: 1px;">
<span style="font-family: Verdana; font-size: xx-small;"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-variant-east-asian: normal; font-variant-numeric: normal;"> </span>Apakah peringatan terhadap "Kultur oposisi" tersebut ada kaitannya dengan kekuatan dengan keluarnya "petisi Dipo dan Bambang" baru-baru ini?<o:p></o:p></span></div>
</li>
<li><div align="left" class="MsoNormal" style="text-indent: 1px;">
<span style="font-family: Verdana; font-size: xx-small;"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-variant-east-asian: normal; font-variant-numeric: normal;"> </span>–Siapakah sebenarnya yang membakar "Proyek Senen" baru-baru ini?<o:p></o:p></span></div>
</li>
<li><div align="left" class="MsoNormal" style="text-indent: 1px;">
<span style="font-family: Verdana; font-size: xx-small;"><span style="font-family: "Times New Roman"; font-variant-east-asian: normal; font-variant-numeric: normal;"> </span>–Mahasiswakah atau orang-orang lain?…<o:p></o:p></span></div>
</li>
<li><div align="left" class="MsoNormal" style="text-indent: 1px;">
<span style="font-family: Verdana; font-size: xx-small;">.<span style="font-family: "Times New Roman"; font-variant-east-asian: normal; font-variant-numeric: normal;"> </span>–Kenapa cuma ketika masa "demam pemilu" saja mereka ikut-ikut "demam petisi dan protes"?<o:p></o:p></span></div>
</li>
<li><div align="left" class="MsoNormal" style="text-indent: 1px;">
<span style="font-family: Verdana; font-size: xx-small;">.<span style="font-family: "Times New Roman"; font-variant-east-asian: normal; font-variant-numeric: normal;"> </span>–Cuma sebegitu saja perjuangan mahasiswa, mengajukan petisi, lalu foto bersama pejabat, dan selesai?<o:p></o:p></span></div>
</li>
<li><div align="left" class="MsoNormal" style="text-indent: 1px;">
<span style="font-family: Verdana; font-size: xx-small;">.<span style="font-family: "Times New Roman"; font-variant-east-asian: normal; font-variant-numeric: normal;"> </span>–Kenapa ketika heboh terlibatnya Bulog menurut Pembela Budiaji, para tokoh mahasiswa berlagak Pilen?<o:p></o:p></span></div>
</li>
<li><div align="left" class="MsoNormal" style="text-indent: 1px;">
<span style="font-family: Verdana; font-size: xx-small;">.<span style="font-family: "Times New Roman"; font-variant-east-asian: normal; font-variant-numeric: normal;"> </span>–Kenapa menyaksikan berbagai kepincangan yang kait-mengkait sekarang ini mahasiswa bungkam?<o:p></o:p></span></div>
</li>
<li><div align="left" class="MsoNormal" style="text-indent: 1px;">
<span style="font-family: Verdana; font-size: xx-small;">.<span style="font-family: "Times New Roman"; font-variant-east-asian: normal; font-variant-numeric: normal;"> </span>–Kenapa…?<o:p> </o:p></span></div>
</li>
</ol>
</td></tr>
</tbody></table>
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
<br />
Dan Salemba juga paling banyak mengemukakan pertanyaan-pertanyaan. Namun pertanyaannya tidak lebih dari penjejalan masalah satu sama lain dan hampir tidak merupakan suatu kesatuan konteks. Mereka adalah pertanyaan lepas. Pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak lebih dari pada menyatakan bahwa mereka tidak berdaya. Hampa. <br />
<br />
Penutup<br />
Rasa terlibat para mahasiswa dengan masalah-masalsah sosial dan politik yang dihadapi masyarakat umum tidaklah meragukan. Sympathy, compassion selalu ada dalam diri mereka Tingginya kemampuan refleks jurnalistik mereka cukup jelas dalam pemilihan berita-berita utama, editorial, serta karikatur yang senantiasa diusahakan untuk sejalan dengan masalah masyarakat pada umumnya. Jurnalisme mahasiswa cukup konsekwen memanfaatkan kebebasan yang ada pada dirinya. Dia tidak terikat pada keadaan di mana kebebasan itu diberikan atau tidak diberikan. Tapi kebebasannya senantiasa dipakai. Kebingungan rekannya di Pakistan tidak menjangkitinya. Tapi kalau penemuan di atas bisa dipercayai maka kebebasan mereka, keberangan jurnalistik mereka adalah keberangan yang bersandarkan utopia dan alam fikiran normatif. Dalam umurnya yang muda kita berusaha memahami utopia yang membayangi dirinya. Tapi utopia yang dilukiskan dalam konsep-konsep besar semacam ini tak bisa berdiri sendiri kalau sekiranya tidak dibarengi oleh ketrampilan operasional. Memang tidaklah mengherankan kalau mereka mengembangkan karya jurnalisme penantang. Karenaitu juga tidak mengherankan kalau mereka cukup sering mengajukan fakta tapi lantas menonjolkan segi-segi yang negatif dan dibarengi sikap oposisionil untuk memancing reaksi. <br />
<br />
Tetapi adakah reaksi terhadapnva? Ataukah jenis jurnalisme seperti ini hanya menabrak dinding pekat? Kalau tujuannya adalsh otoritas apakah suaranya didengar oleh yang ditujukan? Tetapi bukannya tidak mungkin bahwa mereka menabrak "the obstinate audience" yang "seems actually to enjoy being hit and no change is perceptible".(Wilbur Schramm, "Mass Communication" dalam: Psychology & Communication, Forum Series, hal. 254.)<br />
<br />
Otoritas yang diserang menikmati kesenangan untuk dipukul tapi tetap bergembira untuk tidak melakukan apapun. Dan kalau begitu, suara keras pers amahsiswa dan keberangan pers mahasiswa adalah suara yang melengking di padang gurun. Atau kalau itulah yang bernama kebebasan pers, maka kebebasannya tak lebih dari kebebasan daalm sebuah cagar alam. Dan kalau begitu maka kampus universitas menjadi cagar alam kebebasan pers, yang sayang kalau dibuang karena dia enak dan mengasyikkan untuk ditonton!<br />
<br />
Daniel Dhakidae (Kepala Litbang Kompas)<br />
<br />
Prisma 10, Oktober 1977</div>
Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3487622107129209275.post-40187824341610159992020-07-14T08:16:00.004-07:002020-07-14T08:16:52.441-07:00Pembangunan, Perkembangan Pers, dan Media Massa Nasional<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
SETELAH Orde Baru semakin mengkonsolidasikan pembangunan di berbagai bidang kehidupan masyarakat, maka di bidang pembinaan pers juga semakin ditata secara lebih mantap dengan dihasilkannya undang-undang Nomor 21 Tahun 1982 yang merupakan penyempurnaan dan perubahan atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 1966 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers, sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1967.<br />
<br />
<br />
<a name='more'></a>Sebagai penajabarn lebih lanjut dikeluarkan pula Peraturan Menteri Penerangan RI Nomor 01/Per Menpen/1984 tentang Surat usaha izin Usaha Penerbitan Pers(SIUPP) sebagai peraturan pelaksanaan Undang-undang tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pers tersebut. Berbagai upaya melengkapi peraturan ini sebagai dasar pembinaan dan penataan pers nasional masih berlanjut sampai saat ini.<br />
<br />
Gambaran umum dari pertumbuhan dan perkembangan Pers Nasional dapat diketahui antara lain dari perkembangan jumlah penerbitan pers, tiras penerbitan pers yang semakin meningkat pula baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Demikian pula pemilikan percetakan pers oleh para penerbit surat kabar telah semakin meningkat jumlahnya.<br />
<br />
Bila pada awal Pelita V jumlah penerbitan pers sebanyak 263, maka pada tahun 1995 sudah mencapai sebanyak 287. Seluruh propinsi telah memiliki penerbitan pers dan hanya tiga propinsi yaitu propinsi Bengkulu, Nusa Tenggara dan Sulawesi Tenggara yang belum mempunyai surat kabar harian. Namun demikian Bengkulu dan Nusa Tenggara Barat telah mengadakan uji coba untuk menerbitkan surat kabar harian dan secara prinsip telah memungkinkan tumbuhnya masing-masing surat kabar harian tersebut.<br />
<br />
Tiras penerbtan pers bila pada awal Pelita V berjumlah 10.783.009 eksemplar setiap kali terbit, pada akhir Pelita V menjadi 12.730.721 eksemplar.<br />
<br />
Dalam rangka meningkatkan peranan pers nasional dalam pembangunan, diperlukan dukungan sumber daya manusia yang handal, yang didukung oleh peralatan canggih yang sesuai perkembangan teknologi khususnya teknologi komunikasi.<br />
<br />
Untuk dapat mengimbangi dinamika dan tuntutan pembangunan maupun dinamika masyarakat serta meningkatnya kualitas kebutuhan dan tuntutan masyarakat, pers harus terus meningkatkan kualitas profesionalisme sumber daya manusia wartawannya. Dalam hubungan ini program pendidikan dan pelatihan wartawan dan karyawan pers lainnya telah dilakukan secara terus-menerus dengan harapan mampu memenuhi peningkatan kebutuhan sumber daya manusia bagi penerbitan-penerbitan pers di masa yang akan datang.<br />
<br />
Jumlah sumber daya manusia/wartawan yang memiliki wawasan serta pendidikan tinggi terus bertambah. Ini merupakan salah satu ciri dari transformasi yang sedang dijalani pers Indonesia. Data terakhir menunjukkan, jumlah wartawan media cetak dan media elektronik, sebanyak 7.141 orang. Sedingkan khusus media bcetak berjumlah 6.287 orang. Dari jumlah tersebut 4.062 orang(64.04 persen) adalah mereka yang berlatarbelakang pendidikan tinggi.<br />
<br />
Dalam rangka meningkatkan arus informasi ke pedesaan, mulai tahun pertama Pelita III diadakan proyek "Koran Masuk Desa" (KMD) yang berupa subsidi kepada penerbitan-penerbitan pers daerah untuk menerbitkan KMD. Subsidi tersebut bertujuan untuk mendoong penerbitan pers nasional di daerah untuk mengembangkan diri dan memperluas jangkauannya sehingga mempercepat pemerataan informasi di daerah-daerah KMD yang pada awalnya mengikutsertakan 34 penerbit pers daerah di 13 propinsi, kemudian mulai tahun 1984 telah mengikutkan 50 penerbit pers di 26 propinsi. Ini berarti seluruh propinsi di Indonesia telah diikutsertakan dalam program KMD kecuali Daerah Khusus lbukota Jakarta. Sampai dengan tahun 1994/1995 meningkat menjadi 59 penerbitan KMD, dan 9 di antaranya menjadi pelaksana mandiri tanpa subsidi dari pemerintah.<br />
<br />
Jumlah tiras KMD pada tahun anggaran 1993/1994 berdasar realita berjumlah sebesar 39.798.158 eksemplar, sedangkan target tiras sesuai perjanjian yakni sebesar 8.400.000 eksemplar, berarti terdapat kenaikan yang sangat tinggi.<br />
<br />
Untuk memberikan motivasi terhadap pembangunan masyarakat pedesaan, Dewan Pers dalam sidang pleno tahun 1993 memutuskan mengganti istilah "Koran Masuk Desa" menjadi "Koran Membangun Desa".<br />
<br />
***<br />
<br />
PEMBANGUNAN di bidang teknologi komunikasi dan informasi telah memacu pertumbuhan dan perkembangan media elektronika radio, televisi dan film dengan sangat pesat dalam menyebarluaskan dan memeratakan informasi kepada masyarakat.<br />
<br />
Pada awal Repelita I Radio Republik Indonesia (RRI) memiliki 46 buah stasiun panyiaran dengan jumlah stasiun pemancar 107 buah, kekuatan pemancar seluruhnya 810 kilowatt dan jumlah jam siaran rata-rata setiap stasiun 7,4 jam per hari. Pada akhir Repelita V, RRI memiliki 49 buah stasiun penyiaran dengan 414 buah unit stasiun pemancar, kekuatan pemancar seluruhnya sebesar 3.106,6 kilowatt, dan jam siaran rata-rata setiap stasiun 21,0 jam perhari. Selain RRI terdapat juga radio siaran non RRI sebanyak 670 stasiun penyiaran yang tersebar di seluruh wilayah tanah air. Untuk program siaran RRI yang ditujukan keluar negeri menggunakan 10 bahasa pengantar yaitu bahasa lnggris, Perancis, Spanyol, Arab, Mandarin, Melayu, Jepang, Jerman, Thai dan Indonesia, dengan jumlah siaran 12 jam per hari.<br />
<br />
Dalam rangka kerjasama internasional, dilanjutkan berbagai kegiatan yang antara lain mencakup tukar-menukar paket siaran antar negara-negara Asean, yang dimulai sejak tahun 1978 dan kerjasama dengan Asia Pasific Broadcasting Union(ABU) yang dimulai sejak tahun 1983 serta berbagai organisasi Internasional lainnya.<br />
<br />
Pada tahun 1969, yang juga merupakan tahun awal Repelita I. Televisi Republik Indonesia (TVRI) memiliki 2 buah stasiun penyiaran dengan 7 buah pemancar yang keseluruhannya berkekutan sekitar 48 kilowatt dan menjangkau sekitar 22 juta orang dengan jumlah jam siaran setiap stasiunnya rata-rata 4 jam per hari. Pada akhir Repelita V TVRI memiliki 12 stasiun penyiaran, tujuh Stasiun Produksi Keliling (SPK) dan 343 stasiun pemancar penghubung dengan kekuatan pemancar 348,7 KW, dengan kemampuan jangkauan 41,36 persen wilayah Nusantara dan 153 juta orang atau 79,20 Persen dari jumlah penduduk dengan jumlah siaran 11,7 jam per hari.<br />
<br />
Untuk menyiapkan masyarakat menghadapi perkembangan teknologi komunikasi di masa depan, pemerintah telah memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk memanfaatkan antena parabola, sehingga masyarakat dapat menikmati siaran berbagai stasiun penyiaran.<br />
<br />
Pada akhir Repelita V upaya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan informasi juga didukung oleh lembaga penyiaran televisi swasta. Sampai awal Repelita VI telah beroperasi 5 (lima) televisi swasta yang sebagian telah mengembangkan jangkauan siaranya ke beberapa wilayah Indonesia. Dalam kaitan perkembangan ini pula lembaga penyiaran asing telah menyelenggarakan siarannya secara transnasional yang dapat menjangkau sebagian wilayah Indonesia (contoh: Star TV).<br />
***<br />
MEDIA massa di negara kita mempunyai kedudukan yang sangat penting karena mempunyai peran dan fungsi tidak saja sebagai penyampai informasi dan hiburan tetapi juga sebagai sarana edukasi untuk ikut mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.<br />
<br />
Dalam Caris-Garis Besar Haluan Negara Tahun 1993 mengenai Penerangan. Komunikasi dan media Massa dinyatakan bahwa,"Pembangunan Sarana dan Prasarana Penerangan, Komunikasi dan Media Massa perlu makin ditingkatkan dengan memperhatikan kemajuan llmu Pengetahuan dan Teknologi Komunikasi, sehingga dapat makin diwujudkan tersedianya wahana komunikasi dan informasi yang andal serta tersebar makin merata di seluruh pelosok Tanah Air sesuai dengan tuntutan pembangunan. Pengelolaan dan Pengembangan sarana dan prasarana penerangan, komunikasi dari media massa perlu terus didorong dan dimantapkan berdasarkan semangat kebersamaan dan kekeluargaan".<br />
<br />
Pengembangan prasarana dan sarana tidak banyak artinya apabila tidak didukung dengan tenaga-tenaga terampil pada bidangnya. Sehingga prasarana dan sarana tersebut dapat dimanfaatkan secara optimal.<br />
<br />
Dengan kemajuan di bidang teknologi khususnya teknologi komunikasi maka dunia seakan-akan menjadi semakin sempit dan transparan. Melalui satelit komunikasi, perkembangan/kejadian di salah satu belahan dunia pada waktu yang sama dapat diketahui oleh belahan dunia lainnya.<br />
<br />
Penerbitan khusus mahasiwa yang dikelola oleh para mahasiswa akan banyak berpengaruh oleh dampak perkenbangan ilmu dan teknologi komunikasi tersebut. Dalam kaitan ini sesuai dengan ketentuan, fungsi dan tugas penerbitannya berdasarkan ketentuan peraturan, yang berlaku, maka perlu dipikirkan bentuk-bentuk sumbangsih pemikiran yang dapat, diberikan oleh penerbitan mahasiswa tersebut kepada masyarakat, khususnya di kalangan para mahasiswa sejalan dengan misi Tri Dharma Perguruan Tinggi.<br />
<br />
Sebagai penerbitan khusus di lingkungan mahasiswa sesuai dengan kedudukan dan fungsinya maka sumbangan yang dapat diberikan oleh penerbitan mahasiswa terhadap pembangunan nasional baik langsung atau tidak langsung antara lain sebagai berikut:<br />
<br />
<ol style="text-align: left;">
<li>Peningkatan minat baca di lingkungan mahasiswa melalui penerbitan-penerbitan khusus sesungguhnya secara tidak langsung akan lebih mendorong minat baca dan kebiasaan membaca yang tinggi (reading habit)di lingkungan mahasiswa.</li>
<li>Meningkatkan kemampuan menulis dan menyusun berita. Penerbitan khusus yang dikelola oleh para mahasiswa, akan merupakan tempat penyaluran kemampuan menulis dan meningkatkan kreativitas. Melalui wadah penerbitan mahasiswa tersebut, kemampuan menulis dan menyusun berita diharapkan akan lebih meningkat.</li>
<li>Menumbuhkan minat terhadap bidang jurnalistik. Salah satu sumbangan penerbitan yang dikelola oleh mahasiswa yang juga sangat besar yaitu tumbuhnya minat terhadap bidang jurnalistik. Dengan harapan nantinya dapat memberikan kontribusi yang lebih besar pada bidang jurnalistik.</li>
<li>Menambah wawasan. Dengan adanya penerbitan Khusus dikeloia oleh rnahasiswa akan memberikan informasi-informasi yang berguna. </li>
<li>Sarana forum berdialog. Dengan adanya penerbitan khusus yang dikelola para mahasiswa dapat pula dijadikan sarana forum dialog antara mahasiswa, dosen serta yang berkaitan dengan dunia perguruan tinggi.</li>
<li>Pengembangan kreativitas. Setiap hasil penemuan dan pemikiran yang sejalan dengan misi Tri Dharma Perguruan Tinggi dapat disebarluaskan melalui penerbitan mahasiswa.</li>
</ol>
<br />
Oleh Drs. Subrata, Direktur Jenderal Pembinaan Pers dan Grafika, alumnus HI UGM, Naskah ini diangkat dari sebagian ceramahnya pada Forum Pendidikan Jurnalistik Tingkat Dasar Penerbitan Khusus, Se-Bali tanggal 26 Juli 1995 di Denpasar.<br />
<br />
Kompas, Rabu, 2 Agustus 1995</div>
Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3487622107129209275.post-89954902831114970892020-07-14T08:13:00.001-07:002020-07-14T08:13:14.462-07:00Pers Mahasiswa Pasca-21 Mei 1998: Menuntaskan Romantisme Sejarah<div dir="ltr" style="text-align: left;" trbidi="on">
hasan bachtiar2<br />
<br />
Kalau benar bahwa pers mahasiswa mempunyai hakikat yang tidak terpisahkan dengan kehidupan mahasiswa, maka ia adalah sebuah ruh. Ekspresinya bisa tebal ataupun tipis, tetapi secara eksistensial ia ada: menyelinap kesana-kemari. Suatu saat bisa teramat lesu, tetapi saat yang lain bisa sangat bergairah.3<br />
<br />
<br />
<a name='more'></a>Sekarang ini, ketika Bursa Efek Jakarta baru saja diguncang ledakan bom yang dahsyat, 10 lebih nyawa melayang, dan kurs rupiah terhadap dolar AS lagi-lagi anjlok, atau militer Indonesia sedang melakukan suatu konsolidasi diam-diam dan merencanakan sesuatu yang tak akan pernah terperkirakan oleh pengamat politik terjenius sekalipun di Indonesia, apakah menariknya mendiskusikan soal pers mahasiswa (persma)?<br />
<br />
Tatkala Pangeran Alawaleed bin Talal bin Abdul Aziz al-Saud dengan enjoy menginvestasikan hampir 900 miliar dolar untuk pembangunan industri teknologi informasi di semenanjung Arab4 , dan sehari-hari ia bisa santai dikelilingi gadis-gadis yang siap melayaninya melahap korma-korma segar sembari mengklik-klik mouse komputer mininya yang keluaran terbaru dari Intel, masih pentingkah kita di sini, di Indonesia yang muram ini, memperdebatkan habis-habisan tentang dinamika persma—yang melenakan itu?<br />
<br />
Kala yang bernama reality sulit dicari perbedaannya dengan virtual reality, dan space mudah saja dipermak menjadi cyberspace, dan ada sekira 50 orang5 yang kini mengendalikan keanehan-keanehan ini, apa untungnya kita mengomongkan kesejarahan persma?<br />
<br />
Saat dunia sungguh-sungguh global, tak berlaku lagi yang namanya sekat geografis, kultural, dll., sehingga Cina akan segera "mengubah namanya" menjadi McChina6 , dan stok minyak Indonesia tinggal sekira untuk tujuh tahun lagi, selain kondisi fisik bumi yang kian parah, benarkah masih urgen jika kita berbincang-bincang tentang "mitos-mitos" pers mahasiswa?<br />
<br />
Dan sewaktu Reformasi 1998 bergulir, industri pers nasional mengalami booming7 , dan mouth-cracking journalism tampak menjadi metode yang digemari pers-pers amatiran, selain pers-pers porno dan mistis menjamur, serta pers elektronik (radio, televisi, media on-line) yang sanggup bekerja dalam hitungan detik, masih kelihatan gagahkah bila topik reposisi persma kita diskusi(-seminar-sarasehan-skripsi-tesis-disertasi-)kan?<br />
<br />
Kini UGM, UI, ITB, serta IPB—tak lama lagi bakal diikuti seluruh perguruan tinggi (PT) di Indonesia—sudah "otonom secara politik maupun ekonomi", yang merupakan "prestasi puncak" proyek industrialisasi pendidikan di Indonesia.8 Maka, tidakkah kita terlampau over-confident untuk mengenang kembali kejayaan Harian Kami, Salemba, Kampus, Gelora Mahasiswa, atau Mahasiswa Indonesia—generasi kedua persma yang pernah mencapai oplah puluhan ribu, bahkan melebihi Kompas?<br />
<br />
Barangkali jawaban untuk semua pertanyaan pesimis di atas adalah: ya! Sebagaimana Panitia sarasehan ini—setidaknya yang penulis tangkap—bermaksud baik untuk memfasilitasi perguliran wacana persma, yang untuk dua dekade ini cuma jadi "narasi pinggiran", maka penulis menyanggupi permintaan Panitia untuk menulis risalah sederhana ini. Semoga sarasehan ini akan bisa dimaknai dalam bingkai kepantasannya yang wajar.<br />
<br />
Mitologisasi Romantisme?<br />
Entahlah, setelah membaca-baca berbagai literatur tentang persma, penulis menemui banyak sekali kontradiksi dalam perjalanan sejarah persma.9 Dan, tampaknya, kontradiksi-kontradiksi tersebut bersumber dari "mitologisasi romantisme sejarah" yang tiada habis-habisnya membuai para pegiatnya hingga sekarang, sebagaimana halnya mitologisasi romantisme sejarah yang diderita oleh entitas gerakan—sosial-politik—mahasiswa Indonesia.10<br />
<br />
Ada beberapa contoh literatur tentang persma yang menarik untuk disinggung di sini:<br />
<br />
& Buku karya Amir Effendi Siregar, Pers Mahasiswa Indonesia: Patah Tumbuh Hilang Berganti,11 memang patut diakui, adalah sebuah referensi pertama yang mengupas peran kesejarahan persma. Dalam buku yang merupakan skripsi Amir untuk meraih gelar sarjana Ilmu Komunikasi di Fisipol UGM itu, Amir mencatat periodisasi sejarah (era kolonial [zaman kolonial Belanda dan Jepang] dan era kemerdekaan [demokrasi liberal, demokrasi terpimpin, 1966—1974, 1974—1980-an), dan mencoba menerapkan metode content analysis terhadap persma, yang sempat leading dalam oplahnya, untuk terbitan antara 1960-an hingga akhir 1970-an. Kesimpulan Amir, dinamika persma amat tergantung pada personalitas rezim politik yang sedang berkuasa: apakah menganut sistem libertarian, demokrasi, ataukah otoritarian. Yang penting, sudah sejak 1979, waktu buku itu ditulis, Bang Amir menandaskan, "Persma kini memasuki suatu periode baru yang kiranya harus banyak belajar dari sejarah untuk tidak mengulang-ulang kesalahan masa lalu. Mitos dan nostalgia kebesaran persma pada tahun 1966 sudah layak ditinggalkan." Lanjutnya, "Pada persma kini dituntut untuk memberikan jawaban bagaimana rumusan pikiran baru untuk menatap realitas sosial Indonesia, sekarang dan akan datang: realitas yang bagaimana yang layak ditampilkan, bagaimana wajah persma kini dan akan datang."<br />
<br />
& Lantas, Francois Raillon membuat penelitian khusus tentang mingguan Mahasiswa Indonesia yang diterbitkan oleh Rahman Tolleng dkk. di Bandung, dan diterbitkan menjadi buku bertajuk Politik dan Ideologi Mahasiswa Indonesia: Pembentukan dan Konsolidasi Orde Baru 1966—1974.12 Yang paling fantastis, Raillon menulis, "Para pemuda, termasuk para pemimpin mahasiswa yang mengasuhnya, merupakan pendukung-pendukung aktif Orde Baru. Mereka juga merupakan tokoh-tokoh yang gigih menganjurkan perubahan, reformasi, dan apa yang mereka sebut dengan modernisasi. Karena itu, surat kabar mereka ini, Mahasiswa Indonesia, merupakan satu sumber yang mutlak perlu dipelajari untuk mengenal Orde Baru dan sejarah Indonesia antara tahun 1966 sampai tahun 1974." Sanggah penulis, bukankah ini too over-confident?<br />
<br />
& Sementara itu, Daniel Dhakidae—kini Kepala Litbang Kompas—melaporkan hasil penelitiannya dalam Prisma, No. 10/Oktober 1977, berjudul "Penerbitan Kampus: Cagar Alam Kebebasan Pers". Dhakidae, dengan mengambil sampel Gelora Mahasiswa (UGM), Salemba (UI), dan Derap Mahasiswa (IKIP Yogyakarta), meneliti dua aspek dalam persma, yaitu etos persma—yang disebutnya menganut asas advisory journalism ‘jurnalisme menantang’, sarat opini ketimbang fakta (scientific journalism?), serta political-state-oriented—dan alam pikiran persma yang terwujud dalam performa bahasa jurnalistiknya—yang meliputi tiga bentuk: konsepsi-konsepsi abstrak, pernyataan-pernyataan "keharusan", dan lontaran-lontaran "pertanyaan". Dari sini, sangatlah jelas bahwa persma selama ini terlampau gampang melanggar asas-asas jurnalisme konvensional yang senantiasa mengedepankan fakta ketimbang opini dan menjunjung tinggi objektivitas. Maka, situasi seperti ini tidak sehat juga, bukan?<br />
<br />
& Sedangkan dinamika persma 1980—1990-an dipotret oleh Didik Supriyanto dalam bukunya, Perlawanan Pers Mahasiswa: Protes Sepanjang NKK/BKK.13 Dalam kata pengantar buku yang ditulis mantan Pemimpin Redaksi BALAIRUNG itu, Dr. Afan Gaffar melihat bahwa peran terbaik yang diberikan persma sepantasnya ialah menawarkan kerangka konseptual (pemikiran alternatif), baik bagi penyadaran masyarakat maupun mahasiswa sendiri. Maka, kalau persma dituntut untuk mampu mencerahkan mahasiswa dan masyarakat umum, pertanyaan penulis: bagaimana itu bisa diraih jika segmentasi pembaca persma tak pernah jelas? Bukankah selama ini pegiat persma menulis dan menerbitkan media untuk dinikmati sendiri? Pemaparan Didik dalam buku ini (semula skripsi sarjana Ilmu Pemerintahan, Fisipol UGM) telah cukup terang: pun pada 1980-an hingga 1990-an, persma tak berhak mengklaim dirinya sebagai motor utama masa-masa kegairahan kembali gerakan mahasiswa.<br />
<br />
& Ana Nadhya Abrar pun banyak menulis artikel-artikel tentang persma dan permasalahan operasionalisasinya, antara lain: Panduan buat Pers Indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995), Pers Mahasiswa dan Permasalahan Operasionalisasinya (Yogyakarta: Liberty, 1994). Mantan awak BALAIRUNG dan kini Ketua Jurusan Ilmu Komunikasi, Fisipol UGM, itu tampaknya memandang bahwa persma merupakan "pers alternatif". Penulis ragu: alternatif yang seperti apa?<br />
<br />
Di samping itu, masih banyak tulisan tersebar yang lain14 , yang selalu saja dikutip-kutip oleh para "aktivis"—mengapa bukan "wartawan"?—persma dalam diskusi-diskusi tentang sejarah dan dinamika persma Indonesia. Kesemua karya tulis itu, selain memang merupakan dokumentasi ilmiah nan berharga, pada hemat penulis, sebenarnya telah ikut menyumbang pada upaya-upaya "mitologisasi romantisme" peranan pers mahasiswa dalam sejarah Indonesia modern. Walhasil, para pegiat persma kerap kali terjebak: ingin meneriakkan demokrasi dengan "D" besar, tanpa menghitung-hitung secara realistis kemampuannya sendiri!<br />
<br />
Persma: Delicious Mixture of Problems<br />
Marilah kita amati dulu di mana posisi persma dalam semesta peradaban manusia, melalui peta "simplistis" berikut ini:<br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh1-MoJxMHpBHSMqt118XaW2hwlnBm0F9u8MWMCr-n3LXXsWTC2ocIAAjO36kfqQzM6quks0seSAri8pOYJkkf5yWkDzV3GUcO7O7jScpArr7K8qNRn7YHcFI79InJFPjyq_O-zdL6kwjxp/s1600/artike1tabpersma.gif" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="253" data-original-width="638" height="126" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEh1-MoJxMHpBHSMqt118XaW2hwlnBm0F9u8MWMCr-n3LXXsWTC2ocIAAjO36kfqQzM6quks0seSAri8pOYJkkf5yWkDzV3GUcO7O7jScpArr7K8qNRn7YHcFI79InJFPjyq_O-zdL6kwjxp/s320/artike1tabpersma.gif" width="320" /></a></div>
<br />
Dari peta sederhana tersebut, penulis menyimpulkan bahwa, sesungguhnya, selama ini eksistensi pers mahasiswa adalah "ambigu". Personalitas persma sebagai entitas menderita apa yang dinamai oleh psikologi modern sebagai "split personality". Mengapa bisa begitu?<br />
<br />
Untuk ini, seorang kawan saya, Luqman Hakim Arifin (mantan Pemred BALAIRUNG 1999—2000) pernah menulis,<br />
<br />
Merujuk pada namanya, "pers mahasiswa", esensi persma sebenarnya sudah cukup jelas. Persma adalah entitas-sintesis dari dua subjek yang sama-sama potensial dan berat; yang satu "pers" dan satunya lagi "mahasiswa". Sebagai pers, ia dituntut mampu menjalankan fungsi-fungsi persnya secara konsekuen dan independen. Sedangkan sebagai mahasiswa, ia dituntut menjadi pelopor perubahan dan pemecah kebekuan. … Maka, ketika kedua entitas itu digabungkan, dapat dibayangkan betapa besar, agung, dan beratnya nama itu.15<br />
<br />
Meski kawan penulis itu lumayan romantis dengan kiprah kesejarahan mahasiswa dan persma Indonesia, paparannya bisa membantu penulis untuk menjelaskan di mana titik ambiguitas eksistensi persma. Pada suatu saat, para awak persma akan dengan enak saja menikmati fasilitas—misalnya: masuk seminar gratis, perlindungan khusus, dll.—yang biasanya dimiliki pers umum. Namun, persma tidak bersungguh-sungguh untuk bekerja dengan tatanan dan logika pers umum: perusahaan komersial, publisitas, periodisitas, faktualitas, objektivitas berita, dll. Sedangkan pada saat yang lain, para awak persma mengklaim dirinya sebagai salah satu elemen pergerakan politik mahasiswa. Tetapi, ketika terjadi penggebukan aksi mahasiswa oleh militer, awak persma mengaku-aku justru sebagai "wartawan mahasiswa". Pendek kata, persma amat "serakah", mau enaknya sendiri.<br />
<br />
Pemetaan di atas, oleh banyak pengamat sebelum penulis, telah banyak dibahas—walau, penulis rasa, terkesan romantis berat. Didin S. Damanhuri16 menganalisis empat ciri kehidupan mahasiswa yang membedakannya dengan warga masyarakat umumnya: (1) mahasiswa adalah kelompok kaum muda, yang masih merasakan mentalitas kaum muda—dinamis, anti-establishment, radikal, lugas; (2) mahasiswa adalah kelompok yang menjalani sistem persekolahan modern-akademis, yang selanjutnya memberinya pedoman dalam bersikap—objektif, rasional, kritis, skeptis; (3) mahasiswa merupakan kelompok yang relatif independen, hanya berkepentingan terhadap masa depan kemanusiaan yang lebih baik, dan tak punya keterikatan—finansial, politis, ideologis; serta (4) mahasiswa merupakan kelompok subsistem dalam masyarakat secara keseluruhan—lokal, regional, mondial—sehingga mahasiswa senantiasa ingin berinovasi, berorientasi pada hal-hal yang normatif, fundamental, prinsipil.<br />
<br />
Tipologi mahasiswa sebagai kelompok kelas menengah yang khas dalam masyarakat itu, kemudian, melatarbelakangi etos dalam "idealisme persma"—kalaulah istilah ini wajar kita pakai. Situasi inilah yang mengarahkan mahasiswa pada pikiran-pikiran yang normatif, ideal, fundamental melulu, seringkali mengesampingkan realitas. Akibatnya, antara berpikir ideal dan realistis, mahasiswa jatuh lebih banyak kepada pemikiran-pemikiran ideal. Singkatnya, "fitrah" mahasiswa adalah kaum utopis.<br />
<br />
Dengan memanggul fitrah yang seperti ini, persma menderita kontradiksi-kontradiksi yang mengerikan. Periode sejarah persma 1980—1990-an, sebagaimana kita pahami dari banyak analisis kritis, ikut pula terimbas oleh gegap-gempita industrialisasi, yang melanda pula dunia persekolahan nasional.<br />
<br />
Pemerintah mengeluarkan sejumlah produk perundang-undangan, yang—bila ditarik suatu garis merah lebih jauh—memanglah dituntutkan oleh paradigma developmentalisme-modernis-industrialis: ketertiban, keseragaman, korporatisme, sentralisme, dll. Situasi yang hendak dicapai ialah suatu pertumbuhan ekonomi dengan angka-angka fantastis, trIckle down effect menjadi cerita kegagalan suatu eksperimentasi yang mengerikan. Dengan melalui suatu perencanaan yang benar-benar sistematis, rapi, berikut dukungan militer, Orde Baru tidak memberikan pilihan yang lain kecuali pragmatisme, juga ketertiban pikiran masyarakat17 . Bukan saja pada aras fisik negara Orde Baru—yang otoritarian-birokratis—mengekang rakyatnya, bahkan pada aspek yang terlembut: wacana, bahasa18 . Dus, hegemoni Orde Baru berlangsung dengan amat mulus.<br />
<br />
Banyak anasir layak diajukan untuk ini. Sehari-hari saja, kita di kampus menemui secara langsung mahasiswa, juga dosen dan birokrat kampus, yang cara berpikirnya sangat pendek, simpel, pragmatis! Ketika negara kita bangkrut, maka penulis masih banyak menemui pola hidup hedonis dianut banyak orang. Adakah banyak hal bisa diharapkan dari suatu golongan masyarakat seperti ini? Penulis yakin untuk menjawab tidak.<br />
<br />
Era 1980—1990-an (sebelum 21 Mei 1998)19 , sepengelihatan penulis, sudah amat jauh berbeda dengan era 1950-an, 1960-an, dan 1970-an. Namun, dinamika persma era NKK/BKK ini masih meresapi semangat ketiga era tersebut: heroisme, dan—dalam banyak kasus—"kiri kekanak-kanakan". Di samping itu, penulis masih sangsi jika ada perkataan bahwa persma era 1960-an dan 1970-an disebut-sebut unggul dalam tirasnya. Dalam keseharian aktivitas penulis di BALAIRUNG sejak 1998, hampir tiap minggu kami mendapat kiriman belasan terbitan mahasiswa dari berbagai kampus di segenap penjuru Tanah Air. Di lain pihak, kalau penulis memeriksa dokumentasi persma milik Pusat Informasi Pers Mahasiswa Indonesia (PIPMI) yang dikelola oleh Litbang BALAIRUNG, penulis mengambil kesimpulan bahwa industrialisasi nasional pun memacu peningkatan kuantitas penerbitan persma. Format cetakan persma juga sudah jauh lebih baik ketimbang ketiga era di atas.<br />
<br />
Nah, sampai di sini, uraian ini dengan yang sebelumnya menjadi korelatif. Tampak terang sekali bahwa kompleksitas masalah eksistensi dan personalitas suatu entitas yang bernama persma ini berstadium akut. Ini masih ditambah dengan beban kesejarahan persma sendiri dan juga warisan tradisi peranan kesejarahan pers nasional. Ignas Kleden pernah mengatakan,<br />
<br />
… pers Indonesia—berdasarkan warisan sejarahnya—senantiasa ditandai oleh komitmen sosial-politik yang kuat. Pada awalnya pers Indonesia adalah pers perjuangan, yang didukung oleh intelektual-intelektual terbaik dari zaman perjuangan…. Menarik untuk dicatat bahwa hampir semua pemimpin Indonesia dari generasi ’28 adalah penulis aktif dalam pers.20<br />
<br />
Era Baru, Pasca-21 Mei 1998<br />
Di atas, penulis memberi penekanan lebih pada momen turunnya Soeharto dari takhta kepresidenan, 21 Mei 1998. Mendekati tanggal penting ini, persma—juga pers umum, atau banyak bidang kehidupan yang lain—mengalami pula eskalasi kesedihan. Rasa tidak puas dan protes merebak di mana-mana. Membaca persma terbitan pra-21 Mei 1998 sama dengan mengunyah gosip dan isu konspirasi perpolitikan tingkat tinggi di Jakarta, berikut pelbagai spekulasi yang aneh-aneh: junta militer, revolusi proletariat, konsolidasi status quo, dan masih banyak lagi.21 Pada masa-masa genting ini, kita mencatat pula tumbuhnya persma-persma temporer, berbentuk newsletter dengan masa terbit lebih cepat (mingguan atau harian), misalnya Bergerak! (UI), Gugat (UGM), Suga Alternatif (Unair), dll.22<br />
<br />
Transisi kekuasaan, dari otoritrianisme menuju entah demokrasi sejati atau semu, menawarkan situasi yang tanpa kendali. Keterbukaan pers datang tiba-tiba, dan persma dibuat kalang kabut. Wilayah (baca: pers alternatif) yang dulu dipilih oleh persma dalam mengaktualisasikan dirinya, kini sudah dimasuki—secara enak saja—oleh pers umum. Pers umum, yang selama Orde Baru memilih "tiarap", sejak 21 Mei 1998 ikut-ikutan berteriak lantang, bahkan melebihi mahasiswa, untuk mendukung reformasi total.<br />
<br />
Dalam hal ini, posisi persma teramat dilematis. Tentu saja, pers umum—dengan keunggulan pada modal, alat produksi, dan jaringan pemberitaan—mampu bekerja dalam mekanisme yang lebih sempurna, mendekati kecepatan momentum berita itu sendiri. Sedangkan persma selama ini bertahan sambil memendam kontradiksi-kontradiksi—bahkan menuju pembusukan?—internal yang akut. Lantas, apa yang masih "tersisa" untuk persma?<br />
<br />
Maka, tak lebih dan tak kurang, persma mengalami "disorientasi". Dan split personality itu mencapai puncaknya di sini: identifikasi persma sebagai bagian yang sah pula dari pers umum tertolak mentah-mentah!<br />
<br />
Seibarat berada dalam situasi dialektika permasalahan, kontradiksi-kontradiksi dalam tubuh persma ini mestilah segera dicarikan solusinya, diupayakan sintesisnya, dan dipilih jalan mana untuk mengatasi kebuntuan ini, dengan dataran berpikir yang terbaru sekalipun.23 Sebabnya, segenap permasalahan di atas telah menuntut kita semua, para pegiat persma, untuk benar-benar membuka segala kemungkinan yang ada. Untuk ini, risiko bila suatu saat "kita tak lagi berada dalam perahu pemikiran yang sama" tak perlu ditakutkan.24<br />
<br />
Dalam semangat inilah, BALAIRUNG pernah menggelar acara Sarasehan Pers Mahasiswa se-Jawa-Bali bertopik "Mencari Ruang Baru dalam Era Keterbukaan", 2 November 1998. Para pembicara yang dihadirkan yaitu Amir Effendy Siregar, Dailami, dan Didik Supriyanto. Dan, forum itu mencoba memotret persma dalam aspek kesejarahannya, situasi nasional, serta tawaran alternatif pada masa keterbukaan dan transisi demokrasi di negeri ini. Yang agak mendasar ialah lontaran Didik Supriyanto bahwa "persma harus kembali kepada komunitas pembacanya, yakni melayani kebutuhan lalu lintas informasi di kampusnya masing-masing".25 Memang, tak terlampau banyak hasil yang bisa diharapkan. Namun, yang jelas, target forum itu ialah untuk membuka diskursus tentang pentingnya segenap awak persma mengevaluasi diri dalam kerangka reposisi.<br />
<br />
Dari semua paparan di atas, penulis lantas jadi agak "sedih". Barangkali, memang beginilah nasib mahasiswa-mahasiswa di negeri miskin seperti Indonesia. Mereka tidak saja dituntut untuk belajar tekun dan menguasai bidang ilmunya masing-masing, tapi kondisi negara-bangsanya yang masih runyam mengharuskan pula mereka untuk turun tangan: sekali-kali demonstrasi menentang sikap-sikap antidemokratis para penguasa, juga menawarkan solusi paradigmatik untuk menyelesaikan itu semua. Is it possible? Hopefully.<br />
<br />
BALAIRUNG Mencoba Memilih<br />
Dalam kesempatan ini, seperti sudah pernah penulis singgung di atas, penulis sekadar melakukan perekaman terhadap perbincangan tentang reposisi persma yang telah terjadi di markas BALAIRUNG. Dan, sebenarnya, BALAIRUNG telah menentukan alternatif solusinya, yakni apa yang disebut dengan "Integrated System of Journalism" (ISJ).26 Ada baiknya jika apa yang telah dipilih BALAIRUNG itu penulis paparkan sedikit di sini, semoga dapat menjadi "antitesis" terhadap pilihan-pilihan persma lainnya.<br />
<br />
Saat ini, BALAIRUNG memiliki lima divisi plus "divisi umum". Berikut struktur ringkasnya:<br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgInX_QISc_aITSP1mbm69goGQEg5sSR4MlPn-oT_n0r_o-RexedyJ0jVwrPOZ5O_mLIfcAh9zfbuhQGQxwOauBgXz6utk2XovRwSTWRVRzFsoXTcAzVpf24BXLN6qVZf8Vj9ThlzutYHSU/s1600/artike2persmatab.gif" imageanchor="1" style="margin-left: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="293" data-original-width="638" height="146" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgInX_QISc_aITSP1mbm69goGQEg5sSR4MlPn-oT_n0r_o-RexedyJ0jVwrPOZ5O_mLIfcAh9zfbuhQGQxwOauBgXz6utk2XovRwSTWRVRzFsoXTcAzVpf24BXLN6qVZf8Vj9ThlzutYHSU/s320/artike2persmatab.gif" width="320" /></a></div>
<br />
Dengan struktur yang demikian, masing-masing divisi dalam BALAIRUNG mempunyai otonomi yang optimal. Divisi-divisi itu berhak penuh untuk melakukan inovasi dalam program-programnya. Bagian umum (PU, Sekum, Bendum) hanya bertugas memfasilitasi kerja semua divisi, selain menggarap bidang hubungan eksternal lembaga.<br />
<br />
Pada Divisi Redaksi, kami menderivasikan ISJ ke dalam metodologi penggarapan tema Majalah BALAIRUNG, yakni kami sebut dengan "jurnalisme integral", yang sudah kami aplikasikan sejak kepengurusan setahun lalu (1999—2000). Penjelasan gampangnya, kami menggarap suatu isu dalam kerangka abstraksinya yang paling mendasar. Dari sana, kami membuat derivasinya dan diterapkan ke dalam rubrikasi. Harapannya, suatu isu akan bisa kami kaji secara tuntas, multiperspektif, multidisiplin, baik isu nasional maupun global.<br />
<br />
(Catatannya, konsep ini sebenarnya menjadi pilihan sementara kami. Pilihan—setidaknya yang mendekati—final kami dalam kerangka reposisi persma ialah BALAIRUNG akan menjadi "jurnal mahasiswa", bukan cuma majalah berita/isu, sebab sudah lama ada tuntutan di antara kami agar isu-isu yang dikaji BALAIRUNG bisa tuntas. Untuk mencapai derajat ketuntasan yang tertinggi, ya, melalui karya-karya tulis ilmiah versi jurnal yang memungkinkan analisis masalah dengan daya abstraksi dan teorisasi yang kuat.)27<br />
<br />
Di samping menerbitkan "majalah semi jurnal", dan cocok dengan gagasan Didik Supriyanto agar persma kembali ke komunitas asalnya lagi, BALAIRUNG menerbitkan pula BALAIRUNG Koran, yang diproduksi dalam periode mingguan. Sementara ini formatnya masih koran dinding, lay-out sederhana (montase manual), fotokopian pada kertas A-2, dan kami tempel-siarkan ke dinding-dinding pengumuman 18 fakultas di UGM. Jika Majalah BALAIRUNG memfokuskan penggarapan isu-isu nasional dan global, maka BALAIRUNG Koran memilih fokusnya pada berita-berita (baca: isu-isu) internal kampus UGM.28<br />
<br />
Penerbitan BALAIRUNG Koran ini juga untuk mendukung kerja sama jaringan internet persma se-Indonesia dengan Detikcom melalui situs <www.detik.com/kampus>. Dengan menerbitkan BALAIRUNG Koran, selain kami back to campus, berita-berita seputar UGM bisa kami siarkan secara internasional, yang tentulah tak berbeda dengan persma-persma lain.29 Kemudian, dalam Mubes BALAIRUNG, 3—4 Juni 2000, kami memutuskan untuk mengembangkan secara lebih serius media on-line, dengan memberi keluasan otoritas pada divisi baru: Divisi BALAIRUNG On-line. Hingga kini, situs <balairungnews.com> kami anggap sangat prospektif. Rata-rata, situs <balairungnews.com> dimasuki oleh 20 pengunjung dalam sehari.30<br />
<br />
Pada sisi lain, Divisi Perusahaan BALAIRUNG pun terus berbenah. Divisi yang membawahi tiga subdivisi (Iklan, Sirkulasi, Promosi) ini terus melebarkan jaringan pemasaran Majalah BALAIRUNG. Data survei kami pada 1999, BALAIRUNG kini telah didistribusikan—melalui agen-agen distribusi dan toko-toko buku—ke berbagai wilayah secara konsisten: DI Yogyakarta (36,5%); DKI Jakarta (32%); Jawa Timur—Surabaya dan Malang (10,35%); Jawa Tengah—Semarang dan Solo (9,33%), Jawa Barat—Bandung (3%), Sumatra—Medan, Palembang, Pekanbaru, Padang (5,8%); Kalimantan—Balikpapan, Samarinda, Pontianak (1,89%); Sulawesi—Ujungpandang, Menado (1,17%); di samping kami sebarkan kepada relasi dan persma seluruh Indonesia (0,6%). Sejumlah biro iklan di Jakarta merupakan "penolong" kami dengan suplai iklan mereka. Dan, pelbagai upaya promosi BALAIRUNG dilakukan untuk terus mendongkrak angka penjualan di pasar.31<br />
<br />
Selain itu, Divisi Litbang BALAIRUNG kini kembali menuntaskan proyek Pusat Informasi Pers Mahasiswa Indonesia (PIPMI), dengan bantuan infrasturktur dari Institut Stusi Arus Informasi (ISAI) yang kami peroleh pada 1998. Target kami, PIPMI akan menjadi research centre tentang persma Indonesia yang lebih lengkap lagi—bantuan kawan-kawan persma Indonesia tentu amat kami harapkan, terutama lewat pengiriman medianya. Divisi ini pun memfokuskan garapannya pada usaha penelitian-penelitian sosial, diskusi rutin, dan pembangunan basis data BALAIRUNG.<br />
<br />
Yang terakhir, kami mendirikan pula divisi baru, yaitu Divisi Produksi, supaya pekerjaan cetak-mencetak segala produk BALAIRUNG menjadi lebih terencana dan efisien. Bila redaksi sudah menyelesaikan pekerjaannya hingga naskah dan foto-foto siap, Divisi produksi bertanggung jawab terhadap proses lay-outing dan pencetakannya. Lantas, Bagian Sirkulasi akan segera mendistribusikan BALAIRUNG ke seluruh pelanggannya.<br />
<br />
Demikianlah, kami berusaha seoptimal mungkin, dengan berbagai kompromi terhadap persoalan-persoalan klasik persma. Harapan sederhana kami, setidak-tidaknya, BALAIRUNG dapat menjadi "wahana tercurahnya pikiran-pikiran kritis, analitis, dan inovatif dari komunitas intelektual muda dan ilmuwan, untuk saling mengisi dan menggagas dalam dialog demi masa depan kemanusiaan".32 Apa lagi yang tersisa milik kita jika bukan komitmen, motivasi, dan optimisme?<br />
<br />
Makna Zaman<br />
Dalam gelombang besar peradaban manusia yang sudah demikian jauh, penulis mengajak kepada seluruh pegiat persma Indonesia untuk kembali menengok historisitas persma Indonesia secara proporsional, lantas memaknai zaman kita sendiri, sekarang ini, dengan penuh kepercayaan diri. Itu saja….<br />
<br />
Kota Gudeg, Yogyakarta, 17 September 2000<br />
Salam hangat,<br />
hasan bachtiar<br />
<br />
<br />
<br />
1 Kertas kerja ini didiskusikan pada acara Sarasehan Nasional Pers Mahasiswa, 18—19 September 2000, di Gedung Dewantara, Taman Rekreasi Wiladatika, Cibubur, Jakarta, yang diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional.<br />
<br />
2 Penulis saat ini menjabat Pemimpin Umum Majalah Mahasiswa Universitas Gadjah Mada BALAIRUNG periode 2000—2001, dan tercatat sebagai mahasiswa Departemen Linguistik, Fakultas Sastra UGM. Dalam perumusan wacana ini, penulis banyak dibantu oleh Nino Aditomo (PU Bulaksumur, mitra debat yang setia—penulis berharap Nino pun bisa ikut menyumbangkan ide-idenya yang cemerlang dalam forum ini, namun sayang situasi belum mengizinkan), dan kawan-kawan Komunitas B-21 lainnya, serta sahabat-sahabat Komunitas Sawitsari—terutama Mas Andy atas pinjaman PC-nya. Penulis menyampaikan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada mereka semua atas diskusi-diskusi yang hangat dan intensif. Pada akhirnya, tanggung jawab "akademis" kertas kerja ini ada pada penulis sepenuhnya. Namun, benarkah "wartawan" dapat menulis paper yang benar-benar "ilmiah"? Semoga!<br />
<br />
3 BALAIRUNG, Edisi 13/Tahun V/1991.<br />
<br />
4 Penulis terheran-heran sekaligus takjub ketika membaca majalah Fortune, December 6, 1999, yang memaparkan kerajaan informasi berteknologi tinggi milik Alwaleed sebagai cover story-nya. Bukan saja bisnis ini di Semenanjung Arab dia kuasai, namun jumlah sahamnya di Silicon Valley lumayan mencengangkan.<br />
<br />
5 Time, October 12, 1998: "The 50 Most important People in Cyberspace".<br />
<br />
6 Lihat laporan utama majalah Asiaweek (July 4, 1997), yang judulnya istimewa: "McChina: American Pop Culture is Sweeping the Mainland". Diskotek, McDonald, Coca Cola, dan jins Levi’s menjadi pemandangan sehari-hari bukan saja di negeri komunis itu, namun di hampir seluruh penjuru bumi. Viva America?<br />
<br />
7 Lihat analisis Ignatius Haryanto, "Boom! Penerbitan Baru", dalam Independen Watch!, No. 2/Th. I/Juni 2000. Kesan penulis, menakjubkan! Hingga April 1999 saja, Deppen—sebelum dilikuidasi oleh Gus Dur—mengeluarkan 852 SIUPP baru. Jumlah sekarang tentu meningkat lagi. Selain itu, harian Kompas edisi ulang tahun ke-35, 28 Juni 2000, menyiarkan sejumlah karangan yang amat penting untuk diacu dalam diskursus pers nasional: Onno W. Purbo, Atmakusumah, A. Muis, Asvi Warman Adam, Ishadi S.K., Ashadi Siregar, dll.<br />
<br />
8 Suatu analisis termutakhir yang menarik tentang ini, lihat Ariel Heryanto, "Industrialisasi Pendidikan", dalam Basis, Nomor 7—8/Tahun ke-49/Juli—Agustus 2000.<br />
<br />
9 Namun, tampaknya, para pegiat persma "menikmati" kontradiksi-kontradiksi tersebut, dengan sejauh mungkin melakukan inovasi-inovasi pada semua aspek pengelolaan persma. Penulis menangkap gejala ini setelah banyak melakukan studi banding dengan persma-persma yang mengunjungi BALAIRUNG.<br />
<br />
10 Masmimar Mangiang, dalam sebuah karangannya berjudul "Mahasiswa: Ilusi Sebuah Kekuatan" (Prisma, No. 12/Desember 1981), menganggap—dan penulis sepakat—bahwa kekuatan gerakan mahasiswa untuk memelopori perubahan cuma "ilusi". Kalaulah Angkatan ’66 yang dijadikan nostalgia, maka angkatan itu memang cuma mitos sebab tak ada tawaran paradigmatik pasca-aksi, selain banyak bukti-bukti sejarah yang menunjukkan bahwa gerakan mahasiswa ’66 justru di-setting oleh militer. Yang tragis, para arsitek Angkatan ’66, yang pada masanya menjadi pelopor aksi-aksi massa melawan kekuasaan despot, kemudian malah menjadi arsitek proyek pembelengguan kemerdekaan mahasiswa pada 1980-an. Periksa pula Prisma, No. 6/Juni 1987, yang menurunkan laporan serial diskusi aktivis mahasiswa (angkatan 1980-an) di Jakarta, Yogyakarta, dan Bandung, April—Mei 1987.<br />
<br />
11 Amir Effendi Siregar, Pers Mahasiswa Indonesia: Patah Tumbuh Hilang Berganti (Jakarta: Karya Unipress, 1983).<br />
<br />
12 Francois Raillon, Politik dan Ideologi Mahasiswa Indonesia: Pembentukan dan Konsolidasi Orde Baru 1966—1974 (Jakarta: LP3ES, 1985).<br />
<br />
13 Didik Supriyanto, Perlawanan Pers mahasiswa: Protes Sepanjang NKK/BKK (Jakarta: Sinar Harapan dan Yayasan Sinyal, 1998).<br />
<br />
14 Antara lain, Koran Mahasiswa UMI-Makassar Cakrawala Ide, dalam edisi perdananya (1994) diturunkan laporan utama dengan judul wah: "Bangkitlah Pers Mahasiswa"! Majalah Time edisi March 30, 1998, menyebut persma Indonesia sebagai "behind the scenes"—penggerak Reformasi Mei 1998 yang terduga. Disertasi David T. Hill dari Murdoch University, Australia, berjudul The Press in New Order Indonesia (Perth: UWAP, 1994) menyinggung sedikit tentang persma. Bagian termenarik dari buku itu ialah Chapter 4, "The Rise of Press Empires", yang mengupas soal konglomerasi pers di Indonesia.<br />
<br />
15 Luqman Hakim Arifin, "Cerita Panjang dari Lombok", dalam BALAIRUNG, Edisi 32/Tahun XV/2000. Biarpun begitu, beberapa proposisi Luqman—selain kategorisasinya tidak tepat, terutama yang berkaitan dengan penjajaran antara "pers" sebagai entitas abstrak dan "mahasiswa" sebagai entitas konkret—bahwa mahasiswa dan pers itu "pelopor perubahan, konsekuen, independen, besar, agung" belum bisa saya setujui sepenuhnya. Bagi saya, diksi seperti ini jelas telah berlebih-lebihan.<br />
<br />
16 Didin S. Damanhuri, Menerobos Krisis: Renungan Masalah Kemahasiswaan, Intelektual, dan Perguruan Tinggi (Jakarta: Inti Sarana Aksara, 1985).<br />
<br />
17 Sastrawan Seno Gumira Adjidarma pernah menulis cerpen yang amat fenomenal: "Dilarang Menyanyi di Kamar Mandi". Sastrawan putra fisikawan Nang Seno ini berteriak, "Bagaimana caranya menertibkan imajinasi?!?!"<br />
<br />
18 Buku Bahasa dan Kekuasaan: Politk Wacana di Panggung Orde Baru (Bandung: Mizan, 1996—editor: Yudi Latif dan Idy Subandy Ibahim) menjelaskan kepada kita soal ini lebih gamblang.<br />
<br />
19 Sengaja hal ini penulis tandaskan untuk menandai bahwa 21 Mei 1998, hari ketika penguasa-despot Soeharto mengundurkan diri dari jabatan presiden RI setelah selama 32 tahun berkuasa, kemudian menjadi satu titik penting dalam sejarah Indonesia, yang membuka banyak kemungkinan baru bagi penataan ulang perikehidupan masyarakat, dan sekaligus memunculkan efek yang dahsyat: kerusuhan sosial, booming pers, resesi ekonomi berkepanjangan, dan masih banyak lagi.<br />
<br />
20 Ignas Kleden, "Kebebasan Pers atau kemungkinan Berkomunikasi?" (kata pengantar), dalam Jacob Oetama, Perspektif Pers Indonesia (Jakarta: LP3ES, 1987).<br />
<br />
21 Gejala ini terjadi juga di BALAIRUNG. Bila ditilik secara seksama, BALAIRUNG terbitan 1997—1998 hampir semua mengupas isu politik dengan perspektik yang sangat leftist: edisi "Gerakan Buruh", "Hitam-Putih Pasca-Soeharto" (plus polling yang menghasilkan kesimpulan bahwa 70,3% mahasiswa UGM tidak setuju bila Seharto dipilih lagi sebagai presiden dalam SU-MPR 1998), "Carut-Marut Gerakan Kerakyatan", dan "Bebas Hambatan Ideologi Kiri". Penulis melihat bahwa gejala ini sangat wajar, terjadi pula pada hampir semua persma.<br />
<br />
22 Saat ini, penulis sedang membantu seorang mahasiswa post-graduate Departemen Linguistik dari Deakin University, Australia, yang sedang menyusun tesis tentang bahasa jurnalistik persma yang terbit pada sekitar Mei 1998. Sebentar lagi semoga kita bisa melihat hasil analisisnya.<br />
<br />
23 Untuk ini, periksa Parakitri Tahi Simbolon, "Mencari Dataran Berpikir Baru", dalam Prisma, No. 2/Februari 1980. Kata Parakitri, "kolonialisme" merupakan suatu teori kemasyarakatan umum yang pertama yang pernah dilahirkan oleh pribumi Indonesia dengan sikap nonkooperasinya terhadap Belanda. Itulah hasil dialektika pemikiran yang cukup lama di antara angkatan Dr. Mohammad Hatta, Ir. Soekarno, dkk.<br />
<br />
24 Kasus "perpecahan" dalam tubuh Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI—organisasi metamorfosis IWMI, SPMI, dan IPMI), yang dipelopori oleh para pegiat persma Yogyakarta, adalah sesuatu yang sangat wajar dan biasa. Selama ini, terjadi tarik-ulur antara pemikiran realistis dan idealis. Setidak-tidaknya, menurut hemat penulis, kita memang tak mungkin lagi untuk membuat organisasi yang kesibukannya adalah "berkongres untuk berkongres lagi". Lihat Luqman Hakim Arifin, op. cit.<br />
<br />
25 Didik Supriyanto, "Reorientasi Pers Mahasiswa", dalam BALAIRUNG, Edisi 29/Th. XIV/1998. Di antaranya, Didik menilai bahwa kontribusi persma pada gerakan penggulingan Soeharto tidaklah signifikan. Persma juga sudah teralienasi dari komunitasnya sendiri, di samping unsur periodisitasnya sudah terabaikan. Kata Didik, kalaulah persma tetap ingin "omong besar", setidaknya itu dikontekskan dengan komunitasnya. Lantas, Bhayu Mahendra, seorang mantan aktivis Bergerak! (UI), menanggapi tulisan Didik tersebut melalui karangannya yang berjudul "Pers Mahasiswa Era Reformasi" (BALAIRUNG, Edisi 30/Th. XIV/2000). Bhayu justru menganggap persma punya peran yang tidak bisa diabaikan semasa gelombang aksi Reformasi 1998, misalnya lewat media-media aksi temporer seperti Bergerak!, Gugat, dll.—seperti yang sudah saya sebut di muka. Perdebatan wacana reposisi persma ini, bahkan sampai makalah ini ditulis, masih memenuhi ruang-ruang diskusi di markas BALAIRUNG. Paling tidak, penulis di sini berusaha merangkumkan itu semua.<br />
<br />
26 Meski sebenarnya "sistem integral" adalah bahasa yang sangat umum dalam ilmu manajemen, namun kami memiliki sejumlah spesifikasi pemaknaan yang subjektif. Terutama, kami merumuskan turunan konsep sistem integral itu pada masing-masing divisi.<br />
<br />
27 Dalam bahasa kami, lebih-kurang, BALAIRUNG sekarang tidak ubahnya dengan "Prisma yang Tempo" atau "Scientific American yang Time". Jadi, bagaimana cara mengemas "pikiran jurnal" menjadi "majalah berita populer"? Itulah eksperimentasi yang terasa lezat.<br />
<br />
28 Ketika makalah ini ditulis, BALAIRUNG Koran kami hentikan penyiarannya setelah mencapai 13 edisi dalam tiga bulan. Kami sedang melakukan kajian SWOT untuk mereposisinya. Paling tidak, selain untung-rugi finansialnya, kadar efektivitas dan kesiapan manajemen SDM merupakan pertimbangan penting kami. Rekan kami serumah di Bulaksumur B-21, SKM Bulaksumur, menerbitkan newsletter mingguan Bulaksumur Pos yang dibagikan secara gratis (beroplah antara 2000—4000 eksemplar), penulis nilai merupakan suatu pilihan yang tegas untuk kembali kepada community paper—yang merupakah "khittah" pendirian SKM Bulaksumur. Bagi penulis, pilihan tegas semacam ini membuka jalan baru, berikut berbagai kemungkinannya, bagi reposisi persma yang amat penting. Di Yogyakarta, community papers banyak diterbitkan di kampung-kampung, misalnya Angkringan, Karangmalang Pos, dll.<br />
<br />
29 Dalam persiapan perumusan kerja sama pers kampus on-line dengan Detikcom, BALAIRUNG pernah menggelar acar Seminar "Cybermedia: Menuju Pers Kampus On-line", 24 Februari 2000, yang menghadirkan para pemakalah: Budiono Darsono (Detikcom), Didik Supriyanto (AJI), dan Yayan Sopyan (Agrakom).<br />
<br />
30 Sayangnya, kami melihat bahwa Detikcom justru "tidak serius" menggarap ini. Semenjak memorandum of understanding (MoU) ditandatangani bersama antara Detikcom dan persma, 24 Februari 2000, Detikcom masih berutang banyak: launching yang belum dilaksanakan, biaya operasionalisasi bulanan yang macet, dll.<br />
<br />
31 Pedoman Kerja Sama Iklan BALAIRUNG, 1999. Salah satu upaya promosi terakhir kami (untuk BALAIRUNG edisi Spiritual), selain lewat pengiklanan BALAIRUNG di Republika, Kedaulatan Rakyat, dan radio-radio di Yogyakarta, ialah dengan menyelenggarakan acara Lesehan Spiritual di Hotel Natour Garuda, Yogyakarta, 21 Agustus 2000, mengundang pakar meditasi Anand Krishna—yang buku-bukunya (38 judul) dibredel oleh penerbitnya sendiri: Gramedia.<br />
<br />
32 Draf Keputusan Mubes BALAIRUNG, 15 April 1999.</div>
Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3487622107129209275.post-48716172069804650902020-04-13T03:08:00.000-07:002020-04-13T03:08:03.304-07:00Perusahaan Pers Butuh Insentif agar Dapat Jalankan Fungsi Pers<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhD76Ra_5zEx6z3v6iILQ6CEiMQtxCrSYdCIgv8stOwWAwhi2GaZc8gwBQPN1RUGTHCqjWGkWEIxiqU9f2abrow8atnSCeNIlKxkYz4k4fVH44JY8wa_pg7pzhLUmJ5sDAs3exF4FOXpoFG/s1600/IMG_20200413_114146.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="401" data-original-width="720" height="178" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhD76Ra_5zEx6z3v6iILQ6CEiMQtxCrSYdCIgv8stOwWAwhi2GaZc8gwBQPN1RUGTHCqjWGkWEIxiqU9f2abrow8atnSCeNIlKxkYz4k4fVH44JY8wa_pg7pzhLUmJ5sDAs3exF4FOXpoFG/s320/IMG_20200413_114146.jpg" width="320" /></a></div>
Perusahaan pers membutuhkan insentif dari pemerintah di masa krisis akibat pandemi Covid-19. Tak sekadar agar bisnis tetap berlanjut, tapi juga agar tetap dapat menjalankan fungsinya menyampaikan informasi kepada publik.<br />
<br />
Beragam media cetak yang masih hadir di Indonesia. Fungsi pers saat ini sangat penting dalam upaya menangani pandemi Covid-19. Masyarakat membutuhkan informasi yang aktual dan kredibel terkait Covid-19.<br />
<br />
Media mempunyai peran sangat penting untuk memberikan informasi aktual dan kredibel terkait Covid-19. Namun, krisis akibat pandemi Covid-19 ini semakin mengancam kelangsungan hidup perusahaan pers yang mengandalkan hidup dari pendapatan iklan. Karena itu, perusahaan pers membutuhkan insentif dari pemerintah agar tetap dapat menjalankan fungsinya dengan baik.<br />
<br />
<br />
<a name='more'></a>Saat ini ada 1.305 perusahaan pers yang terdata di Dewan Pers. Pada 2019, terdapat 644 media cetak anggota Serikat Pekerja Suratkabar (SPS). Namun, saat ini yang masih terbit hanya 433 media. Sejumlah media cetak tutup karena beberapa alasan, antara lain harga kertas yang terus naik, sementara pendapatan iklan menurun.<br />
<br />
Dalam surat tertanggal 9 April 2020 yang ditandatangani Ketua Dewan Pers Mohammad Nuh, Dewan Pers mengajukan sembilan usulan insentif bagi perusahaan pers kepada Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto. Dalam rapat daring pada Sabtu (11/4/2020) dengan peserta dari Dewan Pers, Forum Pimpinan Redaksi, dan konstituen pers nasional, Erlangga mengatakan, pemerintah akan menindaklanjuti usulan tersebut.<br />
<br />
<div class="separator" style="clear: both; text-align: center;">
<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjHLw-vy08aLJzGNK4jY7Ud42s8kkoohj1XYG2li2hNDckRkiM3gHtX01mQApVVLCgwJtEzsUEBZTaTv2dEUaVqYZbNnOLZvI71yygFZIh3NgUY-I2zpQ-mWl4CZ8IBMtjw0eO-T-lmqiE0/s1600/IMG_20200413_114130.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="971" data-original-width="688" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjHLw-vy08aLJzGNK4jY7Ud42s8kkoohj1XYG2li2hNDckRkiM3gHtX01mQApVVLCgwJtEzsUEBZTaTv2dEUaVqYZbNnOLZvI71yygFZIh3NgUY-I2zpQ-mWl4CZ8IBMtjw0eO-T-lmqiE0/s320/IMG_20200413_114130.jpg" width="226" /></a></div>
Terkait usulan penghapusan kewajiban pembayaran Pajak Penghasilan (PPh) 21, 22, 23, dan 25 selama tahun 2020, Airlangga mengatakan, pemerintah telah memperluas sektor usaha yang mendapatkan keringanan PPh 21 dan akan memasukkan perusahaan pers dalam skema ini. Pemerintah menanggung PPh Pasal 21 untuk pekerja dengan penghasilan maksimal Rp 200 juta per tahun.<br />
<br />
Namun, pemerintah tidak bisa memberikan insentif berupa subsidi listrik 20 persen bagi perusahaan pers selama pandemi Covid-19. Alasannya, subsidi listrik saat ini diberikan untuk pelanggan kecil, yaitu pembebasan untuk pelanggan listrik 450 volt ampere (VA) dan potongan 50 persen untuk pelanggan listrik 900 VA.<br />
<br />
”Untuk subsidi 10 persen per kilogram pembelian kertas (koran) juga belum. Alasan pemerintah karena (penjualan) kertas dikuasai swasta. Padahal, kan, pemerintah bisa mengurangi pajak perusahaan kertas sehingga harga kertas bisa menjadi lebih murah. Saat ini di Jakarta harga kertas Rp 14.000 per kilogram, di daerah bisa Rp 17.000 per kilogram,” kata Wakil Ketua Dewan Pers Hendry Ch Bangun, di Jakarta, Minggu (12/4/2020).<br />
<br />
Semakin turun<br />
Wakil Ketua Umum SPS Januar Primadi Ruswita mengatakan, kenaikan kurs dollar AS terhadap rupiah membuat harga kertas yang menjadi komponen produksi terbesar media cetak juga naik. Kondisi ini semakin memberatkan perusahaan pers yang selama ini menghadapi penurunan pendapatan iklan yang menjadi pendapatan utama media cetak.<br />
<br />
”Kini, pendapatan turun drastis karena banyak produk komersial menghentikan dulu belanja iklannya. Sementara dari penjualan sirkulasinya sebagian besar minus karena sebagian besar media menerapkan harga jual ke agen dan pengecer di bawah biaya produksi dan distribusi. Karena itu, insentif dari pemerintah dibutuhkan,” kata Januar yang juga Direktur Bisnis Harian Pikiran Rakyat ini.<br />
<br />
Sebelum pandemi Covid-19, kata Januar, kalangan perusahaan media cetak mengajukan usulan penghapusan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) kertas koran. Dalam acara dengan Forum Pimred pada 18 Agustus 2019, kata dia, Presiden Joko Widodo menyampaikan bahwa pemerintah akan membebaskan PPN kertas koran. ”Semoga usulan ini juga segera terealisasi,” katanya.<br />
<br />
Saat ini, kata Januar, sejumlah perusahaan media telah melakukan langkah-langkah untuk mempertahankan usahanya selama pandemi Covid-19. Dari sisi produk, ada yang memangkas tirasnya, mengurangi halaman, mengecilkan format halaman, dan menghentikan penerbitan edisi hari tertentu. Dari sisi operasional, ada yang menawarkan pensiun dini dan merumahkan karyawannya untuk sementara waktu.<br />
<br />
Jangan korbankan karyawan<br />
Pandemi Covid-19 ini, kata Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Abdul Manan, memperparah krisis yang telah dialami perusahaan pers. Jika penanganan Covid-19 ini tidak bisa dilakukan dalam tiga bulan sejak kasus pertama ditemukan di Indonesia, dia khawatir dampaknya akan semakin berat lagi. Dia berharap perusahaan media tetap dapat beroperasi dan tidak sampai mengorbankan kesejahteraan karyawan.<br />
<br />
”Efisiensi untuk meminimalkan biaya jangan sampai menggerus pendapatan karyawan. Ini harus menjadi pilihan terakhir. Sense of crisis juga agar dipelihara,” katanya.<br />
<br />
Hendry mengatakan, pengalokasian anggaran diseminasi program dan kinerja pemerintah untuk perusahaan pers yang terdaftar di Dewan Pers bisa membantu perusahaan pers yang kehilangan pendapatan iklannya. Tentu dengan tetap menjaga independensi dan profesionalisme pers. ”Pemerintah berkepentingan menyebarluaskan informasi tentang penanganan Covid-19 ini,” ucap Hendry.<br />
<br />
Oleh YOVITA ARIKA<br />
<br />
Editor ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN<br />
<br />
Sumber: Kompas, 12 April 2020Unknownnoreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-3487622107129209275.post-80107895784638427032020-03-04T05:37:00.001-08:002021-05-25T06:42:34.221-07:00Aturan Pembayaran Konten Berita di Australia Dinilai dapat Diterapkan di Indonesia<p><i></i></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><i><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEglQp44U0n2IvcLKRjMmqbJj8_EF1L73qwi6r497ozKvoRpJijBjHy8eZ09QDxjYpOLbXZp4SHKmE-kIcV0qJxU8B3Sf-IXa5bx601LBCWJ-tsyzmJWwuSUeYxkBYb_w-54ivPC28jXmJWh/s720/IMG_20210525_162502.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="458" data-original-width="720" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEglQp44U0n2IvcLKRjMmqbJj8_EF1L73qwi6r497ozKvoRpJijBjHy8eZ09QDxjYpOLbXZp4SHKmE-kIcV0qJxU8B3Sf-IXa5bx601LBCWJ-tsyzmJWwuSUeYxkBYb_w-54ivPC28jXmJWh/s320/IMG_20210525_162502.jpg" width="320" /></a></i></div><i>KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA---Telepon seluler yang saat ini tidak hanya sebatas alat komunikasi melainkan sebagai sumber informasi dari berbagai media daring, Kamis (3/9/2020). Sebagian besar media cetak pun saat ini juga mulai berpindah menjadi media daring untuk mengikuti perkembangan zaman.</i><p></p><p>Indonesia dinilai dapat mengadopsi kebijakan di Australia yang mengatur agar Facebook dan Google membayar konten berita lokal dari perusahaan media untuk memastikan keberlanjutan industri media massa pada era disrupsi.</p><p>Indonesia dinilai dapat mengadopsi kebijakan di Australia yang mengatur agar Facebook dan Google membayar konten berita lokal dari perusahaan media yang terbit di platform tersebut. Ini bertujuan agar tercipta persaingan yang sehat dan adil serta untuk memastikan keberlanjutan industri media massa pada era disrupsi digital.</p><p><span></span></p><a name='more'></a>Hal tersebut mengemuka dalam diskusi daring ”Bargaining Code Australia dan Relevansinya untuk Indonesia”, yang diselenggarakan Dewan Pers, Jumat (21/5/2021). Hadir sebagai pembicara Ketua Komisi Hubungan Antar-lembaga dan Internasional Dewan Pers Agus Sudibyo, Ketua Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Wens Manggut, Pemimpin Redaksi Majalah Tempo 1999-2006 Bambang Harymurti, dan CEO Tribun Network Dahlan Dahi.<p></p><p>Agus Sudibyo mengemukakan, Pemerintah Australia pada Februari lalu telah mengamandemen dan mengesahkan undang-undang yang disebut News Media Bargaining Code. Aturan ini mewajibkan platform besar, seperti Facebook dan Google, untuk bernegosiasi dengan perusahaan media agar membayar dan membagi pendapatan atas konten berita lokal yang terbit di platform tersebut.</p><p>Menurut Agus, aturan tersebut disahkan menyusul redupnya media massa konvensional di era disrupsi digital. Hal ini disebabkan karena kegamangan media beradaptasi dengan digitalisasi serta ekosistem yang tidak mendukung persaingan secara sehat dan adil.</p><p>”Rantai persoalan yang ingin diselesaikan oleh undang-undang ini adalah masalah yang cukup familiar untuk pengelola media di Indonesia, yaitu memonetisasi berita oleh platform digital tanpa kompensasi yang memadai,” ujarnya.</p><p></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhSGl1WF5r-JhBBb6S_LlbRYkkpiBV20bSI3ZqRcc-hBSBVmfHaEwjNkfjO4LEJfERX4d1aG2718ydruwUWyMbRuB14v-lZP0PxQPfZWblgzHTkgOI6RBSroXkDi5WSIpj2P4s4Fx7IAhFw/s980/IMG_20210525_162442.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="980" data-original-width="720" height="320" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhSGl1WF5r-JhBBb6S_LlbRYkkpiBV20bSI3ZqRcc-hBSBVmfHaEwjNkfjO4LEJfERX4d1aG2718ydruwUWyMbRuB14v-lZP0PxQPfZWblgzHTkgOI6RBSroXkDi5WSIpj2P4s4Fx7IAhFw/s320/IMG_20210525_162442.jpg" /></a></div>Selain itu, kata Agus, persoalan lainnya yang diharapkan dapat diselesaikan oleh aturan ini ialah pengabaian hak cipta atas karya jurnalistik dan ketertutupan sistem algoritma platform digital. Yang terpenting, aturan ini juga menjadi jalan agar tidak ada lagi monopoli, seperti data pengguna, distribusi konten, dan periklanan digital. Semua persoalan tersebutlah yang membuat persaingan usaha menjadi timpang.<p></p><p>Agus menjelaskan, guna menentukan perusahaan yang masuk dalam mekanisme ini, dilakukan uji konten, uji standar profesional, uji khalayak, dan uji pendapatan. Jadi, selain produksi konten yang berkualitas, perusahaan yang bisa mengikuti mekanisme dalam aturan ini, yakni media massa dengan pendapatan per tahun sebesar 150.000 dollar Australia.</p><p>Meski demikian, terdapat juga tantangan dalam penerapan aturan ini seperti adanya friksi atau perbedaan antara pengelola media besar dan kecil serta kemampuan bernegosisasi dengan platform. Sebab, perusahaan media kecil dinilai sudah telanjur nyaman dengan ekosistem industri digital dari Facebook dan Google yang mengedepankan traffic.</p><p>”Terdapat juga isu dan kritik yang muncul, misalnya, apakah wartawan dan kreator konten benar-benar akan diuntungkan dengan terbitnya undang-undang ini dan jurnalisme kepentingan publik semakin baik. Ini menjadi pertanyaan menarik yang perlu dibahas lebih lanjut,” ujarnya.</p><p>Dibutuhkan Indonesia</p><p>Wens Manggut memandang bahwa aturan yang diterapkan di Australia sangat dibutuhkan dan dapat diterapkan di Indonesia. Sebab, Indonesia memiliki industri media yang sangat besar khususnya di sektor digital. Hal ini yang menjadikan situasi industri media massa di Indonesia dinilai lebih rumit dan kompleks dibandingkan Australia.</p><p>”Jika kita ingin memperbaiki atau membuat media kita lebih ramah terhadap bisnis, tidak cukup membenahi media dan jurnalismenya saja tanpa menyentuh ekosistem digitalnya. Model yang dibuat Australia ini masuk ke ekosistem tersebut,” katanya.</p><p>Bambang Harymurti mengatakan, laporan Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS) menunjukkan bahwa jumlah media cetak di Indonesia yang sempat meningkat seusai reformasi saat ini terus mengalami penurunan signifikan. Tanda-tanda penurunan ini telah terdeteksi sejak 2013 yang ditandai dari penutupan media cetak secara parsial bahkan total.</p><p>”Koran cetak menjadi korban awal karena pendapatan utamanya, yakni iklan mengalami penurunan drastis. Pandemi Covid-19 membuat kondisi sebagian penerbitan yang sudah doyong akibat disrupsi digital kini semakin ambruk,” ujarnya.</p><p><i></i></p><div class="separator" style="clear: both; text-align: center;"><i><a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiQ7OuMH0ocC8QRAPCPCsh-F1_KLfymQhcusHoTMMQGlrAMBTg-i6FZEcO8-_XJqKUwi5xwcGFt_fNgTN3xdX9_7RRbSITwDwdpOCr2HG-xF5QfzWY_zF7ro86VrVHEih3U6My6cBihowiy/s720/IMG_20210525_162419.jpg" imageanchor="1" style="clear: left; float: left; margin-bottom: 1em; margin-right: 1em;"><img border="0" data-original-height="484" data-original-width="720" src="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEiQ7OuMH0ocC8QRAPCPCsh-F1_KLfymQhcusHoTMMQGlrAMBTg-i6FZEcO8-_XJqKUwi5xwcGFt_fNgTN3xdX9_7RRbSITwDwdpOCr2HG-xF5QfzWY_zF7ro86VrVHEih3U6My6cBihowiy/s320/IMG_20210525_162419.jpg" width="320" /></a></i></div><i>KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA----Pekerja memasang koran terbitan terbaru pada papan di Jalan Sultan Agung, Kota Semarang, Jawa Tengah, Kamis (3/9/2020). Perkembangan teknologi dan media daring berpengaruh besar terhadap tren media cetak seperti koran yang terus menurun pembacanya.</i><p></p><p>Sementara di sisi lain, menurut Bambang, kenaikan kuantitas media siber secara drastis tidak diikuti dengan kualitas jurnalistik. Media siber terjebak dalam sindrom mengejar klik atau clickbait dengan isi berita dan judul yang sensasional sekaligus ajang penyebaran berita bohong.</p><p>”Satu orang dapat mendirikan dan menjalankan portal berita. Bila berhasil meraih banyak klik, mereka boleh berharap mendapat bayaran dari adsense Google atau Facebook ad breaks. Model bisnis kedua platform inilah yang menimbulkan masalah karena menciptakan peluang bisnis dari produksi berita bohong,” ungkapnya.</p><p>Bambang pun menekankan masih terlalu dini untuk memastikan aturan yang diterapkan di Australia dapat menjadi solusi transformasi digital bagi penerbitan karya jurnalistik. Namun, aturan tersebut tetap layak dicoba untuk diterapkan di Indonesia.</p><p>Oleh PRADIPTA PANDU</p><p>Editor: ADHITYA RAMADHAN</p><p>Sumber: Kompas, 21 Mei 2021</p>Unknownnoreply@blogger.com0