Sunday, November 10, 2019

Aristides Katoppo, Jurnalis “Pembangkang” yang Selalu Mau Belajar

KOMPAS/ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN--Diskusi “Mengenang Aristides Katoppo, Nurani Jurnalis di Tengah Ketidakpastian,” di Perpustakaan Nasional, Jakarta, Jumat (8/11/2019).

Jurnalisme tak akan mati jika jurnalis mau berupaya keras menghasilkan kualitas jurnalisme yang berbasis nalar, naluri, nurani, dan nyali. Tantangan lain, jurnalis tak hanya sebagai pelapor, tetapi juga verifikator.

“Matinya media cetak mungkin sulit dihindari, tetapi kematian jurnalisme adalah mengerikan”. Kekhawatiran inilah yang dirasakan Aristides Katoppo (81), wartawan senior yang baru saja berpulang kepada Hyang Khalik, Minggu (29/9/2019). Meski ada segurat kegalauan, tapi Aristides tetap yakin, jurnalisme tidak akan mati apabila jurnalis mau berupaya keras menghasilkan kualitas jurnalisme  yang berbasis nalar, naluri, nurani, dan nyali.


Ya, media bisa berubah kapan saja, tapi nilai jurnalistik (semestinya) abadi. Bagi Aristides, jurnalisme bukan sekadar teknik penyajian semata, tapi lebih dari itu, nilai-nilai yang ditawarkan di dalamnyalah yang harus tetap dipertahankan, mulai dari asas keberimbangan, kejujuran, menjunjung kebenaran, dan sebagainya.

Hingga akhir hayatnya, salah satu pendiri Aliansi Jurnalis Independen (AJI) ini tetap memegang teguh komitmennya dalam mengusung asas-asas jurnalisme murni. “Akhir 1972, pada masa Orde Baru, harian Sinar Harapan diberedel dan Aristides Katoppo sebagai Pemimpin Umum dikirim ‘belajar’ ke Amerika Serikat. Ini menjadi semacam bentuk pengasingan bagi dirinya. Ia juga masuk dalam daftar hitam untuk tidak dipilih lagi menjadi pemimpin redaksi. Tapi, meski demikian dia tetap tak patah semangat memengaruhi para junior untuk tetap memegang asas-asas jurnalisme murni,” ungkap Atmadji Sumakirdjo, mantan jurnalis Sinar Harapan, Jumat (8/11/2019), dalam Diskusi “Mengenang Aristides Katoppo, Nurani Jurnalis di Tengah Ketidakpastian,” di Perpustakaan Nasional, Jakarta.

Pemberedelan Sinar Harapan pada 1972 rupanya terulang lagi pada 1986 karena sebuah keteledoran jurnalistik, yaitu memuat narasumber tidak jelas dan proses cek dan ricek yang lemah. Rupanya, pada kasus kedua ini, Sinar Harapan terjerumus karena melalaikan ilmu jurnalistik yang telah diwariskan Aristides bertahun-tahun.

“Ciri jurnalistik Aristides adalah terus terang tanpa basa-basi dan selalu melengkapi banyak narasumber dalam sebuah berita. Kalau ini dipegang, tahun 1986 Sinar Harapan tidak diberedel pemerintah,” papar Atmadji.

Selalu mau belajar
Mantan jurnalis senior Tempo Bambang Harymurti  menilai Aristides sebagai seorang “pembangkang” yang selalu mau belajar hingga terjatuh. Meski medianya berkali-kali diberedel, namun dia selalu lolos dari ketakutan-ketakutan.

“Beliau bisa membedakan antara lawan tanding dengan musuh. Sebagai contoh, Bang Tides bisa bercanda dengan Benny Moerdani (satu tokoh militer Indonesia paling berpengaruh di era Orde Baru). Bagi dia, orang-orang yang berpotensi menangkap dia adalah lawan tanding, bukan musuh. Begitu Bang Tides datang wawancara, dia bisa dekat dengan orang-orang besar, dia  bisa bersiasat tetapi dengan tidak berkompromi pada hal-hal yang prinsip,” ucapnya.

Bagi seorang Aristides Katoppo, perbedaan justru menjadi sebuah simfoni yang indah. Dia bisa membuat keberisikan yang luar biasa (karena perbedaan) menjadi sesuatu yang indah. Inilah warna yang terjadi si ruang redaksi Sinar Harapan dengan segala keragaman karyawannya  yang berasal dari berbagai macam suku, agama, dan kelompok.

Sekarang, semangat melihat perbedaan sebagai sebuah keindahan inilah yang mulai hilang. Tantangan konkrit yang dihadapi jurnalis masa kini adalah munculnya gap-gap atau kelompok-kelompok pemuja tokoh-tokoh politik tertentu.

Dari pelapor menjadi verifikator
Pengajar jurnalistik Universitas Multimedia Nusantara Ignatius Haryanto juga mengatakan, kita sekarang hidup dalam situasi yang sudah berubah. Pada tahun 1970-1979, wartawan masih menjadi sumber utama dan mempunyai akses lebih dari orang pada umumnya. Tapi, seiring perkembangan teknologi, semua orang yang kini masing-masing memegang telepon pintar dan bisa mengirim apa pun ke mana-mana.

“Ini demokratisasi, tetapi di sisi lain ini mengkhawatirkan karena menjadikan suasana keberisikan. Akhirnya banyak orang akan bertanya mana yang harus dipercaya dan dipegang. Di sinilah tugas jurnalis bergeser dari awalnya sebagai pelapor menjadi verifikator dari apa pun yang muncul,” kata dia.

Dalam situasi yang berisik ini, tugas jurnalis adalah memberikan kejernihan dan menunjukkan mana yang benar di tengah banyaknya disinformasi. Bagaimana cara memadamkan ribuan berita bohong dan disinformasi yang bertebaran setiap hari? Dalam kondisi inilah, jurnalis mesti menjadi verifikator dan di sisi lain, publik juga harus cerdas memilih mana informasi yang benar dan tidak.

“Esensi jurnalis tidak berubah karena informasi yang datang dari media yang dipercaya membuat orang bisa melakukan pilihan-pilihan yang bertanggungjawab. Jurnalisme harus tetap relevan bagi masyarakat. Masyarakat kita perlu dididik, perlu ada pendidikan media digital karena kita sekarang masuk pada era pasca-kebenaran. Masa kegelapan ini akan berakhir pada era rasionalisme,” ujarnya.

Ketua AJI Abdul Manan menambahkan, belajar dari sejumlah kasus kekerasan yang dialami oleh jurnalis di Indonesia beberapa waktu terakhir, jurnalis kini menghadapi ujian dasar untuk menyampaikan kebenaran-kebenaran ke publik.

“Kalau melihat kasus-kasus kekerasan yang ada, beberapa media diserang karena menjalankan fungsinya, yaitu mengungkap kebenaran. Ini tantangan yang besar. Dengan serangan ini, perlu dipikirkan pula bagaimana menginisiasi pendidikan literasi pers kepada masyarakat (termasuk aparat),” tambahnya.

Oleh ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN

Editor YOVITA ARIKA

Sumber: Kompas, 11 November 2019

No comments:

Post a Comment

Prawacana

Koran Republika Cetak Berhenti Terbit