Tuesday, July 14, 2020

Agama, Pers, dan Pencerahan Peradaban

Lewat karyanya, Megatrends 2000: Ten New Directions for The 1990's, Naisbit dan Aburdene melihat munculnya kebangkitan agama  (religiousrevival) lewat peningkatan spiritualitas di pelbagai  penjuru dunia. Dibawah tarikan gravitasi tahun 2000, kekuatan spiritualitas mengimbangidominasi ilmu pengetahuan dan teknologi. Orang modern tidak lagi melihatilmu dan teknologi sebagai puncak  prestasi peradaban manusia, tapi melihat agama sebagai salah satu  alternatif bagi perimbangan kehidupan material. Kita boleh setuju atau menolak ramalan kedua futurolog itu. Tetapi bahwa dipelbagai belahan dunia sekarang kehidupan beragama menjadi  semakin marak,adalah hal yang tidak bisa dipungkiri. Di Indonesia pun,dari tahun ketahun kita merasakan adanya peningkatan kehidupan beragama. Di tengahderasnya serbuan informasi baik lewat media cetak  maupun elektronik, orangmakin memerlukan agama sebagai pegangan hidup yang diharapkan dapatmemberikan penjelasan atau panutan bagi masa  depan dirinya, keluarganya,dan bahkan bangsanya. Di sisi lain,   masyarakat beragama juga dihadapkanpada pilihan untuk meresponi  modernitas dan modernisasi secara kritis dankreatif dengan  memanfaatkan referensi ajaran agama. Bagaimanakah mediamassa, khususnya pers nasional kita, meresponi perkembangan itu?


Agama, Makna Hidup, dan Ekstensi Manusia
Secara sosiologis, agama berfungsi sebagai alat pengenalan diri bagi manusia dalam menemukan makna hidup dan lingkungannya. Agama adalahkebutuhan fitri yang selalu muncul di hati nurani serta batiniah manusia.Karena itu, usaha apa pun yang dilakukan untuk menegasikan agama darikehidupan manusia, tidak akan pernah berhasil. Secara sosial agama mungkinbisa dikekang, tapi secara individu sulit mengesampingkan rasa keberagamaan yang melekat dalam diri manusia. Ini karena agama  resisten terhadapkekuatan-kekuatan anti spiritual, di samping sumber  nilai bagi manusiadalam mencari keselamatan, kebahagiaan, dan  kebenaran.                                                         

Di lain pihak, media massa atau pers, seperti dikatakan oleh sosiolog dan pakar komunikasi Marshall McLuhan, adalah the extension of man, ekstensi manusia. Menurut McLuhan, kodrat pembawaan dan kebutuhan essensial manusia adalah berkomunikasi. Melalui komunikasi,  manusia menyatakan diri, berbicara, menerima dan menyampaikan pesan, berdialog, serta menyerap apayang dilihat dan didengarnya. Sebagai hasil karya budaya masyarakat manusia, pers dan media massa memberikan tempat bagi individu danmasyarakat -- dengan pelbagai latar belakang, asal usul sosial, danperadaban yang dimiliki -- ekspresi, gagasan,  pemikiran, dan aksinya.                                             

Revolusi informasi telah menyebabkan meningkatnya jumlah maupun   kualitasmedia massa dan pers di tengah-tengah kita. Setiap saat, di mana pun kitaberada, kita dikepung dan dijejali pelbagai informasi dengan segalakekurangan dan kelebihannya, serta kebaikan dan  keburukannya. Ironisnya, peta bumi kekuatan informasi dunia itu sangatlah  timpang.Negara-negara maju (Barat) memegang hegemoni dalam arus  informasi duniasehingga menciptakan pola hubungan ''pusat-pinggiran''(center-periphery) yang sifatnya deterministik. Diperkuat oleh prosesarus informasi, tercipta struktur dominasi negara maju sebagai ''pusat'' dimana produk-produk dan keinginan sosial, ekonomi, maupun politik menjadikonsumsi negara berkembang sebagai ''pinggiran''. Keadaan seperti ini telahmenyebabkan negara-negara pusat, kata Johan Galtung, ''merupakan jendeladunia'' (window of theworld) bagi negara-negara pinggiran. Oliver Boyd-Barret, mahaguru ilmu komunikasi pada Open University AS, dalam penelitiannya terhadap pemanfaatan jasa infomasi dari AS dan negara-negaraBarat lainnya oleh negara-negara Asia menemukan fakta, arus infromasi darinegara-negara maju itu mendominasi isi media cetak dan elektronik, tanpa ada kemampuan dari negara-negara Asia untuk  mengimbanginya dalam hal materiinformasi yang dihasilnya maupun kecanggihan teknologinya. Keadaan initelah memunculkan apa yang disebut Barret sebagai ''imperialisme media''. Preferensi penyebaran informasi dan pemberitataan itu biasanya erat kaitannya dengan persoalan ''ideologis''. Barat menganut ideologi freeflow of ideas by words and image. Ideologi ini kemudian diterjemahkan: bebas memberitakan apa saja yang menarik diketahui umum, tanpa mempersoalkan konsepsi tradisional, budaya, maupun agama dari  objek yangdijadikan bahan berita. Bahkan dalam pemberitaan yang berhubungan dengan Islam dan masyarakat Islam, seringkali disertai dengan imagi-imagidistortif. Itulah sebabnya Edward Said dalam Covering Islam secaratajam mengkritik cara-cara kantor berita Barat menyajikan Islam sebagai berita, yang dinilainya superfisial. Hal itu bisa terjadi karenaketidaktahuan atau kesengajaan.  Di tengah era informasi dan globalisasi sekarang ini, berita atau  analisa yang menyangkut masalah agama nampaknya bukan saja menarik,  tetapi jugalayak ''dijual''. Berita, pemikiran, maupun analisa keagamaan seringkali menjadi santapan pembaca surat kabar dan majalah  maupun penonton televisi.Meskipun tidak semua, beberapa media massa   dan pers nasional memberi tempat bagi rubrik agama baik secara tetap, temporer, atau kasuistik. Inimenunjukkan, produk berita yang bersifat sekuler tidak cukup memenuhikebutuhan untuk memperoleh dan mengakses  informasi. Apalagi bagi masyarakat religius seperti Indonesia—berita, pemikiran atau analisa keagamaan menjadi penting bagi pemenuhan kebutuhan spiritual pembaca.                                       

Tidak mengherankan jika dalam dua dasawarsa terakhir ini, penerbitan buku-buku agama atau yang bertema keagamaan meningkat dengan amat pesat. Ditengah banjirnya informasi yang sekuler, kemajuan iptek, peningkatan industrialisasi, dan akselerasi pembangunan, muncul apa yang disebutSoedjatmoko sebagai ''kerinduan umum terhadap makna hidup yang lebihtinggi.'' Kerinduan semacam ini muncul ketika orang semakin menyadari bahwaideologi-ideologi modern dan sekuler yang pernah  menjanjikan perbaikannasib umat manusia belum berhasil memenuhi  janjinya. Orang lantas melirikdan mencari jawaban dari agama terhadap persoalan kekinian dan masa depan.                                 

Potensi dan kelemahan pers Islam
Beberapa media massa dan pers nasional berusaha memenuhi kebutuhan tersebut, antara lain dengan menyediakan rubrik atau kolom khusus semacam''santapan rohani'', ''hikmah'', ''renungan minggu'', dan sejenisnya.Ternyata mendapat sambutan baik dari pembaca. Kalau pun tidak ada rubriksemacam itu, umumnya media massa kita memberi tempat lumayan bagi pemuatanartikel, ulasan, atau berita yang ada hubungannya dengan agama. Tetapi,karena terbatasnya tempat dan halaman serta sifatnya sebagai penerbitanumum, artikel, ulasan, atau berita yang menyangkut agama masih terbatas. Tempat atau porsi yang cukup besar bagi artikel, ulasan, dan  berita-beritayang menyangkut agama diberikan media massa atau pers   tertentu yang sejakawal penerbitannya memang bercirikan atau  mendefinisikan diri sebagai''pers Islam''. 

Dalam sejarah perkembangan pers nasional sebelum dan sesudah kemerdekaan,pers Islam mempunyai tempat dan peranan penting. Seiring  dengan gerak danarus kebangkitan nasional di tanah air, pers Islam  berkembang melanjutkanrisalah Pan Islamisme yang dirintis Jamaluddin  Al-Afghani dan MohammadAbduh lewat majalah Al Urwatul Wutsqa  (terbit di Paris akhir abadke-19). Tercatat nama-nama seperti majalah Al Munir(1911) di Sumatrapimpinan Dr. H. Abdullah Ahmad, Utusan Hindia (1912) terbit di Surabayadipimpin HOS Tjokroaminoto, Panji Islam (1934) pimpinan H. ZainalAbidin Ahmad, Pedoman Masyarakat pimpinan Hamka dan H.M. YunanNasution. Dua majalah terakhir mempunyai pengaruh cukup luas. PanjiIslam yang lebih mengarahkan perhatiannya pada politik Islam, dikenalkarena memuat polemik dua  penulis terkemuka yakni Ir. Soekarno dan M.Natsir. Sebuah polemik yang mencerahkan pemikiran dan mempunyai nilaihistoris bagi pertumbuhan   bangsa.                                                             

Sesudah kemerdekaan bermunculan pula pers Islam semacam Panji Masyarakat, Kiblat, Duta Masyarakat (organ NU), Mercu Suar (organ Muhammadiyah), dan Abadi (organ Masyumi). Di bawah maraknya politik aliran di masa Orde Lama, pers Islam seperti halnya pers lainnya,umumnya berkiprah sesuai dengan afinitas  ideologisnya. Akibatnya, merekakurang sekali memperhatikan orientasi  ekonomis, yang diperlukan sebagaipenyangga kehidupan pers. Namun  demikian, posisi dan perannya sebagai pembawa missi amar makruf nahi munkar diakui, sekalipun mereka kerap berhadapan dengan penguasa. Panji Masyarakat misalnya, dengan beranimemuat pamflet Bung Hatta yang terkenal, Demokrasi Kita. Akibatnya majalah pimpinan Hamka ini dibreidel oleh Presiden Soekarno, sementara Hamka sendiri masuk bui.                                                                 

Di zaman Orde Baru, posisi pers Islam justru tidak sebaik rekan-rekannya dari media umum atau non-Islam. Berdasarkan data  kuantitatif, tiras pers Islam secara keseluruhan dan riil tidak lebih  dari 300 ribu eksemplar. Inisangat tidak berimbang jika dibandingkan  dengan tiras rekan-rekannya darimedia lain, apalagi dengan populasi umat Islam Indonesia yang lebih dari160 juta. Mengapa hal itu terjadi? Banyak yang mengatakan, keterbelakangan pers Islam sekarang ini erat kaitannya dengan masalah profesionalisme dan manajemen pengelolaannya. Profesionalisme berhubungan dengan cara kerja, penulisan jurnalistik, dan kebijakan redaksional suatu media. Publik  yang makin terdidik tidak cukuphanya diberi sajian berita atau informasi faktual semata-mata. Mereka ingintahu latar belakang sebuah peristiwa, akurasi penulisannya, arahkecenderungannya, serta menyentuh apa yang disebut oleh Walter Hagemann sebagai ''kesadaran publik yang  aktual''. Ini semua menuntut kualifikasiyang tinggi bagi wartawan media yang bersangkutan.

Sementara soal manajemen, erat kaitannya dengan cara, teknik, strategi, dankepemimpinan dalam mengelola aspek-aspek manajerial yang berhubungan denganusaha, redaksi, administrasi, pemasaran, dan sejenisnya. Faktor lain yangperlu dikemukakan adalah soal media perfomance, yakni aspek-aspek yangberhubungan dengan tata letak,  kulit muka, teknik penyajian, fotografi,pilihan berita, dan sebagainya. Banyak pengamat menilai, di ketiga sektoritulah pers Islam lemah. Benar tidaknya pengamatan ini, masih perludiperdebatkan.     

Jurnalisme Profetik
Bisakah setiap jurnalis muslim, di manapun mereka berada, mengembangkan jurnalisme profetik (prophetic journalism)? Yakni, suatu bentuk jurnalisme yang tidak hanya menulis atau melaporkan berita dan peristiwasecara lengkap, akurat, jujur, dan bertanggung jawab semata. Tapi jugamemberikan petunjuk ke arah transformasi atau  perubahan berdasarkancita-cita etik dan profetik Islam. Ini berarti, suatu jurnalisme yangsecara sadar dan bertanggung jawab memuat kandungan nilai dari cita-citaetik dan sosial Islam yang didasarkan pada emansipasi, liberasi, dantransendensi. Melalui jurnalisme profetik, kita berharap peradaban umat akan lebih tercerahkan. Bukankah Tuhan telah berfirman: Nun, wal qalami   wamayasthurun (Nun, demi pena dan apa yang mereka goreskan-- QS Al Qalam:1). Dengan kata lain, pena menentukan arah peradaban dunia.

M. Syafii Anwar
Mantan Pemred Panji Masyarakat (1986—1988), Pernah mengikuti pendidikan jurnalistik pada School of Jurnalism, Universitas Columbia, New York (1988—1989), kini anggota Dewan Ahli Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF)

REPUBLIKA, 19 Februari 1994

No comments:

Post a Comment

Prawacana

Koran Republika Cetak Berhenti Terbit