Tuesday, July 14, 2020

Raden Mas Tirtoadisuryo Penggubah Sejarah di Pergantian Abad

BERBICARA tentang Raden Mas Tirtoadisuryo, orang tak bisa melupakan jasa Pramudya Ananta Toer. Dengan kepiawaiannya sebagai penulis kelas satu, Pramudya seolah-olah telah "menciptakan kembali" dalam dunia ingatan, kata dan imajinasi orang, sosok Tirtoadisuryo yang sudah terkubur dan dilupakan. Pramudya telah mengabadikan jejak langkahnya, bukan hanya dalam sebuah buku sejarah, akan tetapi juga empat buku roman sejarah yang amat indahnya.


Tugas penulis sejati memang menghidupkan kembali segala pengalaman yang sudah mati di dalam benak ingatan masyarakat. Orang lalu punya cermin kehidupan untuk berkaca, dan melihat dirinya dalam pantulan sang tokoh. Tulisan Pramudya tentang Tirtoadisuryo yang berjudul Sang Pemula (Hasta Mitra, Jakarta, 1985), memang hanya merupakan salah satu dari banyak karya Pramudya yang telah disumbangkannya untuk Indonesia. Ia telah menghidupkan kembali banyak kematian yang telah dialami dan terkubur di benak ingatan masyarakat.

Menurut hemat saya, upaya penampilan Tirtoadisuryo tidak dimaksudkan untuk menafikan tokoh pergerakan lain yang banyak di dalam sejarah bangsa ini. Sekalipun ada menyelip semangat semacam itu pada diri Pramudya; hal yang wajar, manakala kita terobsesi oleh ketokohan seseorang. Seorang tokoh pergerakan bangsa bagi Pramudya bukanlah tokoh yang "steril" seperti malaikat, tetapi seorang tokoh yang berurat, berdaging, dan bertulang biasa. Pendeknya Tirtoadisuryo adalah tokoh manusia biasa yang jauh dari sempurna. Orang yang malang melintang dan jatuh bangun dengan kesangsian, kegagalan, juga penuh dengan cerita petualangan (kehidupan seks), khususnya di kalangan para nyai cantik yang gampang didapati di pergantian abad lalu.

Siapa Raden Mas Tirtoadisuryo? Ia seusia dan hidup sezaman dengan Raden Ajeng Kartini. Banyak kesamaan antara keduanya, khususnya bahwa mereka berdua bukan orang sembarang. Kematian mereka sama-sama memilukan, seolah-olah habis tenaga ketika bergulat melawan pelintiran dan putaran sejarah yang dahsyat di pergantian abad lalu.

Tirtoadisuryo sendiri adalah salah seorang yang turut mengukir sejarah Indonesia. Seorang yang uthik (tak bisa diam) untuk mencari serba kemungkinan di tengah perubahan zaman. Dengan memanfaatkan celah-celah kecil yang dibuka oleh rezim kolonial di permulaan abad ke-20, ia mampu bermain dengan serba kemungkinan yang bisa dijajaki, peluang-peluang yang bisa dicipta. Di tengah remah-remah sejarah yang tersisa di negeri yang miskin, kehilangan harga diri, di sebuah jalan simpang zaman pergantian abad 19-20. Nederlands Indie memang mengandung hal-hal yang ajaib.

Di tengah kehidupan tinggal sampah dan rerongsokan, ia mampu muncul selaku pelaku (subyek) sejarah. Subyek yang berkehendak membangun kembali sebuah harkat manusia dari puing-puing masa lampau. Gagasan dan sikapnya mengatasi keadaan bangsanya yang merangkak-rangkak, miskin, tak punya rasa hormat pada diri sendiri, terpuruk; masyarakat yang kalah dan menyerah selama sekian banyak garis keturunan. Ia melesat bagaikan seekor wulung (garuda kecil berwarna ungu) yang terbang mengepakkan sayapnya berkeliling di udara. Pendeknya Tirtoadisuryo adalah seorang yang telah mencipta dirinya sendiri, seorang yang sadar berdiri di tengah sejarah sebuah bangsa.

Menurut penuturan Pramudya, Tirtoadisuryo lahir di Blora 1880 dan meninggal 7 Desember 1918, diasuh di kalangan priyayi cukup tinggi. Ayahnya Raden Ngabehi Muhammad Chan Tirtodipuro (petugas pajak), kakeknya Raden Mas Tumenggung Tirtonoto, Bupati Bojonegoro. Zaman di mana Tirtoadisuryo berkiprah adalah zaman yang dipengaruhi oleh munculnya kebijakan kolonial baru yang dikenal dengan "politik etis".

Celah sempit sosial-ekonomi dan politik yang dibuka pemerintah kolonial ini bisa dibacanya guna memelopori berbagai bidang kerja yang luar biasa pengaruhnya ke masyarakat. Khususnya di bidang jurnalistik, pengorganisasian rakyat, bisnis, dan gerakan penyadaran tentang emansipasi rakyat yang tertindas. Sedikitnya ada dua yang bisa disebut tentang peran penting yang dijalankan oleh Tirtoadisuryo, yaitu: pelopor jurnalisme dan pembangun gerakan emansipasi rakyat.

Jurnalisme Rakyat Terjajah

Di bidang jurnalisme, Mas Marco Kartodikromo, wartawan legendaris dari kancah pergerakan nasional Indonesia, mengaku: "Raden Mas Tirto Hadi Soerjo, jalah bangsawan asali dan joega bangsawan kafikiran, Boemipoetera jang pertama kali mendjabat Journalist; boleh dibilang toean TAS. indoek Journalist Boemipoetera di ini tanah djawa, tadjam sekali beliaoe poenja pena." (lih. Pramudya 1985 : 416). "Indoek journalist", kata Mas Marco, bukan hanya karena Tirto mengawali profesi sebagai wartawan inlander, akan tetapi karena ruh dan pengabdian kepada bangsa yang diwariskannya sebagai ilham. Karier Tirtoadisuryo yang menanjak dengan tempo tinggi dan berbinar-binar seperti meteor selaku jurnalis, tak bisa dilepaskan dari konteks kehidupan masyarakat yang terlunta-lunta mencari jati dirinya yang hilang di tengah penindasan mesin eksploitasi modern yang bercorak internasional, yang bernama kolonialisme dan imperialisme.

Sebagai jurnalis, Tirtoadisuryo melempangkan jalan bagi rakyat untuk memahami hak-hak serta martabat mereka. Ia berucap lewat mulut tokoh Boesono-yang tak lain adalah dirinya-dalam salah satu karya nonfiksinya, sebagai berikut: "Pers adalah matahari bagi dunia maka kita mesti mengerti bahwa pers Melayu bisa tumbuh seperti cendawan di musim hujan, tetapi segera berontokan bagaikan daun layu. Aku sendiri ingin sekali merombak keadaan semacam ini. Koranku akan aku isi dengan pikiranku dan pikiran orang-orang cerdik pandai, yang bisa mendidik bangsanya ke medan kemajuan dan kesempurnaan" (Pramudya 1985: 375).

Tugas pers menurut pikirannya adalah merombak masyarakat ke arah kemajuan dan kesempurnaan. Untuk itu diperlukan pikiran yang merdeka, pikiran yang terbebas dari belenggu ketakutan dan kekerdilan. Untuk itu, betapa getolnya ia menginginkan koran yang dipimpin dan dimilikinya sendiri, sebab hanya dengan cara demikian ia bisa mewujudkan kebebasannya selaku orang yang termasuk dalam golongan orang yang merdeka.

Tema-tema pembicaraan Tirtoadisuryo dalam tulisan-tulisan di berbagai media lain dan dalam surat kabar yang dipimpinnya juga selalu menekankan perlunya untuk pekerjaan partikulir (swasta dan wiraswasta), yang bebas dan tidak bergantung kepada kepegawaian, yang merupakan keinginan setiap priyayi Jawa saat itu. Seolah-olah masa depan priyayi Jawa adalah menjadi bagian dari mesin administrasi pemerintah kolonial. Bertolak belakang dengan itu, ia berpendapat bahwa perdagangan, bekerja di kebun, dan kerajinan merupakan bagian yang pekerjaan yang membebaskan dan melatih kemandirian dari kalangan pribumi. Apresiasi dari kalangan merdeka, atau golongan partikulir itu selalu diwartakan sebagai "kabar baik" bagi kaum pribumi yang tak memiliki masa depan. Kesejahteraan, kemakmuran serta kebahagiaan akan dicapai manakala pribumi mampu menjadi manusia sebagai subyek yang memiliki kebebasan untuk menentukan nasibnya sendiri.

Amat menakjubkan membayangkan bahwa seorang pribumi di masa pergantian abad lalu mampu melakukan karya-karya yang begitu mendalam dan beragam. Perhatian pokoknya banyak ditujukan kepada apa yang disebutnya sebagai "kaum merdeka" (vrije burgers). Seolah-olah pada kaum merdika inilah tumpuan harapan untuk membangun masyarakat yang maju dan sempurna.

Kaum merdika adalah kaum terpelajar, mereka yang memiliki harta dan modal, lapisan masyarakat yang tidak mengabdi pada kekuasaan Hindia Belanda, para saudagar pribumi (yang umumnya dari kaum muslim), mereka yang berkebudayaan serta beradab, mereka yang hidup tidak dari gaji atau menjual tenaga, tetapi dari usaha sendiri; dengan singkat "golongan menengah".

Adapun karier Tirtoadisuryo sebagai jurnalis tergambar dalam kegiatannya yang luar biasa, baik dalam mengelola persuratkabaran, maupun dalam kegiatan tulus-menulis. Ada sekitar 14 terbitan yang ia kelola, pimpin, atau sebagai penulis tetap. Yaitu Pembrita Betawi, Soenda Berita, Medan Priyayi, Soeloeh Keadilan, Poetri Hindia, Sarotomo, Soeara B.O.W., Soeara Spoor dan Tram, Soearaurna. Ia adalah redaktur kepala pertama bagi sejarah orang pribumi di Hindia Belanda.

Selaku jurnalis, Tirtoadisuryo melihat tugasnya selaku sarana untuk menggugah kesadaran masyarakat untuk menjawab persoalan mereka sendiri. Di tempat pembuangannya di Lampung (Telukbetung) selama dua bulan sejak 18 Maret 1910, ia menulis: "...saya seorang pengarang, seorang pengawal pikiran umum, yang berkewajiban membicarakan segala hal yang patut diketahui oleh orang banyak akan guna orang banyak serta menunjuk segala keadaan yang tidak layak akan kegunaan umum dalam surat kabar dengan tidak harus menerima sesuatu apa..." (dalam Pramudya 1985: 255).

Ia bukan hanya jurnalis dalam arti sebagai penulis berita dan perumus gagasan, akan tetapi juga banyak mengarang karya-karya nonfiksi literer yang bagus. Di sana ia memberi dukungan kepada kaum merdeka, dan juga harapan serta kekecewaannya terhadap dirinya sendiri dan masyarakat kolonial.

Sebagai catatan atas seluruh pengabdian dan karya-karya jurnalistik Tirtoadisuryo, Pramudya menorehkan pertanyaan penting: "Sekiranya ia tidak memulai tradisi menggunakan pers sebagai alat perjuangan dan pemersatu dalam masyarakat heterogen seperti Hindia, bagaimana kiranya nasion Indonesia akan terbentuk?" (Pramudya 1985: 9). Dengan menyebut pers sebagai "alat perjuangan" dan "heterogenitas masyarakat", Pramudya pada dasarnya telah menyentuh tugas utama jurnalisme Indonesia di tengah keadaan krisis dan terpuruk di pergantian abad yang lalu dan pergantian abad yang sekarang ini; seratus tahun sesudah masa Tirtoadisuryo.

Emansipasi Rakyat

Gagasan dasar yang dibangun di masa awal pergerakan nasional, khususnya bertumpu pada gagasan tentang emansipasi rakyat. Sebagaimana sudah disebut di muka, Tirtoadisuryo seumur dengan Kartini, yang juga merupakan anak zaman yang dilahirkan oleh politik etis. Di samping naskah Pramudya yang spektakuler, beberapa ahli tentang sejarah kontemporer Indonesia, antara lain seperti Robert Van Niel, Heather Sutherland, George D Larson, Takashi Siraishi, APR Korver, Akira Nagazumi, juga mengungkap tentang peran Tirtoadisuryo.

Tirtoadisuryo disebut selaku nominal founder dari Sarekat Islam yang berawal dari Sarekat Dagang Islam. Ia pendiri dari Sarekat Dagang Islamiyah di Batavia 1909, dan Sarekat Dagang Islam di Bogor 1911. Dan awal tahun 1912 ia turut terlibat mendirikan Sarekat dagang Islam di Solo, sebagai cabang Bogor; dan di sana Samanhudi menjadi the real leader (Larson 1987 : 36). Heather Sutherland selanjutnya menceritakan bahwasanya peran Tirtoadisuryo selaku movement organizer, bermula dari usahanya untuk mendirikan Sarekat Priyayi tahun 1906 yang bertujuan memperjuangkan agar anak-anak Jawa bisa memperoleh pendidikan Belanda. Sarekat Priyayi inilah sebagai basis untuk menerbitkan koran mingguan Medan Priyayi (1907 - 1912).

Medan Priyayi banyak mengemukakan keluhan-keluhan rakyat kecil terhadap perlakuan kalangan priyayi tinggi dan para pegawai pemerintah kolonial Belanda. Menurut Sutherland, mungkin dinilai dari ukuran pemahaman tentang "demokrasi" sekarang, sebenarnya yang diperjuangkan Tirtoadisuryo barulah merupakan awal untuk melakukan konsientisasi bagi rakyat untuk memperoleh keadilan. Kalangan Bestuur Ambtenaar (administrator pemerintahan) baik kalangan Belanda maupun pribumi disebutnya selaku "Buaya Besar". Namun kepada Sri Ratu dan wangsa Kerajaan Belanda ia hormati dan puji setinggi langit. Dengan kata lain, sekalipun ia mengritik kelakuan yang represif sementara pejabat Belanda dan Jawa, namun ia belum punya perangkat "teoritik-ideologis" guna menolak sistem kolonial secara keseluruhan (band. Heather Sutherland 1980 : 58). Tirtoadisuryo juga tidak menyembunyikan kekagumannya pada Jenderal Van Heutz yang sukses dengan program pasifikasinya mempersatukan Nusantara menjadi Nederlands Indie, cikal bakal dari Republik Kesatuan Indonesia. Pada umumnya para penulis luar negeri, termasuk staf ahli di zaman kolonial seperti J Th P Blumberger, GHJ Hazeu, DA Rinkes, (yang juga dikutip oleh banyak pengamat sejarah kontemporer Indonesia) berpendapat bahwa pertikaian antara Cina dan Jawa di sekitar kegiatan Sarekat Islam pada masa awal disebabkan oleh masalah-masalah etnosentrisme dan ekonomi, khususnya persaingan dagang. Hal itu ditengarai oleh munculnya semangat nasionalisme di kalangan bangsa Asia, khususnya di Cina yang dimotori oleh Sun Yat Sen di sekitar tahun 1912, yang mempunyai dampak luar biasa pada kalangan Cina di Hindia Belanda.

Dua hal sedikitnya yang memicu ketegangan antaretnis itu: pertama, kalangan Cina di Hindia Belanda merasa dianaktirikan oleh pemerintah kolonial karena status mereka selaku "orang Timur asing", yang dibedakan dengan orang Jepang yang disamakan dengan orang Eropa. Nasionalisme menghembuskan kesadaran baru akan hak-hak mereka di tanah jajahan. Sementara itu nasionalisme Cina juga memberi pengaruh pada kesadaran orang Jawa akan nasionalisme mereka.

Kedua, di Solo sebagai pusat industri batik, terjadi persaingan yang semakin ketat antara dua kelompok yang kuat berusaha di wilayah itu, yaitu para pedagang pribumi muslim dengan kalangan Cina. Tekstil dan zat pewarna di awal abad ke-20 semakin bergantung kepada impor, yang penanganan distribusinya dimonopoli oleh kalangan Cina. Pedagang Jawa juga semakin punya akses ke bahan-bahan impor tersebut, khususnya mereka yang dibantu oleh pedagang Arab dan kalangan bangsawan. Dengan demikian terjadi persaingan terbuka antara kedua kelompok itu, terutama sejak didirikannya Sarekat Dagang Islam di Solo; begitulah dikemukakan para ilmuwan birokrat Belanda itu.

Hal yang menarik adalah apa yang dikemukakan oleh Pramudya dalam kisah monumentalnya Sang Pemula. Pramudya mendasarkan diri pada apa yang disebutnya sebagai "skenario Rinkes" yang sengaja mau menggelapkan peran sejarah yang dijalankan Tirtoadisuryo di satu pihak, dan di pihak lain hendak memperhadapkan gerakan Sarekat Islam sebagai gerakan ekonomi dan bukan gerakan politik. Sebagai gerakan politik, mau tak mau Sarekat Islam akan segera berhadapan dengan Pemerintah Belanda.

Dengan semangat tinggi Pramudya mengedepankan gagasannya tentang "skenario Rinkes" tersebut (Band. Pramudya 1985 : 151-176). Rekonstruksi sejarah yang dibuat oleh Pramudya, agaknya tak begitu saja bisa diabaikan. Ia berusaha membuktikannya dengan berbagai macam teks yang bisa ia dapat sebagai pijakan dari pendapatnya. Bila kita membaca otobiografi dari IWF Idenburg (menjabat Gubernur Jenderal Nederlands Indie pada 1909 - 1916), tampak rekayasa ke arah itu memang ada. Demikian juga dengan sumber arsip yang memuat surat-menyurat antara Abraham Kuyper dengan Idenburg (Briefwisseling Kuyper-Idenburg, Franeker, 1985) tampak bahwa "skenario Rinkes" sebagaimana dilacak oleh Pramudya bukan semata isapan jempol. Hal yang menarik ini merupakan tugas dari para sejarawan yang lebih muda untuk meneliti perkara yang sudah dimulai dengan penuh semangat oleh Pramudya.

Bagi Idenburg, yang dikenal sebagai orang saleh yang rajin beribadah di gereja itu, lepas dari simpatinya terhadap Sarekat Islam dibandingkan dengan sikapnya yang sangat keras terhadap Indische Partij yang dianggap sebagai sangat berbahaya karena karakternya sebagai gerakan politik revolusioner anti-Belanda, ia memang sangat berkepentingan agar supaya Sarekat Islam benar-benar menjadi gerakan ekonomi yang berhadapan dengan orang Cina. Dalam korespondensinya dengan Abraham Kuyper selaku Perdana Menteri Belanda pada tanggal 4 Juli 1913, ia menyurat: "Wij moeten ook toejuichen dat de inlander zich wat los maakt van het economisch juk van den Chinees." (Juga kita mesti menyambut dengan gembira kenyataan bahwa bangsa pribumi bisa melepaskan diri dari penindasan ekonomis kalangan Cina) (Briefwisseling 1985: 383).

Terkesan memang dari keseluruhan semangat surat ini bahwa Idenburg benar-benar percaya bahwa bentrokan horisontal antara Jawa-Cina tidak bisa dihindari. Peran orang Cina sebagai pedagang perantara semakin luntur. Dan di berbagai koran dicatat bahwa golongan Cina mulai berkampanye untuk memusuhi Sarekat Islam. Keadaan ini merupakan tujuan dari politik kolonial, melakukan adu domba horisontal di masyarakat. Tirtoadisuryo sendiri saat itu, sudah tidak berbuat apa-apa, sekalipun ia menyadari bahaya semacam itu. Karena ia sudah tumpas, dibungkam dan dibuang ke luar Jawa. Nasib bangsa Indonesia seolah-olah mengikuti nasib yang tak terlalu beruntung dari para pendahulunya.

Sebagai penutup, bisa dikemukakan pertanyaan: apa makna Tirtoadisuryo bagi kita sekarang, 100 tahun kemudian? Dialah seorang yang bisa memberi inspirasi bagi masyarakat yang gamang dan tak memiliki pijakan visi yang luas. Yang cenderung kacau dan kebingungan dalam tantangan pergantian abad, bahkan pergantian milenium.

Tirtoadisuryo adalah "manusia perbatasan", seorang yang mampu melintasi batas dan tidak berkutat saja dalam kubangan jebakan status quo zamannya. Ia mampu melintasi batas-batas agama, suku, ilmu, dan memiliki karakter serta keberanian untuk melangkah, menjadi anak zaman yang benar -benar mengerti dan mau menjawab tantangan-tantangan zaman.

Memasuki milenium ketiga, bangsa Indonesia babak belur. Bopeng, penuh coreng-moreng dengan luka-luka sosial yang belum tersembuhkan, sudah ditimpali pula dengan perdarahan yang baru yang terjadi di mana-mana. Menjadi bangsa yang otoriter yang mau menangnya sendiri. Diplomasi dan relasi-relasi sosial-politik di negeri ini amburadul. Kemelut muncul karena tidak ada lagi perekat pemikiran yang mempersatukan masyarakat, dan tidak ada lagi pemimpin yang dipercayai oleh masyarakat. Ketidakpercayaan merupakan akar masalah yang silih berganti dengan kebencian dan amuk.

Tirtoadisuryo berdiri sebagai tonggak sejarah. Mengabarkan bahwa bangsa ini harus berangkat menjadi lebih mandiri. Ia adalah teladan, bukan hanya dalam keberhasilan, tetapi juga dalam kekalahan, ketidakberuntungan dan bahkan kegagalannya. Kesalahan utama yang menyebabkan tradisi sejarah bangsa ini menjadi sebuah tragedi adalah karena sejarah dipahami sebagai sejarah kemenangan semata-mata. Kita hanya mau bercermin dari kemenangan, tak ada wisdom dalam cermin sejarah kita.

Lalu kita menjadi amat gampang terguncang, menjadi tidak manusiawi dalam persepsi tentang diri kita sendiri. Cermin sejarah hanya menjadi cermin untuk bersolek, bukan untuk memahami diri. Sejarah adalah tempat yang menjauhkan diri. Kita lebih tidak mengenal diri sendiri ketika membaca sejarah yang kita tulis sendiri. Sejarah menjadi tempat kita menipu diri sendiri, menjadi tokoh fiktif yang tak pernah salah dan tak pernah kalah. Pada saat itu kita justru menjadi bangsa yang salah di mana-mana, dan kalah di mana-mana. Kita memerlukan kejujuran dan keadilan.

Pada akhirnya, dengan agak panjang saya kutip pandangan Pramudya sendiri tentang Tirtoadisuryo yang penuh hormat dan takjub, sebagai berikut: "Tidak akan berlebihan bila dikatakan: pada masanya ia adalah pribadi yang berada di garis terdepan dan sendirian. Perhatiannya pada nasib lapisan terendah masyarakat, yang sepanjang sejarah tak pernah dapat perhatian, mengalami penindasan dan penghisapan bertingkat-tingkat, baik oleh pemuka-pemuka setempat, sistem feodalisme pribumi, dan kolonialisme Eropa, berpadu dengan pergeseran kekuatan dunia, kemajuan umat manusia di mana pun mereka berada, menampilkan dirinya sebagai seorang intelektual modern yang bertanggung jawab pada nuraninya". (Pramudya 1985: 187). Maka sempurnalah julukan yang diberikan oleh Pramudya, dialah sesungguhnya Sang Pemula itu.

Th. Sumartana, Direktur DIAN/INTERFIDEI, Yogyakarta

diambil dari Harian Umum Kompas, edisi khusus tahun baru 2000

No comments:

Post a Comment

Prawacana

Koran Republika Cetak Berhenti Terbit