Tuesday, January 14, 2020

Jurnalisme Data Jadi Pembeda Mutlak Media Arus Utama dari Pendengung

KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO (RO--Pengunjung mendatangi stan peserta Bandung Zine Fest 2013 di Gedung Indonesia Menggugat, Bandung, Jawa Barat, Sabtu (1/9/2013). Media cetak Zine atau Fanzine merupakan media cetak alternatif berekspresi serta menjadi cikal bakal Jurnalisme Warga (citizen journalism). Seiring berkembangnya komunitas underground di Indonesia, zine juga menjadi media berkespresi dan menjadi bagian persebaran wacana serta komunikasi dalam komunitas.

Wartawan dan pendengung bersaing memperebutkan perhatian pembaca. Analisa berbasis data menjadi senjata pembeda media arus utama dari pendengung.

Perbedaan hasil liputan wartawan dengan para pendengung atau buzzer yang semakin tipis menjadi tantangan bagi media arus utama. Penekanan liputan kepada ketajaman analisa berbasis data tetap menjadi senjata pembeda jurnalisme dengan opini sekaligus pelindung wartawan serta perusahaan media dari tuntutan hukum pidana maupun perdata.


Argumentasi itu mengemuka dalam peluncuran Laporan Tahun 2019 dan Pandangan untuk Tahun 2020 oleh Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers di Jakarta, Senin (13/1/2020). Direktur Eksekutif LBH Pers Ade Wahyudin menuturkan persaingan antara wartawan dan pendengung memperebutkan perhatian pembaca akan kian meruncing.

“Pendengung sebenarnya sah-sah saja selama berjalan di koridor kebebasan berekspresi yang bertanggung jawab. Masalahnya muncul ketika unggahan pendengung menimbulkan polemik di masyarakat dan melanggar undang-undang seperti ujaran kebencian atau pun diskriminatif terhadap golongan tertentu,” ujar dia.

Namun, masalah bertambah pelik ketika media arus utama yang semestinya mendudukkan perkara justru ikut-ikutan menerbitkan berita yang sensasional dan tidak berimbang. Selain menurunkan kredibilitas media, hal ini juga menyulitkan penyelesaian secara hukum mengingat pemahaman aparat penegak hukum atas Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers sangat minim.

Bahkan, berdasarkan pengalaman LBH Pers melaporkan kekerasan terhadap wartawan di kala menjalankan tugas peliputan, polisi bingung menempatkan perkaranya di bagian kriminal umum atau kriminal khusus. Apalagi UU 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik mencantumkan adanya hukuman pidana terhadap penyebaran hoaks.

Tidak dijelaskan indikator sebuah informasi dikategorikan sebagai hoaks sehingga memiliki risiko multitafsir oleh pelapor maupun penyidik sangat tinggi. Apabila penulisan berita sumir dan lebih mementingkan sensasi berisik bisa diadukan dengan delik hoaks.

Pelatihan
Sementara itu, Kepala Program Studi S1 Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia Endah Triastuti mengatakan, pembeda antara kerja jurnalistik dengan pendengung adalah landasan berbasis data dan fakta yang dikemas dalam analisis. Namun, penelitiannya terhadap wartawan di beberapa media arus utama mengungkapkan tidak semua wartawan memiliki kemampuan membaca dan mengekstrapolasi data.

Kemampuan ini membutuhkan pelatihan serta perangkat teknologi yang mendukung. Masalahnya, belum banyak perusahaan media yang memberinya kepada wartawan, apalagi secara rutin.

“Jurnalisme data membutuhkan sistem, bukan hanya kerja individu. Sinergi di redaksi dan divisi penelitian dan pengembangan suatu media yang menjadi penjamin terciptanya penciptaan berita kaya data dan analitis,” tutur Endah.

Skeptis
Pada kesempatan yang berbeda, Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen Indonesia Abdul Manan mengatakan, laporan LBH Pers adalah kritik membangun untuk perusahaan-perusahaan media arus utama. Hendaknya karakteristik jurnalisme yang skeptis tidak tergerus kebutuhan mengoperasikan perusahaan media sebagai unit bisnis.

“Adanya clickbait (umpan klik) sebagai cara menggaet pembaca lama-lama menurunkan kredibilitas media arus utama. Apalagi umumnya clickbait itu berisi informasi yang remeh temeh,” kata dia. Sensasi ini yang mengakibatkan masyarakat melihat kini media arus utama nyaris tidak berbeda dari unggahan pendengung di media sosial.

Ia mengajak perusahaan media untuk melihat bahwa metode clickbait bukan satu-satunya cara mendapatkan popularitas dan penambahan omzet ekonomi. Semestinya, skeptisisme media arus utama menghadirkan kemampuan merambah potensi kemungkinan promosi lainnya.

Ada beberapa cara yang kini mulai banyak dilirik. Contoh pertama adalah metode berlangganan media daring sehingga mutu liputannya tetap terjaga. Kedua bisa juga melakukan clickbait untuk isu-isu substantif dan berbobot.

“Saat ini perusahaan media menganggap mengikuti selera pasar adalah cara bertahan hidup, tetapi kita tidak mencari kemungkinan bahwa pemenuhan selera pasar itu bisa menggunakan berbagai pendekatan yang tidak perlu mengorbankan mutu berita. Selain itu, untuk clickbait sejauh ini belum ada data apakah pembaca memang menyukai dan membacanya atau terpaksa membacanya karena hanya informasi seperti itu yang tersedia di media?” ucap Manan.

Oleh  LARASWATI ARIADNE ANWAR

Editor:  YOVITA ARIKA

Sumber: Kompas, 14 Januari 2020

No comments:

Post a Comment

Prawacana

Koran Republika Cetak Berhenti Terbit