Tuesday, February 25, 2020

Menjaga Marwah Perusahaan Pers


Meski merupakan entitas bisnis, perusahaan pers mengemban fungsi sosial yang sangat penting untuk kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis.

KOMPAS/JUMARTO YULIANUS--Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly menyampaikan gagasannya dalam Konvensi Nasional Media Massa dengan tema ”Daya Hidup Media Massa di Era Disrupsi, Tata Kelola Seperti Apa yang Dibutuhkan?” di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Sabtu (8/2/2020).

Pers mempunyai fungsi sosial sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial. Selain itu, pers juga mempunyai fungsi ekonomi, yaitu sebagai entitas bisnis untuk menjaga kelangsungan hidup pers itu sendiri dan  mendapatkan keuntungan.


Jika menilik Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Peraturan Dewan Pers Nomor 4 Tahun 2008 tentang Standar Perusahaan Pers, fungsi sosial pers adalah yang utama, baru kemudian fungsi ekonomi. Meski dalam praktiknya tidak selalu demikian, langkah pemerintah memasukkan revisi Pasal 11 dan Pasal 18 UU Pers ke dalam Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja untuk mengakselerasi perekonomian, menimbulkan pertanyaan tersendiri.

Penjelasan pemerintah bahwa revisi tersebut untuk mengkalibrasi dengan perundang-undangan lainnya dalam upaya menciptakan iklim investasi yang menarik, tidaklah mudah diterima. Pertama, rencana revisi tersebut melanggar asas swaregulasi atau self regulation UU Pers yang akan mengancam kemerdekaan pers (Kompas, 22/2/2020).

Kedua, perusahaan pers bukanlah entitas bisnis semata, tetapi juga mempunyai fungsi sosial yang sangat penting. Pers merupakan pilar keempat demokrasi yang mempunyai fungsi dan peranan yang penting dan strategis dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Staf Ahli Kementerian Koordinator Perekonomian Elen Setiadi mengatakan, tidak ada niat pemerintah untuk campur tangan mengatur pers. “Tidak ada sama sekali niat pemerintah untuk masuk dalam kebebasan (kemerdekaan) pers,” kata Elen ketika ditemui Kompas di kantor Kemenko Perekonomian, Jakarta, Senin (24/2/2020) sore.

Revisi Pasal 11 UU Pers diperlukan agar selaras dengan undang-undang lainnya, terutama UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal. Pasal 11 UU Pers mengharuskan penambahan modal asing di perusahaan pers melalui pasar modal. Penjelasan pasal ini menyebutkan bahwa penambahan modal asing itu dibatasi agar tidak mencapai saham mayoritas.

“Masalahnya rezim pasar modal kan tidak mengatur pembatasan (modal). Oleh karena itu kita ingin mempertegas saja pengaturan pembatasan penanaman modal itu,” kata Elen.

Terkait revisi Pasal 18 UU Pers, perubahan besaran denda dari maksimal Rp 500 juta menjadi Rp 2 miliar menyesuaikan dengan kondisi saat ini mengingat UU Pers ditetapkan lebih dari 20 tahun lalu. “Nilai riil kan sudah jauh sekali. Itung-itungannya, ada inflasi dan sebagainya, sampai saat ini penyesuaian riilnya sekitar empat kali,” kata dia.

Adapun perubahan ayat 3, pertimbangan pemerintah, pelanggaran Pasal 9 ayat 2 UU Pers (perusahaan pers harus berbadan hukum) dan Pasal 12 UU Pers (perusahaan pers wajib mengumumkan nama, alamat, dan penanggung jawab secara terbuka) merupakan pelanggaran administratif. Karena itu, sanksinya pun cukup sanksi administratif. Ketentuan lebih lanjut akan diatur dengan peraturan pemerintah.

Campur tangan pemerintah
Wakil Ketua Dewan Pers Hendry Ch Bangun mengatakan, asas swaregulasi UU Pers menutup kemungkinan adanya peraturan pelaksana dari pemerintah dalam bentuk apapun. Asas itu memberikan kesempatan kepada masyarakat pers untuk mengatur dirinya sendiri.

“Kami menentang ada peraturan lain. Penentuan besaran denda dan sanksi administratif yang akan diatur dengan peraturan pemerintah menunjukkan campur tangan pemerintah dalam kehidupan pers,” kata Hendry.

Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Abdul Manan pun mengatakan, tidak ada urgensinya pemerintah mengatur sanksi bagi siapapun yang melanggar UU Pers. Mekanisme sanksi ini sudah ada dan selama ini bisa ditangani dengan baik oleh Dewan Pers. Justru sanksi administratif yang akan ditetapkan pemerintah tersebut bisa membuka peluang adanya pembredelan dan penutupan perusahaan pers.

Bukan hanya tidak menghormati asas self regulation UU Pers, Abdul Manan menilai, dengan memasukkan UU Pers dalam RUU Cipta kerja menunjukkan pola pikir pemerintah yang melihat perusahaan pers hanya sebagai entitas bisnis seperti yang lainnya. “Fungsi ekonomi (perusahaan pers) itu bukan yang utama. (Fungsi) ini hanya sebagian kecil yang diakui oleh UU Pers,” kata dia.

Melihat perusahaan pers sebagai entitas bisnis semata merupakan bentuk ancaman tersendiri bagi kemerdekaan pers. Kemerdekaan pers merupakan salah satu wujud kedaulatan rakyat dan menjadi unsur yang sangat penting untuk menciptakan kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis.

Baik Hendry maupun Abdul Manan melihat tidak ada relevansinya merevisi kedua pasal tersebut. Ketentuan-ketentuan dalam UU Pers sudah berjalan sebagaimana mestinya. Mereka pun menyayangkan pemerintah yang tidak mengkomunikasikan rencana revisi kedua pasal tersebut ke komunitas pers. Baik Dewan Pers maupun AJI akan menyampaikan keberatan dan masukan ke DPR terkait rencana revisi dua pasal UU Pers tersebut.

Elen menampik revisi kedua pasal tersebut sebagai bentuk campur tangan pemerintah mengatur pers.  Dia mengatakan, semua masukan pasti akan dipertimbangkan dalam pembahasan RUU tersebut nanti di DPR.

“Kami hanya ingin memberi koridor hukum, agar mempunyai basis legal yang kuat. Tapi kalau dipandang bahwa itu cukup diatur Dewan Pers dan bisa dieksekusi dengan baik, ya tidak ada persoalan. Bagaimana mekanismenya, diserahkan ke Dewan Pers nanti,” kata dia.

Oleh  YOVITA ARIKA

Editor:  ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN

Sumber: Kompas, 26 Februari 2020

No comments:

Post a Comment

Prawacana

Koran Republika Cetak Berhenti Terbit