Wednesday, March 4, 2020

Aturan Pembayaran Konten Berita di Australia Dinilai dapat Diterapkan di Indonesia

KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA---Telepon seluler yang saat ini tidak hanya sebatas alat komunikasi melainkan sebagai sumber informasi dari berbagai media daring, Kamis (3/9/2020). Sebagian besar media cetak pun saat ini juga mulai berpindah menjadi media daring untuk mengikuti perkembangan zaman.

Indonesia dinilai dapat mengadopsi kebijakan di Australia yang mengatur agar Facebook dan Google membayar konten berita lokal dari perusahaan media untuk memastikan keberlanjutan industri media massa pada era disrupsi.

Indonesia dinilai dapat mengadopsi kebijakan di Australia yang mengatur agar Facebook dan Google membayar konten  berita lokal dari perusahaan media yang terbit di platform tersebut. Ini bertujuan agar tercipta persaingan yang sehat dan adil serta untuk memastikan keberlanjutan industri media massa pada era disrupsi digital.

Hal tersebut mengemuka dalam diskusi daring ”Bargaining Code Australia dan Relevansinya untuk Indonesia”, yang diselenggarakan Dewan Pers, Jumat (21/5/2021). Hadir sebagai pembicara Ketua Komisi Hubungan Antar-lembaga dan Internasional Dewan Pers Agus Sudibyo, Ketua Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI) Wens Manggut, Pemimpin Redaksi Majalah Tempo 1999-2006 Bambang Harymurti, dan CEO Tribun Network Dahlan Dahi.

Agus Sudibyo mengemukakan, Pemerintah Australia pada Februari lalu telah mengamandemen dan mengesahkan undang-undang yang disebut News Media Bargaining Code. Aturan ini mewajibkan platform besar, seperti Facebook dan Google, untuk bernegosiasi dengan perusahaan media agar membayar dan membagi pendapatan atas konten berita lokal yang terbit di platform tersebut.

Menurut Agus, aturan tersebut disahkan menyusul redupnya media massa konvensional di era disrupsi digital. Hal ini disebabkan karena kegamangan media beradaptasi dengan digitalisasi serta ekosistem yang tidak mendukung persaingan secara sehat dan adil.

”Rantai persoalan yang ingin diselesaikan oleh undang-undang ini adalah masalah yang cukup familiar untuk pengelola media di Indonesia, yaitu memonetisasi berita oleh platform digital tanpa kompensasi yang memadai,” ujarnya.

Selain itu, kata Agus, persoalan lainnya yang diharapkan dapat diselesaikan oleh aturan ini ialah pengabaian hak cipta atas karya jurnalistik dan ketertutupan sistem algoritma platform digital. Yang terpenting, aturan ini juga menjadi jalan agar tidak ada lagi monopoli, seperti data pengguna, distribusi konten, dan periklanan digital. Semua persoalan tersebutlah yang membuat persaingan usaha menjadi timpang.

Agus menjelaskan, guna menentukan perusahaan yang masuk dalam mekanisme ini, dilakukan uji konten, uji standar profesional, uji khalayak, dan uji pendapatan. Jadi, selain produksi konten yang berkualitas, perusahaan yang bisa mengikuti mekanisme dalam aturan ini, yakni media massa dengan pendapatan per tahun sebesar 150.000 dollar Australia.

Meski demikian, terdapat juga tantangan dalam penerapan aturan ini seperti adanya friksi atau perbedaan antara pengelola media besar dan kecil serta kemampuan bernegosisasi dengan platform. Sebab, perusahaan media kecil dinilai sudah telanjur nyaman dengan ekosistem industri digital dari Facebook dan Google yang mengedepankan traffic.

”Terdapat juga isu dan kritik yang muncul, misalnya, apakah wartawan dan kreator konten benar-benar akan diuntungkan dengan terbitnya undang-undang ini dan jurnalisme kepentingan publik semakin baik. Ini menjadi pertanyaan menarik yang perlu dibahas lebih lanjut,” ujarnya.

Dibutuhkan Indonesia

Wens Manggut memandang bahwa aturan yang diterapkan di Australia sangat dibutuhkan dan dapat diterapkan di Indonesia. Sebab, Indonesia memiliki industri media yang sangat besar khususnya di sektor digital. Hal ini yang menjadikan situasi industri media massa di Indonesia dinilai lebih rumit dan kompleks dibandingkan Australia.

”Jika kita ingin memperbaiki atau membuat media kita lebih ramah terhadap bisnis, tidak cukup membenahi media dan jurnalismenya saja tanpa menyentuh ekosistem digitalnya. Model yang dibuat Australia ini masuk ke ekosistem tersebut,” katanya.

Bambang Harymurti mengatakan, laporan Serikat Penerbit Surat Kabar (SPS) menunjukkan bahwa jumlah media cetak di Indonesia yang sempat meningkat seusai reformasi saat ini terus mengalami penurunan signifikan. Tanda-tanda penurunan ini telah terdeteksi sejak 2013 yang ditandai dari penutupan media cetak secara parsial bahkan total.

”Koran cetak menjadi korban awal karena pendapatan utamanya, yakni iklan mengalami penurunan drastis. Pandemi Covid-19 membuat kondisi sebagian penerbitan yang sudah doyong akibat disrupsi digital kini semakin ambruk,” ujarnya.

KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA----Pekerja memasang koran terbitan terbaru pada papan di Jalan Sultan Agung, Kota Semarang, Jawa Tengah, Kamis (3/9/2020). Perkembangan teknologi dan media daring berpengaruh besar terhadap tren media cetak seperti koran yang terus menurun pembacanya.

Sementara di sisi lain, menurut Bambang, kenaikan kuantitas media siber secara drastis tidak diikuti dengan kualitas jurnalistik. Media siber terjebak dalam sindrom mengejar klik atau clickbait dengan isi berita dan judul yang sensasional sekaligus ajang penyebaran berita bohong.

”Satu orang dapat mendirikan dan menjalankan portal berita. Bila berhasil meraih banyak klik, mereka boleh berharap mendapat bayaran dari adsense Google atau Facebook ad breaks. Model bisnis kedua platform inilah yang menimbulkan masalah karena menciptakan peluang bisnis dari produksi berita bohong,” ungkapnya.

Bambang pun menekankan masih terlalu dini untuk memastikan aturan yang diterapkan di Australia dapat menjadi solusi transformasi digital bagi penerbitan karya jurnalistik. Namun, aturan tersebut tetap layak dicoba untuk diterapkan di Indonesia.

Oleh   PRADIPTA PANDU

Editor:   ADHITYA RAMADHAN

Sumber: Kompas, 21 Mei 2021

No comments:

Post a Comment

Prawacana

Koran Republika Cetak Berhenti Terbit