Wednesday, December 30, 2020

Untuk Iklan atau Informasi


Pelaksanaan kebijaksanaan penambahan halaman koran harian umum menjadr 16 halaman setiap hari perlu dipersiapkan lebih matang oleh pengelola pers. Sebab, kebijaksanaan tersebut mempunyai konsekuensi logis terhadap pertambahan jenis dan volume berita yang akan disajikan pada setiap penerbitan. Penyerapan informasi akan semakin besar dan peluang bisnis periklanan juga semakin besar. 

Menurut saya, bagi pembaca sendiri perluasan terbitan 16 halaman menjadi setiap hari tidak ada masalah. Sebab, jumlah halaman sebuah surat kabar tidak dijadikan pertimbangan oleh calon pembacanya. Ketika seseorang memutuskan untuk membeli sebuah surat kabar, yang dijadikan pertimbangan ialah isi koran hari itu. Artinya, pembeli koran tersebut akan melihat berita apa saja yang disajikan dalam koran hari itu. 

Memang, pertimbangan pembaca koran di Indonesia masih terbatas pada sifat penyajian berita. Menarik atau tidak menariknya suatu berita menjadi pertimbangan utama dalam memilih sebuah surat kabar. Bahkan, pembaca cenderung memilih berita yang akan dibacanya dulu sebelum membeli koran. Jadi, tidak seluruh halaman dibaca oleh orang Indonesia.

Hal lain yang perlu dilihat adalah kemampuan pengelola koran di daerah. Sebab, makin hari mereka berhadapan dengan invasi bisnis media dari pusat. Selain dihadapkan dengan faktor kekuatan modal, pers daerah juga menghadapi pers pusat yang kaya dengan improvisasi penyajian berita. Namun, bukan tidak ada letak keunggulan pers daerah. Yang utama, koran daerah sering mengerti benar selera dan kebutuhan informasi pembacanya. Dengan perhatian yang memusat, koran daerah akan unggul dalam penyajian berita di lokalnya. Pola penyajian berita semacam itu menguntungkan koran daerah. 

Menurut saya, terbitan koran 16 halaman setiap hari berarti penambahan volume iklan. Pendapatan koran dari iklan akan semakin besar. Tetapi, kalau korannya terlalu padat dengan iklan, koran itu akan membosankan pembacanya. Mereka merasa dijejali dengan kepentingan dagang koran tersebut yang sudah tidak selektif lagi. . 

Di luar permasalahan penambahan halaman tadi, belakangan ini saya melihat ada kecenderungan tidak ditaatinya proporsi jumlah iklan dengan jumlah berita. Perbandingan 35 persen iklan dan 65 persen berita tampaknya tidak mudah diatasi. Sebab, pemilik koran memang menjadikan pertimbangan bisnis lebih besar daripada pertimbangan penyebaran informasi pembangunan. 

Penerbitan 16 halaman setiap hari juga menghambat pemerataan pendapatan iklan bagi tiap koran. Sebab, iklan yang tak termuat dalam koran besar karena sudah penuh, seharusnya tersalur ke koran-koran yang kering iklan. Tetapi, dengan izin 16 halaman setiap hari, berarti kesempatan koran-koran yang sudah mapan untuk menampung iklan lebih banyak. 

Kejenuhan pembaca juga perlu diantisipasi pemilik koran. Kejenuhan itu terjadi akibat, misalnya penulisan berita yang perlu dipanjangkan. 

Padahal, sebelumnya berita cukup ditulis dengan singkat. Tidak selamanya pembaca mau membaca berita yang ditulis panjang-panjang. Kesulitan itu terjadi akibat kelebihan halaman. 

Pada peristiwa besar dan berlangsung lama, misalnya Perang Teluk, mungkin perlu penyajian berita yang panjang. Berita yang disajikan harus maksimal. Analisis berita juga perlu panjang. Dan, kolom opini pun harus terisi padat. 

Namun, semua itu akan menjadikan wajah koran kita menjadi berlebih-lebihan. Akibatnya, orang mungkin akan meninggalkan sebuah koran yang menjadi langganannya hanya karena dia menganggap surat kabar itu sudah membosankan. Karena itu, perlu dipertimbangkan penyajian berita yang bervariasi. Dan, tantangan itu hanya dapat dijawab oleh seorang redaktur yang memiliki visi yang luas dan kemampuan redaksional yang prima. (seperti yang dituturkan kepada andi muhammad asrun) 

Oleh Dr M. Alwi Dahlan, Ahli Komunikasi Masa 

Sumber: Jawa Pos, 6 Maret 1991

No comments:

Post a Comment

Prawacana

Koran Republika Cetak Berhenti Terbit