KOMPAS/WISNU WIDIANTORO---Foto tumpukan sejumlah koran yang terbit di Jakarta, Rabu (22/5/2019).
Survei Edelman Trust Barometer 2021 menunjukkan, tingkat kepercayaan pada media di Indonesia tertinggi di dunia. Ini menunjukkan, masyarakat masih mengharapkan media massa sebagai penjernih ruang publik.
Tingkat kepercayaan pada media di Indonesia meningkat dan berada di posisi tertinggi di dunia. Meskipun begitu, tantangan yang dihadapi media juga tinggi, terutama terkait banjirnya informasi di media sosial, termasuk kiprah para pegiat media sosial yang menyebarkan informasi secara tidak bertanggung jawab untuk tujuan tertentu.
Survei Edelman Trust Barometer 2021 yang diluncurkan pada 13 Januari 2021 menunjukkan, tingkat kepercayaan pada media di Indonesia meningkat tiga poin menjadi 72 atau tertinggi di dunia setelah China (70), India (60), Singapura (62), dan Malaysia (62). Secara global, tingkat kepercayaan pada media meningkat dua poin menjadi 51.
Meskipun begitu, survei terhadap 33.000 responden di 28 negara ini mengungkap bahwa infodemik di masa pandemi Covid-19 menyebabkan kepercayaan pada sumber berita pada posisi terendah selama ini, baik pada media sosial (dari 43 persen menjadi 35 persen) maupun media tradisional (dari 65 persen menjadi 53 persen). Sebanyak 61 persen responden menyatakan bahwa media dipolitisasi dan tidak obyektif.
Saat ini, terutama menghadapi pandemi, dibutuhkan masyarakat yang berpengetahuan luas yang mampu membuat pilihan berdasarkan informasi yang tidak memihak. Namun, informasi berkualitas yang memungkinkan publik membuat keputusan berdasarkan fakta justru kurang, baik dari media maupun pemerintah. Dalam survei ini, tingkat kepercayaan kepada pemerintah, termasuk di Indonesia, menurun.
”Dengan tingkat kepercayaan pada media di Indonesia yang tertinggi di dunia, ini sebenarnya menunjukkan media massa masih diharapkan masyarakat sebagai penjernih, sebagai kontra atas informasi tidak benar yang beredar di media sosial. Ini harus dimanfaatkan,” kata Wakil Ketua Dewan Pers Hendry CH Bangun, di Jakarta, Minggu (14/2/2021).
Hendry mengatakan, tantangan media atau pers saat ini besar, apalagi pemerintah sering kali lebih memilih media sosial dan merekrut influencer untuk mendesiminasi kebijakannya. Di satu sisi ini mengurangi kiprah pers, tetapi di sisi lain pers juga harus berbenah diri dalam menyampaikan informasi kepada masyarakat dengan tetap dalam koridor kode etik jurnalistik. ”Jangan mengejar clickbait,” ujarnya.
Hal senada dikatakan Ignatius Haryanto, pakar media dari Universitas Multimedia Nusantara. Pers mempunyai tantangan untuk dinilai relevan oleh masyarakat. Di tengah kecepatan informasi yang beredar di media sosial, media arus utama menjadi lembaga yang harus memverifikasi informasi tersebut sehingga tingkat ketidakpastian di masyarakat bisa dikurangi.
”Fungsi kontrol sosial pers tetap penting ditampilkan. Kita punya contoh bagus di Amerika Serikat ketika empat tahun terakhir Presiden Donald Trump banyak menyampaikan informasi salah, pers tetap menjalankan fungsinya untuk menyampaikan informasi yang akurat dan tepercaya. Kalau publik berpegang pada pers, maka akan mendapatkan informasi yang benar,” katanya.
Tertibkan ”buzzer”
Di sisi lain, pemerintah, menurut Ignatius Haryanto, juga harus mendukung dan melindungi pers dengan menertibkan mereka yang memperkeruh ruang publik, termasuk buzzer (pendengung). Dalam banyak hal, keberadaan buzzer tidak produktif, bahkan justru kontraproduktif dalam kehidupan berdemokrasi.
Dengan 160 juta pengguna media sosial di Indonesia, kata Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia Abdul Manan, influencer, terutama buzzer, memengaruhi wacana publik secara signifikan. ”Kalau influencer itu netral, yang merisaukan ini buzzer karena semangatnya jauh dari konstruktif. Kalau hanya mempromosikan hal baik yang dilakukan pemerintah, itu baik-baik saja, tetapi kalau menyerang mereka yang kritis terhadap pemerintah, di situ masalahnya,” katanya.
Manan mengatakan, sangat sulit untuk tidak mengaitkan serangan siber yang dialami sejumlah media beberapa waktu lalu dengan ”pembela” pemerintah. Sejumlah media yang mengalami serangan siber waktu itu tengah memublikasikan berita yang mengkritisi kebijakan pemerintah.
Serangan siber tersebut merupakan upaya tidak langsung membungkam kritik kepada pemerintah. Tidak hanya mendeskreditkan media, serangan tersebut juga berniat mematikan media tersebut secara ekonomi.
”Pak Jokowi telah mengatakan bahwa pemerintah terbuka atas kritik. Karena itu, kami berharap pemerintah meminta para buzzer berhenti untuk menghadapi pengkritik pemerintah. Sikap diam pemerintah selama ini seolah sebagai persetujuan atas apa yang dilakukan buzzer,” ujar Manan.
Dia mengatakan, buzzer telah lama menjadi problem politik di Indonesia. Buzzer lahir dari polarisasi politik, mereka menyerang kelompok antipemerintah dan mereka yang kritis kepada pemerintah.
Dalam keterangan tertulis yang dilansir di situs muhammadiyah.or.id bertepatan dengan Hari Pers Nasional pada 9 Februari, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir mengatakan, pendengung menjadi musuh terbesar dunia pers saat ini. Mereka tidak memiliki tanggung jawab kebangsaan yang cerdas dan berkeadaban mulia.
Asrorun Niam Sholeh, Ketua Bidang Fatwa Majelis Ulama Indonesia, pun kembali mengingatkan akan adanya Fatwa Nomor 24 Tahun 2017 tentang Hukum dan pedoman Bermuamalah melalui Media Sosial. Disebutkan, profesi buzzer yang bertujuan mencari keuntungan dengan menjadikan konten/informasi untuk memperoleh keuntungan, baik ekonomi maupun non-ekonomi, haram hukumnya. Demikian juga orang yang menyuruh, mendukung, membantu, dan memanfaatkan jasa buzzer, haram hukumnya.
Oleh YOVITA ARIKA
Editor: ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN
Sumber: Kompas, 14 Februari 2021
No comments:
Post a Comment