KOMPAS/YOVITA ARIKA---Tangkapan layar Konferensi Kebebasan Pers Dunia 2020 yang diselenggarakan secara virtual pada Rabu-Kamis (9-10/12/2020). Tampak Menteri Luar Negeri Belanda Stef Blok (kiri) dalam diskusi panel pada hari pertama Konferensi Kebebasan Pers Dunia 2020, Rabu.
Pers dan masyarakat sipil bisa saling memperkuat peran masing-masing dalam masyarakat demokratis. Relasi keduanya akan terbangun jika insan pers menegakkan pers yang bebas.
Pers dan masyarakat sipil memainkan peran penting dalam masyarakat demokratis dan sama-sama menjadi pengawas jalannya pemerintahan. Keduanya bisa saling memengaruhi dan bekerja sama untuk memperkuat peran masing-masing.
Namun dalam praktiknya, dalam beberapa kasus, pers dan masyarakat sipil berseberangan. Dalam unjuk rasa menolak Undang-Undang Cipta Kerja pada Oktober 2020, misalnya, sejumlah media dinilai gagal menjalankan fungsinya dalam memberikan ruang bagi diskursus publik, bahkan jauh sejak pembahasan rancangan undang-undang ini mulai menjadi perbincangan publik.
Riset Remotivi terhadap pemberitaan terkait RUU Cipta Kerja di lima media daring yang dipublikasi pada 20 Maret 2020 menyebutkan, 52 persen berita bernada positif, 32 persen netral, dan 16 persen negatif. Media-media tersebut lebih banyak menyampaikan narasi pemerintah, serta kurang memberikan porsi bagi kelompok-kelompok masyarakat sipil yang sejak awal menolak RUU tersebut.
Pengamatan Wisnu Prasetyo Utomo, editor blog Sindikasi yang juga dosen Ilmu Komunikasi Fisipol Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, terhadap pemberitaan di sejumlah media cetak pada Oktober 2020 juga menunjukkan hal serupa (sindikasi.org, 27/10/2020). Media kurang memberi ruang yang menjelaskan mengapa masyarakat sipil menolak undang-undang tersebut sejak awal.
Pengalaman Era Purnama Sari, Wakil Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), ketika mendampingi masyarakat dalam kasus konflik tanah di Jambi pada 2019 pun demikian. Pemberitaan tentang kasus ini, sebelum YLBHI merilis hasil investigasi atas kasus ini, sama sekali tidak memuat informasi versi masyarakat yang tergabung dalam Serikat Mandiri Batanghari.
”Sebelum kami masuk (menginvestigasi kasus ini) tidak ada narasi tanding selain dari aparat keamanan. Setelah kami masuk, pemberitaan berimbang, bahkan media mengawal kasus ini dengan baik meski tidak semua,” kata Era dalam diskusi daring bertema Pers dan Masyarakat Sipil yang diselenggarakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, Selasa (16/2/2021).
Menurut I Wayan Gendo Suardana, Koordinator Forum Rakyat Bali Tolak Reklamasi (ForBALI), sering kali tidak mudah bagi gerakan masyarakat sipil di daerah untuk mendapat perhatian media nasional. Pemberitaan yang muncul pun sering kali tidak obyektif. Pengalamannya, ketika keberatan dengan pemberitaan media yang tidak obyektif tersebut, selalu diarahkan untuk menggunakan hak jawab.
”Saya menghargai Undang-Undang Pers, profesi jurnalis. Tetapi, lama-lama capek membuat hak jawab itu, akhirnya kami menggalakkan media sosial sebagai alat kampanye. Kemudian, kami mencari strategi-strategi baru (untuk berjuang) secara offline, dan ini berhasil. Ini (menggunakan media sosial) muncul karena kefrustasian kami,” kata Wayan Gendo.
Sistem nilai
Kondisi media yang berseberangan dengan masyarakat sipil tersebut, menurut Dandhy Dwi Laksono, pendiri WatchdoC, terjadi karena cara berpikir yang instan dan tidak filosofis di kalangan pers. Demikian juga dalam lembaga pers, pergantian generasi tidak disertai dengan membangun sistem nilai yang ajek di ruang berita (newsroom).
”Dulu media dimiliki jurnalis dan berbasis komunitas, berbasis mandat komunitasnya. Ketika Orde Baru ada shifting (pergeseran), media menjadi murni bisnis, hidup dari pembacanya. Ada gagasan (media sebagai) pilar keempat demokrasi. Namun, paradoks ketika media tidak dalam posisi ini, justru menjadi bagian dari kekuasaan,” kata Dandhy.
Faktor lainnya, kata Dhandhy, dalam beberapa kasus masyarakat berhadapan dengan investor. Investor mempunyai akses ke media, baik dalam bentuk memasang iklan maupun mengundang wartawan sehingga bisa memobilisasi media. Selain itu, investor bisa mengakses partai politik dalam proses legislasi.
”Kalau playing field atau lahan permainannya tidak fair, informasi apa pun menjadi tidak fair. Karena itu, perlu playing field yang seimbang. Solusinya dengan mengubah model bisnis media. Kalau dulu ikatan pembaca dengan media kuat, sejak ada iklan relasi itu berubah. Kita harus kembalikan, media didukung komunitas, yaitu dengan model berlangganan. Ini akan menjadi hub media dengan masyarakat sipil,” paparnya.
Menurut Era, relasi antara media/pers dengan masyarakat sipil dengan sendirinya akan terbangun ketika media menegakkan pers yang bebas. Prinsip pers bebas menjadi kekuatan untuk membeberkan keadilan dan kebenaran kepada masyarakat. Namun pers yang bebas masih didominasi pusat. Di daerah dengan sumber daya yang terbatas, sejumlah media bergantung pada pemerintah daerah.
”Pers yang bebas mengabdi kepada nilai karena nilai tidak bisa dipelintir. Sepanjang itu diusung, relasi pers dan masyarakat sipil akan terbangun dengan sendirinya, akan melahirkan trust (kepercayaan) sehingga jika terjadi (sesuatu) pada pers, masyarakat akan membela,” katanya.
Oleh YOVITA ARIKA
Editor: ICHWAN SUSANTO
Sumber: Kompas, 18 Februari 2021
No comments:
Post a Comment