Wednesday, August 12, 2020

Konten Kreator atau Jurnalisme Warga Tetap Perlu Rambu-rambu Etika

Keberadaan konten kreator atau jurnalisme warga dengan jumlah pengikut banyak memiliki kekuatan memengaruhi warga. Untuk memastikan konten-konten mereka benar, rambu-rambu etika mesti diterapkan.

Konten kreator ataupun jurnalisme warga tetap memerlukan etika dalam memproduksi konten. Hal ini bertujuan mencegah disinformasi, peredaran hoaks, serta kesalahan menginterpretasi di kalangan masyarakat.

Ketua Presidium Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Mafindo) Septiaji Eko Nugroho menyampaikan pandangan itu saat menghadiri seminar daring ”Strategi Menghadapi Hoaks dan Ujaran Kebencian di Era Revolusi Industri 4.0”, Rabu (12/8/2020), di Jakarta.

”Masyarakat yang menjadi konten kreator ataupun jurnalisme warga minimal paham konsep 5W+1H, memahami verifikasi sumber, dan konten berimbang. Masyarakat Indonesia yang beragam kultur juga perlu dipahami,” ujarnya.

Septiaji berpendapat, rambu-rambu etika bukan untuk membatasi kebebasan berekspresi dan berpendapat, melainkan untuk melindungi  mereka (konten kreator atau jurnalisme warga) dari kasus hukum. Dalam konteks konten di internet, misalnya, Indonesia telah memiliki Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Menurut Septiaji, rambu-rambu etika bermanfaat besar bagi penerima konten. Masyarakat tidak ”tersesat” saat menerima informasi.

Apalagi, tren yang berkembang belakangan menunjukkan meningkatnya disharmoni antara masyarakat dan media massa. Disharmoni cenderung mengarah pada perilaku negatif. Sebagai contoh, sejumlah warga menurunkan rating aplikasi media massa tertentu di Google PlayStore.

Infodemi meningkat

Sejak pandemi Covid-19, infodemi berkembang luas. Berdasarkan data Mafindo, sepanjang Januari-Agustus 2020, terdapat sekitar 550 hoaks terkait Covid-19. Data Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) menyebutkan hoaks mencapai 1.000. Realitas ini berdampak pada ketidakpercayaan masyarakat terhadap penanganan Covid-19. Septiaji mengatakan, kondisi tersebut juga terjadi di luar negeri.

Dia mengakui, konten kreator atau jurnalisme warga memanfaatkan banyaknya jumlah pengikut mereka di akun media sosial atau YouTube sebagai basis kekuatan mendistribusikan konten. Apalagi kini banyak anak muda bercita-cita melakoni pekerjaan itu.

”Disharmoni masyarakat terhadap media massa itu mengkhawatirkan. Sementara pada saat bersamaan, bermunculan konten kreator yang menampilkan konten yang bisa disebut jurnalisme warga,” katanya.

Beberapa hari terakhir, viral pemberitaan musisi Anji dengan akun YouTube Duniamanji mewawancarai Hadi Pranoto yang mengaku menemukan ramuan herbal untuk menyembuhkan Covid-19. Anji mengaku tidak punya hubungan personal dengan Hadi Pranoto. Konten itu menghebohkan warganet.

Septiaji memandang, disinformasi dan hoaks membutuhkan penanganan pencegahan multidimensi. Setelah cek fakta yang terus berjalan, Indonesia membutuhkan inovasi sosialisasi literasi, termasuk masuk ke ranah pendidikan.

”Kami bersama Google dan Ma’arif Institute sedang menyusun kurikulum digital untuk memahami informasi yang benar. Salah satunya berupa membaca secara lateral. Kurikulum itu diperuntukkan bagi guru dan dosen,” katanya.

Peneliti di Kajian Agama dan Budaya UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Irfan Abubakar, mengatakan, teknologi internet memudahkan penemuan, repost, dan broadcast konten hoaks, disinformasi, dan ujaran kebencian. Dengan kata lain, teknologi yang tertanam di platform media sosial ataupun pesan instan, seperti algoritma, memengaruhi penyebaran.

”Walaupun seorang konten kreator masih mempunyai jumlah pengikut kecil. Watak dari internet memungkinkan repost, broadcast, dan menyebarluaskan semakin mudah,” ujarnya.

Sementara pada saat bersamaan, konten ujaran kebencian sekalipun kemungkinan digerakkan oleh bisnis sehingga memperbesar pengaruh provokasi dan pelintiran isu.

Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G Plate mengaku pihaknya berulang kali meminta dukungan penyedia platform media sosial ataupun pesan instan untuk menangani serta mencegah penyebaran, misalnya dengan pemblokiran dan penurunan konten. Namun, upaya itu tidak mudah dilakukan.

”Demokrasi tidak membatasi kebebasan berpendapat di internet. Namun, demokrasi butuh kedewasaan dan kecerdasan pengguna internet,” katanya.

Oleh  MEDIANA

Editor:   ALOYSIUS BUDI KURNIAWAN

Sumber: Kompas, 13 Agustus 2020

No comments:

Post a Comment

Prawacana

Koran Republika Cetak Berhenti Terbit